Coba anda buka peta dan perhatikan pulau Papua dengan seksama. Di tengahnya anda akan melihat garis lurus dengan bengkok sedikit di bagian bawah yang membelah pulau itu, menandakan batas negara antara Indonesia dan Papua New Guinea. Lalu bayangkan kumpulan manusia yang hidup tepat di garis perbatasan. Mungkin ada yang desa bahkan rumahnya dibelah oleh garis itu, dan tidak pernah sadar bahwa mereka hidup di dua wilayah administratif berbeda. Maklum saat garis itu dibuat para petinggi, mereka tidak pernah diajak bicara. Kalau anda punya kesempatan berkunjung ke salah satu desa atau rumah yang dibelah oleh garis itu, coba tanyakan: apakah penghuni di sebelah barat dan timur benar-benar merasa kebudayaannya berbeda satu sama lain?

Sekarang mari beralih ke pulau Kalimantan dan perhatikan batas-batas propinsi Kalimantan Tengah dan Timur. Di sebelah barat maupun timur batas itu ada suku Punan yang telah menetap di sana ribuan tahun sebelum garis batas itu dibuat. Begitu halnya dengan suku Iban yang hidup di Kalimantan Barat dan Tengah, serta Sarawak (Malaysia). Sekarang ajukan pertanyaan yang sama: apakah penghuni di wilayah administratif berbeda itu niscaya merasa kebudayaannya berbeda satu sama lain, walau satu suku?

Di Taman Mini Indonesia Indah, jawabannya adalah “ya”. Indonesia adalah Indonesia, dengan batas kebudayaan yang jelas-jemelas. Bukan itu saja, kebudayaan di tiap propinsi pun unik dengan batas-batas yang jelas pula. Satu daerah, satu kebudayaan. Kurang lebih itu pesan yang ingin disampaikan. Setiap propinsi adalah “kesatuan budaya” dan kesemuanya dihimpun menjadi Indonesia. Bahwa orang di daerah yang dianggap “kesatuan budaya” merasa lebih mirip dengan tetangga daripada orang serumah, adalah masalah lain. Mereka juga tidak pernah ditanya saat Taman Mini akan dibangun. Dan di zaman itu salah-salah malah bisa dituduh “subversif”.

Taman ini diresmikan Jenderal Soeharto pada April 1975, saat Orde Baru berada di puncak kejayaannya. Kepala proyek tidak lain dari istrinya sendiri, Tien Soeharto, yang mengaku mendapat ilham memimpin proyek itu setelah mendengar suaminya bicara di kediaman mereka, Jalan Cendana. Rezeki nomplok dari oil boom membuat semuanya berjalan lancar, belum lagi “sumbangan sukarela” dari pengusaha dan pejabat. Untuk melengkapi citarasa cronyism, Imelda Marcos dari Filipina menjadi orang pertama yang menanam pohon beringin di taman itu setelah diresmikan.

Di kompleks seluas 160 hektar ini bermacam artefak dan pertunjukan dari berbagai daerah ditampilkan. Barbara Bush menganggapnya sebagai “cara terbaik untuk mengenal kebudayaan Indonesia”. Bagaimana tidak. Dengan Rp 5.000 anda bisa berkeliling menonton ratusan “bukti budaya”, yang jauh lebih beragam dan kaya daripada Disneyland. Pertanyaannya tentu saja, kebudayaan siapa yang ditampilkan di sana?

Hampir semua yang ditampilkan adalah apa yang selama ini dianggap adat-istiadat. Ironisnya, banyak orang yang dianggap komunitas pendukungnya tidak lagi mempraktekkannya. Tak heran seorang mahasiswa saya menyebutnya “kebudayaan balsem” yang bisa bertahan karena diawetkan, bukan dihidupi.

Di taman ini anda bisa menyaksikan bagaimana Orde Baru memproyeksikan kebudayaan nasional versi mereka. Ada 27 propinsi, masing-masing dengan kebudayaan yang unik dan jelas batasnya. Bahwa Timor Lorosae lepas dari Indonesia tiga tahun lalu dan sebagian besar rakyat Aceh dan papua merasa semakin “tidak Indonesia”, sepertinya tidak dipusingkan oleh pengelola. Semua sepertinya hidup rukun, damai dengan bunga dan tanaman yang indah. Bukan hanya itu, tempat ibadah pun berjajar rapi dan sungguh tenang, seperti membantah kenyataan bahwa ada masalah serius dengan mobilisasi sentimen keagamaan dalam beberapa tahun terakhir.

Masalah-masalah itu memang tidak pernah terlalu dipusingkan, baik oleh perencana maupun pengelolanya sekarang. Setelah reformasi, banyak subsidi dan fasilitas yang semula mengalir lancar, pun dicabut. Yayasan Harapan Kita yang dipimpin Tien Soeharto selalu mendapat potongan tarif listrik dan telepon sebesar 50% dan juga suntikan dana “sukarela” dari para pengusaha. “Sekarang semuanya berubah. Kami harus mandiri, terbuka dan profesional,” ujar seorang pegawai bagian humas.

Pemasukan utamanya datang dari penjualan tiket. Dengan pengunjung rata-rata antara 10.000-15.000 per hari, pengelola bisa mendapat sekitar Rp 1-2 milyar per bulan. “Tapi tidak ada untungnya. Semua habis untuk biaya operasional,” katanya. Menggalang dana menjadi prioritas sekarang, dan kadang harus menabrak batas-batas yang ditetapkan oleh para perancang taman itu di masa lalu. Tari Jawa klasik jelas bukan tontonan yang laku, karena itu pengelola lebih senang mengundang penyanyi dangdut atau pop, dan mendirikan Istana Dangdut. “Dangdut sekarang menjadi brand-image dari Taman Mini,” katanya sambil terkekeh.

Taman Mini ini sebenarnya sama sekali tidak mini. Kalau berjalan kaki anda perlu waktu 3-4 jam untuk mengelilingi seluruh arealnya. Belum lagi kalau anda mampir melihat setiap anjungan dan sekitar 20 museum dan belasan taman kecil yang ada di dalamnya. Dalam perjalanan itu, khususnya hari Minggu dan hari libur lainnya, anda akan ditemani belasan ribu orang dari berbagai latar belakang, mulai dari pegawai pemerintah yang sedang studi banding untuk membuat miniatur Taman Mini di daerahnya, seniman daerah yang kebetulan berpentas, kaum yuppies yang sibuk dengan proyek ini-itu sampai buruh pabrik yang sedang melepas lelah dan duduk bercengkerama di pinggir kolam.

Sepertinya para perancang memang menyiapkan diri melayani minat banyak orang. Kalau anda kebetulan pecinta militerisme Dunia Ketiga, silakan mampir di Museum Keprajuritan yang dikelola Dephankam, atau kalau anda seberapa besar kerugian yang diderita rakyat Indonesia karena pembagian bisnis energi yang tidak adil, bisa juga mampir ke Museum Minyak dan Gas Bumi. Buat anda yang hobi memancing, jangan ragu-ragu bawa perlengkapan, karena di museum ini tabung besar replika tempat penyimpanan minyak sudah disulap oleh pengelolanya menjadi danau kecil dengan bermacam jenis ikan di dalamnya.

Bagaimanapun, ada saja ruang untuk mengenal kebudayaan Indonesia lebih dekat di tengah susunan “kebudayaan balsem” ini. Cobalah bergabung duduk dengan para penari tradisional di belakang panggung. “Wah, kami ini nggak dapat gaji, Mas,” ujar seorang penari dari Cirebon yang biasa tampil di tiga anjungan “daerah budaya” sekaligus karena menguasai tarian dari ketiganya. “Paling-paling hanya transpor dan honor seadanya. Kalau pas main malam, ya dikasih makan malam, kalau siang, ya makan siang. Itu saja.” Sudah empat tahun ia bergabung di sanggar tari dan kadang diminta berpentas kalau ada salah satu anjungan punya acara menyambut tamu.

Saya coba mendekati beberapa yuppies yang sedang duduk-duduk. Kelihatannya baru selesai business meeting dengan salah satu pejabat yayasan. Dengan handphone di pinggang dan es krim Walls di tangan, mereka lebih nampak sebagai wakil kebudayaan kosmopolitan daripada salah satu daerah budaya di Indonesia yang ditampilkan Taman Mini. Tapi, “pelestarian budaya itu penting sekali. Di Taman Mini inilah kita bisa belajar siapa kita sebenarnya,” kata salah seorang bangga sambil sesekali menjilat es krim impornya yang meleleh dan agak gugup ketika saya tanya “daerah budaya”-nya. “Ah, dari Jakarta saja.”

Dari sana saya beralih ke rombongan anak muda yang kelihatannya baru pulang sekolah. Mereka inilah guide terbaik untuk kebudayaan Indonesia kontemporer, pikir saya. Dengan celana jeans yang robek di lutut, kacamata dengan gagang tebal dan anting-anting di hidung, mereka lancar bercerita tentang pertunjukan musik rap yang baru lalu di taman ini. Mereka hanya tertawa ketika ditanya “rumah budaya”-nya di taman ini, sambil menunjuk semak-semak. “Yang paling mantap sih di sana, Mas.” Sejak berdiri taman ini memang menjadi salah satu sasaran pasangan muda yang ingin berbuat lebih dari yang diizinkan orang tua mereka di teras rumah sendiri.

Tapi sungguh keliru kalau menilai Taman Mini telah gagal atau tidak berguna. Bagi Solichin, buruh pabrik di Cibitung, taman ini menjadi tempat melepas lelah yang cocok. Dengan bekal makan siang dan air minum dari rumah, ia sering menghabiskan waktu luang dengan keluarga besarnya di taman ini. “Biasanya kita bayar borongan, main mata sama satpam di pintu depan.” Artinya tidak semua rombongan bayar karcis. Maklum, karcis masuk harganya hampir separuh dari upah hariannya. Memang bagi dirinya, di taman ini Indonesia kelihatan jauh lebih indah, apalagi dibanding “Indonesia” miliknya, sebuah rumah petak yang sesak dengan tujuh jiwa, selalu disapu banjir kalau hujan deras turun dan sudah dua kali gena gusur.

Hilmar Farid, 1999