Arus Balik Kebudayaan: Sejarah Sebagai Kritik
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada badai tiada topan kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Selamat malam, ibu-bapak, saudara sekalian, yang saya hormati. Selamat datang, terima kasih sudah menyempatkan diri hadir dalam acara pidato kebudayaan ini. Sengaja saya memilih lagu Kolam Susu karya Koes Plus sebagai pembuka pidato ini, karena lagu ini begitu sederhana musik maupun liriknya, dan berbicara mengenai fakta yang begitu gamblang, bahwa Indonesia adalah negeri yang kaya. Tepatnya negeri maritim yang kaya. Perjalanan saya berkeliling ke berbagai tempat di negeri ini beberapa kali mengkonfirmasi kebenaran syair lagu itu, bahwa “kail dan jala cukup menghidupimu.”
Koes Plus tentu tidak sendirian dalam keyakinannya bahwa Indonesia adalah negeri maritim yang kaya. Di bangku sekolah kita belajar tentang wilayah lautan Indonesia yang luasnya mencapai 3,2 juta kilometer persegi. Kita belajar tentang panjang pantai Indonesia yang lebih dari 95.000 kilometer dan membuat Indonesia menjadi negeri dengan pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Kita juga belajar tentang 17.000 lebih pulau dengan sumber daya alam yang beragam, baik yang berada di darat, daerah pesisir maupun lautnya.
Saat ini diperkirakan lebih dari 160 juta orang atau lebih dari 60 persen penduduk Indonesia bermukim di daerah pesisir. Dengan geografi dan demografi seperti itu potensi Indonesia sebagai negeri maritim memang luar biasa. Para ahli mengatakan, jika potensi ini, potensi sebagai negeri maritim ini digarap dengan baik, maka nilainya bisa mencapai Rp 3.000 trilyun per tahun. Kegiatan ekonominya akan menyerap lebih dari 40 juta tenaga kerja di berbagai bidang, mulai dari perikanan, pengembangan wilayah pesisir, sampai bioteknologi dan transportasi laut. Luar biasa.
Tapi mengapa sampai hari ini perekonomian Indonesia masih bertumpu pada industri pengolahan, pertambangan dan kehutanan, pertanian dan peternakan, yang semuanya berbasis di daratan? Total kontribusi sektor kelautan terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia saat ini hanya sekitar 20 persen, di bawah Thailand dan Korea Selatan, dua negeri yang kalau panjang pantainya digabung pun tidak sampai sepuluh persen dari panjang pantai Indonesia.
Ini bukan perkara preferensi atau prioritas dalam pembangunan tapi menyangkut keselamatan dan masa depan. Pembangunan ekonomi yang bertumpu di daratan memang berhasil membawa Indonesia ke dalam kelompok 16 besar perekonomian dunia. Tapi harga yang harus dibayar oleh masyarakat Indonesia untuk sampai pada posisi itu sangatlah mahal dan boleh jadi tidak seimbang dengan pencapaiannya.
Antara tahun 2001-2013 setiap hari ada areal hutan seluas 500 lapangan sepakbola yang habis dibabat. Tidak perlu menjadi ahli lingkungan hidup kitanya untuk melihat korelasi antara pembabatan hutan dengan bencana banjir dan tanah longsor yang sering terjadi belakangan ini. Setiap tahun kita mendengar ribuan orang mengungsi karena banjir di seluruh negeri. Belum lagi yang tewas tertimbun tanah longsor. Pada tahun 2012 saja, kerugian yang diderita masyarakat karena banjir dan tanah longsor mencapai Rp 30 trilyun atau lebih dari separuh pendapatan dari sektor kehutanan pada tahun yang sama.
Areal hutan yang dibabat kemudian ditanami kelapa sawit atau tanaman keras lainnya, yang kemudian membawa bermacam persoalan baru, mulai dari kerusakan lingkungan hidup, meningkatnya konflik sosial dalam masyarakat akibat kehadiran perkebunan dan kegiatan ekonomi esktraktif lainnya di atas tanah yang dihuni masyarakat. Proses ini begitu intensifnya sehingga tumpang-tindih klaim terjadi bukan lagi antara perusahaan dengan masyarakat tapi antara perusahaan dengan perusahaan. Saat ini jumlah total konsesi lahan di Kalimantan Barat itu mencapai lebih dari 19 juta hektar, padahal luas provinsi itu hanya 14 juta hektar. Semua ini tentu berkait-kelindan dengan praktek korupsi. Dan tidak sedikit kasus yang diurus dan sudah diputus oleh pengadilan tindak pidana korupsi dalam beberapa tahun terakhir ini terkait pengurusan hak guna usaha perkebunan.
Pembangunan yang bertumpu pada daratan ini berhasil meningkatkan PDB per kapita dari USD 1.161 pada tahun 2004 menjadi USD 3.556 pada tahun 2012. Meningkat tiga kali lipat! Ini adalah fakta yang tidak dapat disangkal. Masalahnya pada saat bersamaan indeks pembangunan manusia kita merosot dari 0,697 menjadi 0,629 pada kurun yang sama. Ketimpangan sosial juga meningkat seperti terlihat dari distribusi pendapatan nasional itu. Diperkirakan 20 persen penduduk terkaya di negeri ini menguasai hampir separuh pendapatan nasional sementara 40 persen penduduk termiskin menguasai hanya 16 persen dari pendapatan nasional. Seperempat dari 40 persen penduduk termiskin itu tergolong orang dengan pengeluaran di bawah garis kemiskinan. Dalam bahasa yang lebih lugas: yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Ketimpangan geografis juga meningkat dalam kurun yang sama antara daerah yang berpendapatan tinggi seperti Kalimantan Timur dan Jakarta dengan daerah yang berpendapatan sangat rendah seperti Nusa Tenggara dan Maluku Utara. Saya kira bukan kebetulan bahwa daerah yang berpendapatan tinggi itu kehidupan ekonominya bertumpu di daratan yakni kehutanan, pertambangan, dan pajak kendaraan, sementara daerah yang berpendapatan sangat rendah adalah gugus kepulauan di kawasan timur: Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Maluku Utara.
Presiden Jokowi benar ketika dalam pidato pertamanya sebagai pada tanggal 20 Oktober lalu mengatakan bahwa kita telah lama memunggungi laut. Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat kita sampai pada keadaan seperti itu? Apakah karena kurangnya investasi? Atau karena kurangnya pengetahuan dan teknologi? Atau semata karena kurangnya infrastruktur? Menurut saya tidak. Masalah kita lebih mendasar dari itu, yaitu terpisahnya laut dan dunia maritim dari kebudayaan kita. Sikap memunggungi laut terjadi karena berbagai perubahan penting dalam sejarah yang membalik arus kebudayaan kita.
Dalam perjalanan sejarah yang panjang dan kompleks inilah kita harus mencari jawaban atas pertanyaan mendasar di atas, dan bukan dengan menyalahkan apa yang disebut watak atau karakter bangsa. Kebudayaan adalah keseluruhan cara hidup, baik pemikiran maupun praktek, yang tidak dapat direduksi menjadi sederet ciri yang seolah esensial.
Pada 1977 budayawan Mochtar Lubis menulis buku yang berjudul Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Di dalam buku itu a menyebut enam ciri manusia Indonesia:[1]
- Munafik
- Enggan bertanggungjawab
- Bersikap dan berperilaku feodal
- Percaya takhyul
- Berbakat seni
- Lemah watak
Daftar ini masih bisa kita perpanjang dengan bermacam ciri negatif lain seperti mau menang sendiri, tidak bisa menghargai waktu, cepat puas diri, tidak telaten dalam pekerjaan, menjilat ke atas dan menindas ke bawah, mencuri kesempatan dalam kesempitan, dan sebagainya. Dan memang tidak sulit bagi kita untuk menjumpai berbagai ciri negatif itu dalam kehidupan sehari-hari – kalau mau jujur, kita sendiri juga tidak lepas dari ciri negatif seperti itu. Tapi menganggap ciri negatif itu adalah sesuatu yang melekat pada kebudayaan adalah kekeliruan ganda.
Pertama, karena dasar berpijaknya adalah generalisasi dan stereotyping yang salah satu manifestasi terburuknya dalam pergaulan manusia adalah rasisme. Dalam konteks sejarah kita, generalisasi dan stereotyping ini dipakai oleh penguasa kolonial untuk nenanamkan perasaan rendah diri di kalangan orang pribumi sehingga menjadi lebih mudah diatur.[2] Dalam pidato pembelaannya di sidang pengadilan kolonial, yang dikenal dengan judul Indonesia Menggugat, Bung Karno mencatat:
“Berabad-abad kami mendapat cekokan ‘Inlander bodo’, berabad-abad kita diinjeksi rasa-kurang karaat, turun-temurun kita menerima systeem ini … dipadam-padamkan segenap kita punya energi, sekarang percayalah kita, bahwa kita, sesungguhnya, memang adalah bangsa kurang karat yang tak bisa apa-apa.”
Kekeliruan kedua yang menyangkut solusi. Jika benar ciri negatif, yang munafik, enggan bertanggungjawab, percaya takhyul dan sebagainya, adalah persoalan utama kita, maka solusinya bisa kita cari dalam industri kebajikan yang rajin memproduksi nasehat agar orang meninggalkan ciri negatif tersebut. Jika ini benar, maka kita tidak perlu presiden dan menteri yang mumpuni, cukup seorang motivator yang bisa mengubah segala yang negatif menjadi positif. Super sekali! Tidak perlu ada perdebatan di parlemen atau uraian pemikiran, cukup beberapa jumput nasehat dari seri buku Chicken Soup for the Soul atau The Seven Habits of Highly Effective People.
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis tetapi produk dari perjalanan sejarah yang dinamis dalam ruang sosial dan kultural yang konkret. Karena itu generalisasi dan stereotipe harus kita buang jauh-jauh karena keduanya mencoba beberapa ciri dan manifestasi dari kebudayaan menjadi berlaku umum dan abadi, padalah pelajaran penting yang ditarik setiap orang yang membaca sejarah adalah bahwa yang abadi hanyalah perubahan.
Karena itu pula usaha untuk menelusuri jejak sejarah dari arus balik kebudayaan yang membuat kita dalam keadaan seperti sekarang tidak bisa bersandar pada kisah kebesaran Majapahit dan Sriwijaya atau kisah ketangguhan pelaut Mandar yang dengan kapal sandeq bisa mengarungi samudera. Kisah seperti itu mungkin berguna untuk membangkitkan semangat patriotisme, cinta tanah air, atau tujuan lain semacam itu, tapi jelas tidak ada gunanya untuk memahami sejarah yang konkret. Justru sebaliknya kisah kejayaan masa lalu bisa membius dan menenggelamkan kita dalam kebanggaan semu dan keyakinan teleologis bahwa suatu saat nanti di masa depan, Indonesia akan kembali pada kejayaan itu.
Di masa lalu keyakinan teleologis bahwa akan datang suatu “zaman keemasan” sangat kuat dalam gerakan Ratu Adil dan milenarianisme yang biasanya berusia pendek. Dan saya tidak melihat alasan bahwa jika hari ini ada gerakan yang berpijak pada keyakinan seperti itu maka usianya akan lebih panjang.
Kita perlu narasi sejarah yang tidak sekadar mengagungkan masa lalu tapi bisa menggambarkan pergulatan sosial, pergulatan kuasa di antara kekuatan sosial, dari masa ke masa. Pergulatan itulah yang membawa kita sampai pada keadaan seperti sekarang. Kita perlu memahami kekuatan apa yang membuat kita secara kolektif bergerak memunggungi laut karena hanya dengan begitu kita bisa memahami apa yang harus dilakukan untuk bergerak ke arah sebaliknya. Inilah fungsi sejarah sebagai kritik.
Kita belajar tentang Majapahit, tapi bukan tentang kejayaannya di masa lalu, melainkan mengenai pergulatan kekuatan yang memungkinkannya muncul sebagai kerajaan maritim yang besar dan kemudian runtuh sehingga menimbulkan arus balik yang hebat dalam sejarah. Kita belajar tentang pelaut Mandar bukan sekadar untuk mengagumi kehebatannya berlayar tapi untuk memahami bagaimana mereka bisa bertahan hidup sebagai komunitas maritim di tengah gerak memunggungi laut yang semakin menguat. Kita belajar tentang orang Bajau dan Suku Laut bukan karena keunikan sejarah dan budaya mereka yang terkesan eksotik, tetapi karena dalam pandangan dunia merekalah kita bisa menemukan landasan untuk membayangkan negeri maritim di masa mendatang.
Saat ini sudah cukup banyak studi mengenai berbagai segi dan aspek sejarah yang berkaitan dengan dunia maritim. Ada yang mempelajari perikehidupan masyarakat pesisir, ada yang mempelajari jaringan perdagangan maritim yang terus berubah dari masa ke masa, ada yang mempelajari ragam dan jenis kapal serta teknologi kelautan, dan ada pula yang menekuni studi tentang barang dagangan seperti rempah-rempah yang membentuk jalur perdagangan dalam sejarah. Produksi pengetahuan di bidang ini tidak kurang. Masalahnya hampir semuanya masih berbentuk monografi dan belum banyak usaha untuk menghimpun berbagai studi itu sehingga ada semacam kesimpulan, betapapun sementara sifatnya, mengenai perkembangan dunia maritim di Nusantara.
Salah satu pengecualian yang perlu disebut di sini adalah karya Adrian Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17.[3] Profesor Lapian adalah pelopor studi sejarah maritim di Indonesia, satu dari sedikit orang yang mencurahkan seluruh karirnya untuk bidang kajian yang spesifik. Saya beruntung pernah menjadi mahasiswanya.
Salah satu hal yang sering ditekankannya adalah bahwa keragaman pengalaman historis dan letak geografis dari berbagai polity dan community di Nusantara mestinya membuat kita sadar bahwa Indonesia bukan sesuatu yang terberi atau given. Indonesia adalah sebuah konstruksi historis. Tapi ini bukan berarti bahwa Indonesia hanyalah produk pemikiran kaum nasionalis pada awal abad keduapulun, tanpa referensi ke dunia nyata. Gerak mempersatukan berbagai komunitas di bawah sebuah polity sudah ada sejak lama dan apa yang kita sebut sebagai sejarah Indonesia atau sejarah nasional tidak lain adalah produk interaksi yang konkret antara berbagai komunitas di Nusantara.
Peringatan itu menjadi penting karena kuatnya kecenderungan melihat sejarah seolah berjalan melintasi garis lurus, seolah semua masyarakat melalui tahap perkembangan yang sama, dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern. Kecenderungan itu sangat kuat di kalangan pegawai dan sarjana kolonial yang mempelajari sejarah dan kebudayaan masyarakat jajahan. Mereka melihat perbedaan antara kebudayaan masyarakat jajahan dengan kebudayaan orang Eropa bukan sebagai keragaman antara dua masyarakat yang berbeda, tapi sebagai perbedaan tahap perkembangan. Bahwa orang Melayu, Jawa, dan non-Eropa lainnya belum hidup, bersikap dan berperilaku seperti orang Eropa adalah bukti ketertinggalan yang satu dari yang lain.
Cara pandang linear dan teleologis ini pada akhirnya menciptakan semacam “hirarki arti penting” atau hierarchy of significance, di mana peristiwa, tokoh atau tempat yang satu dianggap lebih penting daripada yang lain, semata karena dianggap punya peran lebih besar dalam membawa masyarakat menuju kehidupan modern. Saya kira ketertarikan sebagian elite politik belakangan ini terhadap Majapahit atau Sriwijaya misalnya, bukan semata karena silau kemegahannya itu sendiri, tapi karena narasi yang dominan mengenai Majapahit dan Sriwijaya cocok dengan mimpi mengenai kebangkitan Indonesia sebagai bangsa yang modern dan besar.
Dalam sejarah sebagai kritik arti penting suatu peristiwa, seorang tokoh atau sebuah tempat, tidak ditentukan oleh hasil akhirnya (telos) tetapi karena kedudukannya dalam waktu dan tempat tertentu. Hanya dengan begitu kita bisa kembali mengangkat peristiwa, tokoh atau tempat yang dalam pandangan dominan dianggap tidak penting menjadi penting. Hanya dengan begini pemahaman kita mengenai sejarah, dan juga masa kini dan masa depan, akan menjadi lebih adil.
Geografi menjadi sangat penting di sini karena gerak memunggungi laut tidak terjadi secara serempak di semua tempat, tapi secara bertahap dari tempat ke tempat lain. Kita perlu studi lebih mendalam untuk mendokumentasi perkembangan itu dan melihat pola hubungan di antara munculnya sebuah kekuatan maritim di satu tempat dengan kemunduran kekuatan maritim yang lain. Kemunculan Makassar dan Banten jelas dipengaruhi oleh pencaplokan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511. Sepanjang abad ketujuhbelas kerajaan berbagai kerajaan maritim muncul silih-berganti di Aceh, Banten, Makassar, Ternate dan Tiodore, Sumbawa, dan sebagainya, sampai akhirnya semua kerajaan maritim tersebut tunduk pada kekuasaan Eropa. Dalam hal ini kekuasaan VOC, perusahaan multinasional pertama di dunia.
Kalau memang kenyataan sejarah dan geografi Indonesia begitu cair dan elusive lantas bagaimana kita bisa menangani himpunan kenyataan yang kompleks itu sebagai kesatuan? Ini bukan sebuah pertanyaan akademik yang hanya menarik bagi ahli sejarah, tapi sebuah pertanyaan mendasar yang juga menghantui para pemimpin Indonesia sebelum kemerdekaan. Dalam sidang BPUPKI yang membahas masalah batas negara, pimpinan sidang Dr Radjiman Wediodiningrat, mengatakan agenda itu tidak perlu dibahas mendalam karena semua anggota kiranya sudah sepakat bahwa republik yang baru nantinya akan mengikuti batas negara kolonial Hindia Belanda. Adalah Mohammad Hatta yang kemudian mengusulkan agar para peserta sidang diizinkan menyampaikan pandangan mereka mengenai masalah tersebut. Sidang yang oleh Dr Radjiman Wediodiningrat dibayangkan akan berlangsung singkat ternyata memakan waktu dua hari karena banyaknya usulan dan perdebatan.
Setelah kemerdekaan masalah kesatuan wilayah republik tetap berlanjut. Selama lima tahun pertama, antara 1945 dan 1950, batas wilayah republik terus bergeser sesuai perkembangan perang dan diplomasi. Ketika akhirnya Belanda menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 hanyalah satu negara bagian yang wilayahnya mencakup Banten, sebagian Jawa Tengah dan Yogyakarta, serta seluruh Sumatera kecuali Sumatera Timur, Sumatera Selatan, Bangka dan Belitung.
RIS akhirnya dibubarkan pada bulan Agustus 1950 dan semua negara bagian bersedia menyatukan diri di bawah Republik Indonesia. Tetapi ketegangan di sekitar hubungan pusat dan daerah terus berlanjut. Pada tahun 1950an ketegangan itu meledak ke dalam serangkaian konflik terbuka yang menandakan bahwa integrasi Indonesia sebagai sebuah negara dan juga sebuah bangsa masih belum selesai. Kegagalan mendorong integrasi yang wajar ini adalah produk dari kegagalan menangkap dan mengelola kompleksitas sejarah dan geografi Indonesia.
Lalu bagaimana cara kita memelihara keragaman di satu sisi dan mendorong kesatuan di sisi lain? Bagaimana semboyan bhinneka tunggal ika bisa terwujud dalam praktek? Apakah kesatuan dengan sendirinya berarti setiap unsur yang membentuknya harus kehilangan karakter yang khas?
Pada 1932 Dr Soetomo, pendiri Budi Utomo dan tokoh gerakan nasionalis di masa awal, menulis sebuah artikel singkat berjudul Gamelan dan Kewadjiban. Ia berpendapat bahwa gamelan adalah model masyarakat yang harmonis karena setiap pemain gamelan tahu tempat dan perannya masing-masing dan menerima kedudukan yang diberikan kepada oleh masyarakat tanpa reserve. Prinsip manut kepada aturan yang ditetapkan adalah prasyarat dasar bagi terbentuknya harmoni dalam gamelan maupun masyarakat. Gagasan Soetomo saya kira tidak menjawab berbagai pertanyaan di atas. Azas kepatuhan tanpa syarat dan keharusan untuk membentuk harmoni tanpa ruang bagi perbedaan dan keragaman berarti tunggal ika tanpa bhinneka. Tetapi rujukannya ke dunia musik, dalam hal ini gamelan, menawarkan kemungkinan melihat masalah ini dengan cara yang berbeda.
Dua tahun sebelum Soetomo menulis artikel itu Sukarno membacakan pidato pembelaannya, Indonesia Menggugat, di hadapan pengadilan kolonial di Bandung, dari bulan Agustus sampai Desember 1929. Berbeda dengan Soetomo yang tampil memberikan wejangan tentang persatuan dalam harmoni, Sukarno justru menjadikan dirinya semacam interlocutor yang menyuarakan bermacam masalah yang dihadapi rakyat. Sumber suara yang diangkatnya sangat beragam, mulai dari berita suratkabar seperti Darmokondo, Pertja Selatan, Aksi, Siang Po, Pewarta Deli, Sin Po, sampai suara para pegawai dan sarjana kolonial, para pemimpin pergerakan Indonesia dan dunia, keluh kesah rakyat jelata, dan tentunya suara Sukarno sendiri. Dengan telaten ia mencari ritme dari bermacam suara yang sepintas nampak tak beraturan dan memahaminya sebagai kesatuan.
Sukarno termasuk sedikit pemimpin gerakan nasionalis yang mengalami Indonesia secara ekstensif sejak sebelum kemerdekaan. Setelah lepas dari penjara pada tahun 1931 ia berkeliling di seluruh Jawa untuk melancarkan propaganda kemerdekaan. Dua tahun kemudian ia ditangkap lagi dan dibuang ke Ende selama beberapa tahun sampai kemudian dipindah ke Bengkulu. Sebelum Jepang menyerbu masuk ia dipindahkan ke Padang. Selama masa revolusi ia pindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan berkunjung ke beberapa daerah yang berada di bawah kekuasaan republik sampai akhirnya ditangkap oleh tentara Belanda dan ditahan di Bangka selama beberapa bulan. Perjalanan keliling ini memberinya kesempatan untuk bersentuhan langsung dengan realitas negerinya.
Referensi ke dunia musik berulangkali muncul dalam tulisannya. Dalam risalah Mentjapai Indonesia Merdeka yang disusun tahun 1933 Sukarno menguraikan kritiknya terhadap kolonialisme Eropa dan pandangannya tentang mengapa Indonesia harus merdeka. Dua bagian dari risalah itu diberi judul dengan bait-bait lagu Indonesia Raya dan Di Timur Matahari karya Wage Rudolf Supratman. Dalam pidato kenegaraan tahun 1964 yang berjudul Tahun Vivere Pericoloso Sukarno menegaskan bahwa revolusi Indonesia bukanlah sebuah peristiwa melainkan sebuah proses. Dalam proses ia berdialog dengan banyak pemikiran dunia, dengan pengalaman langsung rakyat jelata, yang kemudian harus dihimpun dan kemudian dilontarkan kembali sebagai sebuah kesatuan:
“Dentamnya Revolusi, jang kadang-kadang berkumandang pekik-sorak, kadang-kadang bersuara djerit-pahit, sebagai satu keseluruhan kita dengarkan sebagai satu njanjian, satu simfoni, satu gita, laksana dentumnja gelombang samudera jang bergelora pukul-memukul membanting di pantai, kita dengarkan sebagai satu gita kepada Tuhan jang amat dahsjat.”[4]
Pengalaman Sukarno sebagai pemimpin nasional tidak tertandingi, jadi pandangan romantiknya mengenai dentamnya revolusi di sini bukanlah anjuran mengenai metode. Tetapi ada satu butir penting yang relevan bagi sejarah sebagai kritik, yakni kemampuan untuk mendengarkan ritme dalam masyarakat yang kemudian diolah dan dilontarkan kembali sebagai kesatuan. Sejarah meletakkan pekik-sorak dan jerit-pahit yang disebut Sukarno itu ke dalam kerangka temporal dan geografi meletakkannya dalam kerangka spasial. Gerak memunggungi laut membuat pekik-sorak dan jerit-pahit dari perairan menjadi samar, dan bukan kebetulan jika tempat-tempat yang ratusan tahun lalu merupakan pusat perdagangan dan kerajaan maritim, di era sekarang menjadi “daerah tertinggal” yang diabaikan.
* * *
Perjalanan sejarah yang mengubah pusat perdagangan dan kerajaan maritim menjadi “daerah tertinggal” ini dimulai ketika kekuasaan atas laut berpindah secara bertahap dari tangan kerajaan maritim setempat ke tangan VOC. Peristiwa yang sering disoroti oleh para ahli sejarah adalah kematian Sultan Agung pada tahun 1645 yang membuka ruang intervensi bagi VOC di pedalaman Mataram dan jatuhnya Makassar pada tahun 1669 yang membuka jalan bagi VOC untuk menguasai jalur perdagangan terpenting di Nusantara. Dan benar, setelah itu hanya ada beberapa kerajaan maritim yang tersisa dan itu pun hidup bertahan di bawah dominasi VOC yang secara efektif menggunakan perpecahan dan persaingan di antara mereka untuk menguasai semuanya.
Dominasi VOC di perairan Nusantara sejak akhir abad ketujuhbelas mungkin agak mengherankan. Kenapa semua kerajaan maritim yang muncul setelah runtuhnya Majapahit gagal menghadapi VOC? Dari segi jumlah pasukan dan tenaga kerja para penguasa setempat jauh lebih unggul daripada VOC. Dari segi pengenalan terhadap wilayah, akses kepada sumber daya pun demikian halnya. Tahun 1682 seorang advokat Belanda, Pieter van Dam, mencatat bahwa dari sekitar 1500 serdadu VOC yang bermukim di Batavia hanya seperempat dari mereka cukup bugar untuk terlibat dalam pertempuran. Lainnya menderita sakit dan juga kepayahan karena cuaca yang panas. Tapi kenapa sepuluh ribu tentara Mataram yang dipimpin Tumenggung Bahureksa dan Pangeran Mandureja gagal merebut Batavia pada tahun 1628 dan 1629?
Kegagalan itu saya kira bukan sekadar kesalahan strategi perang tapi terkait erat dengan krisis kebudayaan dan politik yang jauh lebih mendalam di kalangan penguasa Nusantara. Untuk memahaminya kita harus kembali ke masa yang lebih awal yakni keruntuhan Majapahit pada pergantian abad keenambelas. Ada banyak penjelasan mengenai keruntuhan Majapahit ini dari para ahli sejarah dan arkeologi, tapi penjelasan yang paling menarik justru datang dari seorang novelis, Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya ditahan oleh penguasa Orde Baru pada bulan Oktober 1965 bersama ribuan orang lainnya. Selama empat tahun ia dipindah dari satu penjara ke penjara lain di Jakarta sampai akhirnya ia dibuang ke Pulau Buru pada bulan Agustus 1969. Lima tahun pertama ia hanya menjalani kerja paksa. Baru pada tahun 1974 ia diizinkan menulis. Novel pertamanya berjudul Arus Balik tentang pergolakan di Tuban, kota pelabuhan terakhir yang masih setia kepada Majapahit di awal abad keenambelas.
Dalam novel itu Pramoedya menggambarkan degenerasi penguasa Tuban, seorang adipati yang berpikiran sempit, mau menang sendiri, berperilaku feodal, persis seperti yang digambarkan oleh Mochtar Lubis dalam buku Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban. Tapi semua sifat dan sikap itu melekat pada sang adipati karena posisinya sebagai pembesar yang tidak tertandingi bukan karena ada sesuatu yang melekat dalam kebudayaannya. Seandainya ia orang biasa dengan perilaku seperti itu tentu sudah lama ia kehilangan kepalanya. Di bawah kepemimpinan sang adipati, Tuban seperti kehilangan arah. Daerah pedalaman yang semula merupakan sumber kemakmuran tidak lagi bisa menyediakan apapun yang diperlukan. Produksi terhenti, pasar tidak lagi meriah, dan dengan begitu terhenti pula arus barang, tenaga dan pengetahuan dari selatan ke utara yang mewarnai perjalanan sejarah sebelumnya. Alih-alih berdagang dengan negeri yang jauh, Tuban malah sibuk mengurusi serangan para penguasa pantai utara Jawa yang lain. Tuban terus terdesak karena kelemahan organisasi dan kepemimpinan senapati yang peragu.
Wiranggaleng, pemuda desa yang sederhana, akhirnya muncul sebagai pemimpin pasukan Tuban. Dalam diri Wiranggaleng sebenarnya Tuban menemukan harapan baru tapi kekuatan lama yang membawa Tuban ke dalam generasi yang demikian terlalu kuat. Sekalipun memenangi pertempuran demi pertempuran pada akhirnya ia juga tidak berdaya mempertahankan kejayaan Tuban dan Majapahit. Kemerosotan politik dan budaya sudah sedemikian hebatnya sehingga kemenangan militer pun tidak lagi berarti. Di akhir cerita Wiranggaleng tampil merebut kembali Tuban yang sempat diduduki Portugis. Penuh perenungan ia melihat sebab kemunduran Tuban bukan lagi dalam strategi militer:
“Sekarang orang tak mampu lagi membuat kapal besar. Kapal kita makin lama makin kecil seperti kerajaannya. Karena, ya, kapal besar hanya bisa dibikin oleh kerajaan besar. Kapal kecil dan kerajaan kecil menyebabkan arus tidak bergerak ke utara, sebaliknya, dari utara sekarang ke selatan, karena Atas Angin lebih unggul, membawa segala-galanya ke Jawa, termasuk penghancuran, penindasan dan penipuan. Makin lama kapal-kapal kita akan semakin kecil untuk kemudian tidak mempunyai sama sekali.”
Tuban berhasil diselamatkan tapi pada saat bersamaan lautan sudah jatuh ke tangan orang lain, dan dengan begitu menurut Wiranggaleng, “nasib Jawa dan Nusantara sudah dapat ditentukan – ambruk entah sampai berapa keturunan.”[5] Selama dua ratus tahun setelah keruntuhan Majapahit kerajaan maritim datang silih-berganti. Sebagian bisa muncul sebagai akibat dari keruntuhan Majapahit, seperti Banten dan Mataram. Ciri utama dari periode sejarah ini adalah perdagangan. Sejarawan Anthony Reid bahkan menyebut periode sejarah ini sebagai zaman keemasan perdagangan maritim, the age of commerce di Asia Tenggara. Tapi zaman keemasan itu tak bertahan lama. Kisah jatuh-bangun kerajaan maritim di Nusantara inilah yang membantu kita melihat akar dari gerak memunggungi laut di masa sekarang.
Selama dua ratus tahun setelah keruntuhan Majapahit ada puluhan kerajaan maritim yang bermunculan silih-berganti. Saya akan tajamkan fokus pada dua di antaranya, Banten dan Makassar, bukan sekadar karena kemegahan masing-masing sebagai kota perdagangan tetapi karena dinamika sejarahnya bisa menerangi penglihatan kita mengenai abad ketujuhbelas yang teramat penting dalam sejarah kita.
Saya mulai dari Banten, kota pelabuhan di ujung barat pulau Jawa. Selama berabad-abad para penguasa dan penduduk dari wilayah itu sudah melakukan pelayaran antar pulau dalam skala yang kecil dengan tujuan berdagang. Tapi kemunculannya sebagai sebuah kerajaan maritim yang berpengaruh dimulai ketika kerajaan Demak di bawah Sultan Trenggono dengan bantuan Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin, merebut Banten pada tahun 1527. Maulana Hasanuddin kemudian diangkat menjadi sultan yang pertama. Seperti kerajaan lain di masa itu Banten juga melakukan ekspansi dengan mengirim armada lautnya ke berbagai daerah sementara tentara daratnya masuk ke pedalaman. Di seberang lautan Banten berhasil menguasai Lampung dan membuka kontak dagang dengan para penguasa di sejumlah pelabuhan di Sumatera, sementara di pedalaman Banten mengakhiri riwayat kerajaan Pakuan Pajajaran.
Seratus tahun kemudian, sekitar pertengahan abad ketujuhbelas, Banten mulai muncul sebagai sebuah bandar dagang dan kekuatan maritim yang penting. Di mata sejarawan waktu puluhan tahun sampai seratus tahun itu singkat saja. Bagi arkeolog yang menekuni evolusi manusia dari pithecantropus erectus sampai homo sapiens seribu tahun itu kedipan mata. Skala waktu sengaja dibuat menjadi rapat agar bisa melihat perubahan yang terjadi.
Banten tumbuh sebagai bandar dagang yang terkenal di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa, yang memerintah Banten antara 1651 sampai 1682. Ia dibantu oleh dua orang penasehat asal Tiongkok yang masuk Islam, yang pertama adalah Kyai Ngabehi Kaytsu, dan kemudian penggantinya, Kyai Ngabehi Cakradana. Keduanya berperan penting dalam membuka jalur perdagangan baru ke Laut Cina Selatan, termasuk dengan panglima pasukan dinasti Ming, Guóxìngyé. Saat kapal panglima ini merapat di Banten para pekerja dan penduduk takjub melihat kemegahannya.
Sultan Ageng juga dibantu oleh orang Inggris, Denmark dan Portugis dalam menjalankan pemerintahan. Sementara Cakradana mengurus pembangunan kota, merancang dan mendirikan bangunan batu dan jembatan, maka para penasehat dari Eropa membantu Sultan Ageng mengembangkan armada kapalnya, melatih pasukan militernya. Banten, seperti juga Ternate, Makassar, dan banyak kota pelabuhan lain di Nusantara adalah kota internasional. Kalau hanya cerita seperti film Last Samurai karya Edward Zwick atau Anna and the King karya Andy Tennant, kita punya stock berlimpah. Masalah orang lain kemudian mampu mengangkat cerita semacam itu ke dalam kebudayaan populer sementara kita tidak bukan terutama masalah modal, tenaga dan teknologi, tapi terutama masalah wawasan dan kebudayaan.
Dekade 1670an adalah masa keemasan Banten sebagai kota perdagangan yang disinggahi pedagang dan pelaut dari seluruh dunia, termasuk tentunya dari berbagai kerajaan maritim di Nusantara sendiri. Jumlah penduduknya mencapai 150.000 orang yang menjadikan Banten kota internasional yang setara dengan Amsterdam, Roma dan Seoul pada masa yang sama. Di daerah pedalaman yang sudah ditaklukkan para penguasa dan pedagang Banten mengembangkan produksi pertanian, termasuk tebu, pertukangan, dan sebagainya, yang membuat Banten tidak hanya menjadi tempat lalu-lalang barang dari tempat lain, tapi juga saluran produksi dari pekarangannya sendiri. Tingkat perkembangannya sudah sangat tinggi untuk ukuran masa itu sehingga ahli arkeologi Heriyanti Untoro berkesimpulan bahwa pada akhir abad ketujuhbelas di Banten sudah berkembang sejenis kapitalisme pribumi.[6]
Tapi gerak maju yang pesat ini terhenti ketika pergantian kuasa tiba. Sultan Haji, putra Sultan Ageng Tirtayasa, menggugat rencana ayahnya yang ingin menyerahkan kekuasaan kepada anaknya yang lain, yakni Pangeran Purbaya, adik dari Sultan Haji. Beberapa sumber mengatakan langkah ini diambil oleh Sultan Ageng karena mencium gelagat Sultan Haji punya hubungan dengan VOC. Konflik kemudian menjadi terbuka dan apa yang dikhawatirkan Sultan Ageng benar adanya. VOC yang sejak lama mengincar Banten pun melibatkan diri dalam konflik tersebut membantu Sultan Haji. Dengan dukungan militer dari VOC, Sultan Haji berhasil menyingkirkan ayah dan adiknya dari istana. Tapi sebagai imbalannya ia harus menyerahkan Lampung beserta monopoli atas perdagangan lada kepada VOC.
Sultan Haji tidak lama memerintah. Ia meninggal 1687 atau tujuh tahun setelah kudeta terhadap ayahnya sendiri. Bersamaan dengan itu peran dan kedudukan para kapitalis pribumi pun semakin merosot. Setelah kematian Sultan Haji tidak ada lagi penghalang berarti bagi VOC untuk menguasai kota pelabuhan itu. Para raja Banten sesudah itu tidak berperan penting lagi. Mereka kehilangan wibawa dan otonomi di hadapan pengusasa baru, dan bahkan setiap pengangkatan raja baru harus mendapat persetujuan dari VOC. Pada tahun 1813 datang pukulan terakhir: Raffles melucuti Sultan Muhammad Syafiuddin dari gelar rajanya dan kesultanan Banten pun dihapus dari peta sejarah.
Kita beralih ke Makassar dengan sejarahnya yang unik. Pada awal abad keempatbelas para pemimpin sembilan negeri di sepanjang pesisir muara Sungai Jeneberang dan Tallo bersepakat untuk menggabungkan kekuatan mereka menjadi kerajaan Gowa. Untuk mengawal kesepakatan itu para pemimpin kemudian membentuk semacam dewan perwakilan yang disebut Bate Salapanga yang tugasnya antara lain memberi nasehat kepada raja. Setelah berjalan selama beberapa generasi, Raja Tunatangka’ Lopi membagi kerajaan menjadi dua, Gowa dan Tallo, dan untuk selanjutnya Makassar dipimpin bersamaan oleh dua kerajaan kembar. Sementara Raja Gowa menjadi sultan, Raja Tallo menjadi mangkubumi atau perdana menteri.
Wilayah kekuasaan kerajaan kembar ini terus bertambah melalui kombinasi perang dan persekutuan. Satu per satu negeri lain di bagian selatan Sulawesi ditaklukkan, mulai dari Parigi sampai Siang, dari Lembangan sampai Bulukumba. Di Maros dan Polombangkeng para pemimpin Gowa-Tallo menjalin persekutuan. Pusat kerajaan ada di Makassar yang pada awal abad ketujuhbelas sudah menjadi kota pelabuhan internasional lengkap dengan kantor perwakilan dagang Portugis, Belanda, Inggris, Spanyol, Denmark dan Tiongkok.
Letak Makassar di persimpangan jalur maritim yang menghubungkan bagian barat Nusantara dengan bagian timur, utara dengan selatan, memang ideal bagi kota pelabuhan dagang yang besar. Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511 membuat banyak pedagang Melayu beralih ke sana, sehingga terjadi penambahan volume perdagangan yang sangat signifikan selama abad keenambelas. Belum lagi ditambah dengan pelaut dan pedagang dari sekitar Makassar sendiri yang menghubungkan kota pelabuhan itu dengan berbagai tempat produksi, terutama makanan, di wilayah sekitar Makassar.
Seperti Banten, Makassar adalah bandar yang ramai dengan penduduk sekitar 160.000 orang. Di masa kepemimpinan Sultan Malikussaid (1639-1653) Makassar menjadi salah satu kota dagang terbesar di Asia dengan wilayah kekuasaan mencakup hampir seluruh bagian selatan Sulawesi, berbatasan dengan Luwuk dan Mandar di sebelah utara. Armadanya berkuasa atas Selat Makassar, sebagian Laut Jawa dan Laut Flores dan Laut Aru. Dengan fokus pada penguasaan wilayah laut Makassar menjadi sebuah kerajaan maritim dalam arti yang sesungguhnya.
Pertumbuhan Makassar yang pesat tidak dapat dilepaskan dari peran para mangkubumi atau pa’bicarabutta, terutama Karaeng Matoaya dan putranya, Karaeng Pattingaloang. Karaeng Matoaya menjadi mangkubumi di masa Sultan Alauddin. Pemerintahan mereka kemudian diteruskan oleh kedua anak mereka Sultan Malikussaid dan Karaeng Pattingaloang. Figur Karaeng Pattingaloang ini sangat menarik. Ia seorang polyglot yang menguasai bahasa Latin, Spanyol, Portugis, Belanda, Inggris, Prancis, Arab, Melayu di samping beberapa bahasa lokal yang digunakan di Makassar waktu itu. Seorang misionaris Katolik yang tinggal di Makassar pada tahun 1646 mengaku bahwa Pattingaloang berbicara bahasa Portugis seperti seorang penutur asli.
Ia bekerja di sebuah ruangan khusus, seperti layaknya orang terpelajar Eropa di masa itu, yang dilengkapi dengan perpustakaan yang dipenuhi buku, peta dan atlas dunia. Dari ruangan itu ia mengatur diplomasi kerajaan dengan perwakilan Raja Spanyol di Manila, Raja Portugis di Goa, dan Raja Inggris dan penguasa Mekkah. Di masa itu mengirim surat adalah tanda adanya hubungan diplomatik yang sangat penting walau waktu untuk mengirimnya lama sekali, kadang sampai beberapa tahun bergantung pada rute perjalanan pembawa surat. Tapi ada satu negeri yang sulit ditaklukkan, dan terletak justru di sebuah enclave kecil di wilayah kesultanan Makassar sendiri, yakni Bone.
Seperti Gowa-Tallo, Kesultanan Bone muncul pada akhir abad keempatbelas dari persekutuan tujuh negeri yang berdekatan dan bersepakat untuk menggabungkan kekuatan. Sejak awal hubungan keduanya, Makassar dan Bone, diwarnai perang dan damai dari masa ke masa, terutama karena sifat dominan dari para penguasa Makassar terhadap penguasa dan rakyat Bone. Berulangkali Bone melancarkan pemberontakan terhadap Makassar dan berulangkali pula pemberontakan itu dipatahkan. Salah satu tokoh pemberontakan itu adalah Aruppalakka. Pada tahun 1660 ia memimpin 10.000 orang dari Bone dan Soppeng untuk perang melawan Makassar. Perang berlangsung tiga bulan dan berakhir dengan kemenangan Makassar. Setelah gagal Aruppalakka melarikan diri ke Buton dan akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan VOC di Batavia.
Kisah yang sama berulang kembali. VOC yang sudah lama ingin menguasai Makassar bergembira menyambut kedatangan Aruppalakka dan segera saja mengatur siasat untuk melancarkan serangan. Tiga tahun mereka menyiapkan sebuah pasukan gabungan dan akhirnya pada tanggal 21 Desember 1666 armada VOC yang dipimpin langsung oleh Gubernur Jenderal Cornelis Speelman menyerang Benteng Somba Opu di Makassar. Setelah perang selama hampir setahun lamanya yang melibatkan penguasa Buton, Ternate, Tidore, Bacan, Soppeng dan lainnya di pihak Bone dan VOC, akhirnya Sultan Hasanuddin setuju untuk melakukan perundingan damai di Bungaya. VOC menuntut agar Makassar melepas semua daerah kekuasaannya di Sulawesi maupun daerah lainnya dan membiarkan VOC membangun benteng di kota perdagangan itu. Perjanjian yang tidak adil membuat Sultan Hasanuddin kembali angkat senjata. Hanya saja posisinya sudah jauh lebih lemah. Pada tanggal 12 Juni 1669 setelah satu setengah tahun berperang, akhirnya Benteng Somba Opu yang terkenal itu jatuh, dan masa kejayaan Makassar sebagai sebuah kota perdagangan maritim internasional pun berakhir.
Ada beberapa hal yang bisa kita pelajari dari perjalanan sejarah Banten dan Makassar ini. Keduanya adalah pelabuhan dagang internasional yang tumbuh pesat di bawah kepemimpinan seorang raja yang cakap dan didampingi oleh penasehat yang ahli: Kyai Ngabehi Kaytsu dan asistennya, Kyai Ngabehi Cakradana, di Banten, dan Karaeng Matoaya dan Karaeng Pattingaloang di Makassar. Dalam penulisan sejarah mereka sering disebut sebagai patih atau perdana menteri, tapi sebenarnya peran mereka juga penting sebagai intelektual di masanya. Karaeng Pattingaloang tidak hanya tertarik mempelajari bahasa, ia juga belajar matematika, ilmu alam, dan mendalami teks klasik Barat tentang berbagai bidang dalam bahasa aslinya.
Sayang terlalu sedikit yang kita tahu mengenai kegiatan dan pemikiran mereka. Tapi menilik catatan orang asing yang pernah berjumpa dengan mereka, dan juga melihat keberhasilan mereka membangun kota-kota pelabuhan internasional di Asia, boleh jadi benar bahwa the age of commerce pada saat bersamaan juga merupakan masa tumbuh berkembangnya bermacam pengetahuan di Nusantara.
Dugaan ini timbul tentu bukan hanya karena melihat kemampuan Karaeng Pattingaloang berbahasa asing atau hubungan Kyai Ngabehi Cakradana dengan para petinggi militer Tiongkok, tapi karena fakta bahwa Banten dan Makassar adalah kota dagang raksasa untuk zamannya yang memerlukan pengetahuan, kemampuan merencanakan, kecakapan mengatur, ketangguhan memimpin dan juga keberanian bertindak. Mengurus pedagang dan pelaut dari seluruh penjuru dunia dengan adat kebiasaan, bahasa, perangai dan perilaku berbeda-beda tentu bukan hal yang mudah. Belum lagi mengurus para pemberontak, perompak, dan pencurinya. Membangun kota tidak cukup dengan uang, pedang dan meriam. Diperlukan pengetahuan cukup tentang sistem pelayaran, arah angin, teknologi maritim, adat kebiasaan dan bahasa, dari semua kalangan yang singgah maupun menetap. Tentang kebiasaan mereka, tentang penyakit yang mereka bawa, tentang keanehan dan keganjilan yang bisa menjadi penyulut perkara. Pencatatan menjadi mutlak, karena hanya dengan begitu orang bisa tahu apakah perdagangan sedang berjalan baik atau tidak. Singkatnya, kekuasaan politik dan pertumbuhan perdagangan bertumpu pada pengetahuan dan organisasi.
Kesultanan Banten, Makassar, Aceh, Mataram, Ternate, Tidore dan semua saja kekuasaan pribumi yang masih bertahan di abad ketujuhbelas yang menentukan itu adalah kekuasaan feodal. Dengan mengangkat berbagai pencapaian penting dari kerajaan maritim ini saya tidak sedang mengatakan bahwa sebaiknya kita kembali kepada kebudayaan dan kekuasaan feodal, di mana seorang penguasa, seperti digambarkan Pramoedya dalam Arus Balik, menggunakan punggung bawahannya sebagai pijakan untuk naik ke punggung kudanya. Tapi sebaliknya kita tidak mempelajari feodalisme ini dengan sentimen moral dan generalisasi. Untuk memahami arus balik kebudayaan dalam sejarah kita perlu menjawab mengapa semua kerajaan maritim itu gagal menghadang laju ekspansi kekuasaan Eropa di Nusantara, padahal jika melihat sejarahnya beberapa kerajaan maritim itu termasuk apa yang oleh Sukarno disebut sebagai
“Feodalisme yang penuh dengan kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang dan yang umpamanya tidak diganggu hidupnya oleh imperialisme asing, niscaya bisa ‘meneruskan perjalanannya’ bisa ‘menyelesaikan evolusi,’ yakni niscaya bisa hamil dan akhirnya melahirkan suatu pergaulan hidup modern yang sehat pula!”
Dengan kata lain, jika saja Perang Makassar tidak terjadi dan Sultan Ageng Tirtayasa tidak dikhianati oleh anaknya sendiri, maka mungkin rakyat Nusantara bisa memasuki “pergaulan hidup modern yang sehat” dengan cara mereka sendiri. Sukarno kemudian membandingkan feodalisme yang penuh dengan kemungkinan ini dengan apa yang disebutnya “feodalisme sakit-sakitan” yang sudah kehilangan gairah seperti Tuban di masa Wiranggaleng. Kematian gagasan yang direpresentasikan oleh kematian Rama Cluring, tokoh guru yang dibunuh oleh kepala desa karena kata-katanya kemudian disempurnakan oleh “feodalisme sakit-sakitan” sang adipati. Benar belaka Karaeng Pattingaloang ketika menyebut penyebab hancurnya sebuah negeri adalah ketika “raja tidak mau diperingatkan” (uru-urun, punna tea nipakainga karaeng maggauka) dan “tidak ada lagi kaum cendekiawan” (makaruanna, punna tena tumangngasseng ilalang pa’rasangan) yang memberi nasehat kepada raja itu.[7]
Ketika satu demi satu kerajaan maritim di Nusantara takluk atau terikat pada VOC maka dengan sendirinya gerak menuju “pergaulan hidup modern yang sehat” menjadi terhambat. Dalam keadaan terikat pada VOC setidaknya secara politik dan ekonomi, maka pencarian pengetahuan tidak lagi diutamakan. Para penguasa dan penasehat tidak lagi harus berpikir sendiri mencari jalan untuk membuat negerinya berkembang. Di sinilah kedaulatan tumbang, dan di sinilah akar historis dari kebudayaan yang serba tunduk dan tanpa inisiatif.
Ketika VOC melancarkan operasi hongitochten atau pelayaran keliling yang merusak perkebunan lada dan pala untuk menjamin monopoli dagang mereka di kawasan Maluku, yang diserang bukan hanya tanaman dan kehidupan ekonomi, tapi juga kebudayaan yang memungkinkan orang Maluku bertahan hidup mandiri sebagai komunitas maritim. Perkembangan serupa bisa kita lihat hari ini di banyak tempat di mana penggusuran tanah oleh pertambangan dan perkebunan terjadi secara masif, terstruktur dan sistematis. Ribuan komunitas adat, komunitas tani, komunitas yang menyambung hidup dari hasil hutan, tidak saja kehilangan tanah, tapi kehilangan keseluruhan cara hidup, kehilangan kebudayaan.
Seiring dengan meluasnya kekuasaan VOC, kekuasaan kerajaan maritim semakin sempit, kendali komunitas maritim atas hidup mereka sendiri semakin lemah, dan kebudayaan maritim di Nusantara pun semakin surut. Gerak memunggungi laut terjadi di mana-mana, dan yang paling mencolok di antaranya terjadi di Jawa. Setelah Majapahit runtuh dan Demak muncul sebagai kekuatan politik terpenting di pantai utara Jawa, ruang politik dan kebudayaan kerajaan maritim di Jawa sudah sangat mencuit. Dari semua ekspedisi kerajaan Demak mungkin hanya Banten yang bisa dibilang berhasil. Dan itu pun karena orang yang awalnya ditunjuk oleh Demak untuk memimpin Banten, akhirnya memilih memisahkan diri dari Demak.
Dengan sisa kekayaan dan kekuatan militer yang tersisa para penguasa di Jawa Tengah mencoba bangkit kembali, dimulai dengan Sultan Agung yang masih bergairah memperluas kekuasaannya dan berturut-turut menaklukkan sejumlah kota di Jawa bagian tengah dan timur, Madura, Kalimantan (Sukadana) dan Sumatera (Palembang). Di puncak kejayaannya antara 1622 sampai 1645 ia menguasai hampir seluruh Jawa dan Madura, dan bisa memperluas daerah inti kerajaannya (nagaragung) dari Bagelen di sebelah barat sampai Keduwang di sebelah timur dan Kedu di sebelah utara. Ia juga memperlihatkan kemampuan membangun gedung, jalan dan jembatan yang menakjubkan orang Eropa.
Tapi pada saat bersamaan ia menarik pusat kerajaan dari pesisir utara ke pedalaman dan menutup dua pelabuhan penting, Tuban dan Surabaya. Reorientasi ini membuat penduduk akhirnya bergantung pada pertanian dan meninggalkan kebudayaan maritim yang mereka hidupi selama berabad-abad. Kota-kota pelabuhan di pantai utara Jawa mulau mengecil sampai akhirnya dicaplok oleh VOC atau mati sendiri. Gerak memunggungi laut ini diteruskan oleh keturunannya. Amangkurat I yang memerintah antara 1646-1677 bahkan bergerak lebih jauh memutus hubungan dengan Makassar yang saat itu justru sedang mencapai puncak kejayaannya, dan malah coba menjalin hubungan dengan VOC.
Ketika rangkaian langkah ini dipersoalkan, Amangkurat I justru membunuh semua penasehat senior yang dulu membantu ayahnya. Dan ketika adiknya menentang pembunuhan terhadap para penasehat senior itu, ia juga dibunuh. Kekuasaan dan pengetahuan sepenuhnya tercerai dan satu per satu wilayah kekuasaannya terlepas baik karena pemberontakan maupun karena intervensi VOC. Di akhir abad ketujuhbelas yang menentukan wilayah Mataram yang sempat membesar di masa Sultan Agung kembali menciut dan para penguasanya kehilangan kendali sama sekali terhadap Laut Jawa yang pernah menjadi basis kekuasaan mereka di masa lalu.
Kekalahan demi kekalahan yang diderita kerajaan dan komunitas maritim di Nusantara tidak hanya mengubah peta politik dan jalur perdagangan maritim, tapi mengubah kebudayaan masyarakat secara mendasar. Di masa kejayaan dunia maritim Nusantara antara pertengahan abad kelimabelas dan akhir abad ketujuhbelas para pengarung lautan memiliki tingkat pengetahuan, organisasi kerja, dan imajinasi politik yang luar biasa. Bayangkan sembilan penguasa “feodal” bersepakat untuk membangun kekuatan bersama dan menjadi salah satu kekuatan dunia, sementara hari ini bersepakat membagi kedudukan di DPR saja susah. Lalu bermimpi jadi bangsa yang besar? Super!
Tingkat pengetahuan yang tinggi dan organisasi kerja yang kuat di masa itu didorong oleh kebutuhan nyata karena menghadapi alam yang luar biasa: lautan. Lihat misalnya pembagian kerja di kapal. Di pucuk pimpinan adalah pemilik kapal, nakhoda laut dan nakhoda darat. Lantas ada jurumudi dan jurubatu yang bertanggungjawab atas karang dan gosong di perairan dangkal, mualim atau pandu laut yang membawa kapal, serta mualim kecil yang mengurus tali-temali kapal dan arah angin. Di tingkat yang lebih rendah adalah para tukang yang dipimpin oleh seorang tukang agung. Sisi kiri dan kanan serta bagian tengah lambung kapal diurus oleh tukang yang berbeda. Lantas ada tukang yang mengurus ruangan dalam kapal dan yang mengurus layar. Di bawah lapisan ini ada awak kapal yang dipimpin oleh seorang mandor. Para awak dibagi ke dalam kategori orang banyak artinya pekerja bebas yang menerima upah dan orang abdi atau budak. Para asisten disebut muda-muda tidak mengurusi pelayaran tapi selalu mendampingi nakhoda dan para petinggi ketika turun ke darat. Kategori penumpang juga berbeda-beda bergantung pada ukuran kapal. Dan begitu seterusnya.
Pembagian kerja semuanya terkait tanggung jawab. Jabatan diadakan karena kebutuhan dengan fungsi dan tanggung jawab yang jelas. Mengarungi laut memerlukan ketepatan dan kecepatan, dan terutama kerjasama erat di antara semua unsur. Kesalahan kecil bisa berakibat fatal dan merugikan semua pihak. Kesadaran akan kebersamaan ini adalah modal penting bagi tumbuhnya kebudayaan yang solid. Di Malaka pembagian kerja yang kompleks bahkan sudah diatur dalam Undang-Undang Malaka yang disusun pada masa kekuasaan Sultan Muzzafar Syah (1445-1458). Di Makassar aturan serupa dituangkan ke dalam pasal-pasal Amanna Gappa yang disusun pada tahun 1676, di masa kekuasaan Karaeng Pattingaloang.
Di titik inilah kebudayaan bertemu dengan kekuasaan yang kemudian melahirkan tatanan. Setiap kerajaan maritim dan kota pelabuhan besar maupun kecil memiliki aturan dengan kesadaran akan adanya aturan di tempat lain juga. Diperlukan penelitian lebih mendalam untuk memahami saling pengaruh di antara kerajaan maritim dan kota pelabuhan ini secara konkret, tapi cukup aman untuk dikatakan bahwa jaringan pelayaran di Nusantara saat itu sudah memperlihatkan kesatuan yang kompleks. Para pemimpin di masa itu punya kemampuan menangkap denyut kehidupan maritim dan merangkainya sebagai kesatuan, bukan karena ada ideologi nasionalisme, tapi karena hanya dengan muncul sebagai kesatuan mereka bisa bergerak maju. Bahwa mereka tidak membayangkan Indonesia modern yang merdeka itu sudah jelas, tapi bahwa mereka membayangkan kesatuan yang lebih luas dari kampung halamannya sendiri, juga tidak bisa disangkal.
Tapi seluruh pengetahuan, kemampuan organisasi, kemampuan menangkap denyut kehidupan ini semakin menurun seiring dengan berkurangnya kekuasaan mereka atas lautan. Untuk apa aturan yang rumit mengenai pembagian kerja di kapal kalau tidak ada lagi kapal besar yang tersisa? Untuk apa kapal besar kalau kekuatan untuk melindunginya tidak ada? Untuk apa melindungi yang lain kalau mengurus diri sendiri sudah susah? Dan kebudayaan maritim pun runtuh secara bertahap. Komunitas pesisir yang semula terkait atau malah menjadi bagian dari kekuasaan yang lebih luas, sekarang terlepas dan diabaikan. Ritme kehidupan yang sempat dipersatukan kini tercerai dan semua komunitas kembali pada ritmenya sendiri. Sebagian menghilang untuk selamanya, sebagian lain dengan keras kepala bertahan menghadapi zaman, terasing satu sama lain, dengan ritme yang tidak bersambungan: Tidore tidak lagi mengenal Gresik, Jepara tidak lagi mengenal Jambi dan Patani, Tuban tidak lagi mengenal Manila, Banten tidak lagi mengenal Aru.
* * *
Proses kemerosotan kebudayaan maritim berlangsung selama sekurangnya 200 tahun. Dengan akses laut yang terbatas kehidupan berorientasi pada daratan. Pengaruhnya bisa terlihat dari kekeliruan yang terus berulang ketika menerjemahkan konsep archipelagic state sebagai negara kepulauan. Asal-usul istilah dalam konteks ini sangat penting seperti diingatkan Profesor Lapian dalam disertasinya. Kata archipelago berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu arkhi yang berarti utama dan pelagos yang berarti laut. Jadi, jika digabungkan maka archipelago berarti laut yang utama, atau dalam rumusan Profesor Lapian, lautan yang ditaburi pulau-pulau.
Perbedaan pengertian ini bukan persoalan etimologi dan semantik belaka, tapi persoalan cara pandang. Dengan menyebut negara kepulauan maka laut dilihat sebagai pembatas atau penghalang antara pulau yang satu dengan yang lain. Tidak heran jika solusi yang dicari adalah membuat jembatan penghubung, seperti megaproyek Jembatan Selat Sunda. Tapi dengan menyebut negara lautan yang ditaburi pulau-pulau maka fokus utamanya adalah laut. Dalam konteks ini langkah Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja yang mendeklarasikan Indonesia sebagai sebuah archipelagic state pada 13 Desember 1957 adalah terobosan luar biasa. Dalam deklarasi itu dikatakan:
“Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia.”
Deklarasi itu seketika menambah luas wilayah Indonesia dua setengah kali lipat dan yang lebih penting dari itu, membuka kemungkinan Indonesia untuk mengelola sumber daya secara berbeda dengan adanya kedaulatan penuh secara politik dan hukum. Sejarah kekuasaan atas lautan yang 200 tahun lamanya dibalik dengan sebuah deklarasi. Masalahnya fokus dan tujuan dari para perumus deklarasi itu sendiri sangat terbatas pada masalah pertahanan dan keamanan wilayah. Aturan yang lama, yakni Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie dari tahun 1939, memungkinkan kapal asing – dalam hal ini kapal perang Belanda – mengarungi perairan Indonesia dengan bebas. Hal itu dianggap ancaman terutama ketika hubungan Indonesia dengan Belanda menurun drastis akibat UU No. 13/1956 yang membatalkan hasil Konperensi Meja Bundar dan membuka kemungkinan bagi pemerintah untuk mengambilalih aset atau melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing.
Walau ancaman itu dianggap nyata perumusan konsep untuk menegakkan kedaulatan Indonesia atas wilayah laut memakan waktu cukup lama. Baru setahun kemudian Perdana Menteri Djuanda menunjuk ahli hukum laut Mochtar Kusumaatmadja untuk menemukan rumusan yang tepat. Adalah Mochtar Kusumaatmadja, yang pernah menjabat sebagai menteri luar negeri di masa Soeharto, yang kemudian merumuskan Indonesia sebagai sebuah archipelagic state.
Latar belakang sejarah ini penting agar kita paham bahwa Deklarasi Djuanda sejak awal bertolak dari kepentingan pertahanan dan keamanan yang intinya adalah menetapkan larangan bagi pihak lain memasuki wilayah perairan Indonesia. Titik tekannya adalah pada larangan dan bukan pada apa yang perlu dilakukan agar wilayah tersebut berkembang atau membantu perkembangan yang lain. Dari segi ini mirip dengan klaim atas lahan luas yang melarang orang lain masuk tapi kemudian lahan itu sendiri dibiarkan mangkrak selama bertahun-tahun. Secara hukum Deklarasi itu baru diterima pada tahun 1982 dengan keluarnya UN Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS. Konvensi itu sendiri baru diintegrasikan ke dalam sistem hukum Indonesia tiga tahun sesudahnya melalui UU No. 17/1985. Tapi setelah itu ada jeda yang amat lama untuk mengisi ruang tersebut dengan perangkat hukum yang lebih spesifik, yakni UU Kelautan yang baru disetujui oleh DPR pada tanggal 29 September tahun ini. UU Kelautan pertama setelah 69 tahun archipelagic state ini merdeka!
Di tingkat praktek hambatan untuk mengklaim kembali ruang maritim itu jauh lebih rumit. Ketika pemerintah Indonesia dengan semangat pembatalan kesepakatan KMB akhirnya memutuskan untuk melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan pelayaran Belanda KPM pada tahun 1960 tidak ada lagi kapal yang tersisa. Kebanyakan dari mereka sudah pergi sejak dua tahun sebelumnya ketika gelombang nasionalisasi mulai menguat. Entah tidak ada persiapan atau tidak ada kemampuan, atau kombinasi keduanya, yang pasti kapal-kapal Belanda itu pergi tanpa dihalangi. Kemampuan angkatan laut Indonesia pada masa itu memang masih terbatas. Baru pada tahun 1960an dengan adanya bantuan peralatan dari Uni Soviet dan Eropa Timur angkatan laut bisa tumbuh sebagai kekuatan yang signifikan di Asia.
Ketika mulai melakukan riset untuk pidato kebudayaan ini saya mendapat kesan bahwa keadaan sudah jauh lebih baik dari segi peralatan, teknologi, pengetahuan dan organisasi. Sampai beberapa hari lalu media melaporkan temuan yang disampaikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti bahwa dari 70 kapal patroli TNI Angkatan Laut ternyata hanya 10 unit yang dapat beroperasi. Dalam kenyataan setiap hari hanya tiga kapal yang beroperasi. Kondisi POLRI tidak jauh berbeda. Dari 490 unit kapal patroli hanya separuh yang bisa beroperasi, dan itu pun hanya sepuluh hari dalam sebulan selama dua jam tiap harinya. Lalu kita ribut soal ilegal fishing dan pencurian ikan?
Di bidang perdagangan halnya sama saja. Data bongkar muat di empat pelabuhan besar menunjukkan tingginya angka bongkar/impor dibandingkan muat/ekspor dalam sepuluh tahun terakhir. Sampai hari ini mengimpor jeruk dari Shanghai masih lebih murah daripada mengangkut jeruk dari Pontianak ke Jakarta. Defisit perdagangan masih terus terjadi yang membuktikan arus masih mengalir dari utara ke selatan dan bukan sebaliknya.
Arus yang mengalir deras dari utara ini tidak dapat dihadapi hanya dengan membuat kebijakan baru, menambah jumlah kapal, mengembangkan infrastruktur, memberi insentif bagi penanam modal, karena seperti saya utarakan di awal, masalah ini sejatinya adalah masalah kebudayaan. Tentu saja kita tidak bisa mengembalikan kehidupan maritim seperti dua ratus atau tiga ratus tahun lalu begitu saja, dan saya kira bukan itu juga yang perlu dilakukan. Masalahnya bukan mengembalikan kebudayaan yang hilang tetapi bagaimana menghidupkan kembali kemampuan, sistem pengetahuan, cara pandang dan cara hidup, singkatnya kebudayaan, yang dikerdilkan selama sekurangnya dua ratus tahun.
Setelah kejatuhan kerajaan-kerajaan maritim Nusantara di akhir abad ketujuhbelas kehidupan masyarakat maritim dan pesisir dalam berbagai bentuknya masih terus berlangsung walau terserak dan diabaikan. Masalah kita sekarang adalah merajut tali sambung yang bisa mempertemukan berbagai pemikiran dan praktek ini sebagai sebuah kesatuan, karena hanya sebagai kesatuan kita dapat menghadapi arus dari utara yang begitu besar. Sekarang kita tidak bicara tentang kolonialisme Eropa dari abad lalu tapi tentang negeri tetangga sendiri dan juga Tiongkok. Itulah arus dari utara yang dominan hari ini.
Dunia tempat kita hidup sekarang ini tentu lebih kompleks daripada dua ratus tahun lalu dan saya memang tidak menganjurkan kita mencari jawaban mudah dalam sejarah. Dengan merujuk pada masa lalu yang jauh saya ingin mengingatkan kita semua mengenai transformasi besar yang terjadi dalam sejarah dan membuat kita ada dalam situasi seperti sekarang ini. Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer disebut novel sejarah bukan semata karena latarnya mengambil tempat di Tuban lima ratus tahun yang lalu, tapi karena novel itu menggambarkan sebuah transformasi yang hebat, sebuah arus balik yang hebat, dalam sejarah perairan kita. Sejarah sebagai kritik bertujuan mengenali semua kekuatan yang membentuk transformasi itu. Kesadaran inilah yang akan menjadi landasan bagi transformasi besar di masa mendatang.
Perjalanan kita menuju arah itu akan berat karena menyangkut perubahan kebudayaan yang mendasar. Tapi perjalanan yang paling ringan sekalipun tidak akan tuntas jika tidak ada langkah yang diambil. Menurut hemat saya tubuh kolektif kita akan bisa bergulir ke arah itu jika setidaknya ada tiga hal yang kita lakukan.
Pertama, yang paling mendasar, adalah menyadari ruang sosial dan kultural secara utuh. Banyak penduduk Jakarta tidak menyadari bahwa mereka hidup di kota pesisir. Marunda, Sunda Kelapa, Tanjung Priok, Cilincing adalah daerah yang mungkin tidak terlalu jauh secara fisik tapi amat jauh secara mental. Dalam beberapa tahun terakhir Kementerian Perhubungan dan TNI Angkatan Laut menawarkan jasa angkutan laut gratis untuk para pemudik yang ingin membawa sepeda motor. Tapi laporan media menunjukkan bahwa fasilitas itu sepi peminat. Orang rupanya lebih memilih berdesakan di jalan raya dengan resiko nyawa daripada menikmati fasilitas kapal laut yang gratis. Saya kira ini bukan sekadar masalah kenyamanan tapi terkait dengan kebiasaan, cara pandang, cara hidup selama ini, singkatnya, sebuah masalah kebudayaan. Keseluruhan hidup kita diorganisasi dan diatur dengan fokus pada daratan. Dan dari sini lahir bermacam rencana absurd seperti reklamasi Tanjung Benoa di Bali yang akan menimbun laut menjadi daratan.
Kita perlu cara pandang baru, kita perlu imajinasi baru. Kekalahan demi kekalahan sebagai kesatuan di masa lalu membuat negeri ini tercerai-berai ke dalam satuan-satuan yang membentuk dunia kecilnya sendiri, a nation of small things, yang sulit berpikir dan bergerak sebagai kesatuan, sebagai bangsa. Tentu saja small things ini tidak jelek pada dirinya. Kita ingat dalam krisis ekonomi 1998 yang merontokkan banyak usaha besar di negeri ini, justru usaha kecil dan menengah yang terbukti tangguh. Usaha kecil dan menengah ini yang menyerap tenaga kerja paling banyak, dan memberikan kontribusi besar pada perekonomian secara keseluruhan. Masalah kita adalah bagaimana menghimpun yang besar dan kecil sebagai kesatuan. Kita tidak ingin menjadi bangsa yang besar agar dapat mengeksploitasi laut seperti halnya kita mengeksploitasi sumber daya di daratan. Kita tidak ingin menjadi bangsa yang besar dan hidup dari kekerdilan bangsa lain. Kita perlu imajinasi baru dan cara kerja baru, bukan agar menjadi bangsa yang asal besar, tapi bangsa yang berguna.
Dari mana kesadaran dan imajinasi seperti itu datang? Sederhana saja: dari aksi atau tindakan. Kita tidak perlu rencana besar atau cetak biru baru tentang kebudayaan, kita perlu tindakan. Pemikiran dan rencana sudah berlimpah dan segera akan atau sudah menjadi superfluous jika tidak disambung dengan tindakan. Di sini saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menyebut Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pujiastuti yang beberapa inspeksi mendadaknya membuka kesadaran publik bahwa ada sesuatu yang sangat salah dengan pengelolaan dunia maritim kita. Orang dengan keahlian mengurus small things seperti inilah yang diperlukan untuk membayangkan tatanan baru di masa mendatang. Bukan satu orang planner atau perencana yang punya seribu mimpi tapi seorang pelaku yang perbuatannya bisa menggerakkan mimpi seribu orang. Adalah tugas intelektual untuk merangkum dan mengerangkai bermacam aksi dan tindakan itu sehingga bisa menjadi kesatuan dan kekuatan.
Tindakan yang tepat mengandaikan adanya pengetahuan cukup mengenai kenyataan yang hendak diubah. Dan di sini letak pentingnya kemampuan untuk mendengarkan. Inilah hal ketiga yang perlu kita lakukan. Kita perlu meningkatkan kemampuan untuk mendengarkan beragam ritme kehidupan dalam masyarakat dan keluar dari belenggu bahwa ritme yang satu lebih unggul dari ritme yang lain. Tentu ini bukan hal yang mudah. Kita hidup di dunia yang ramai dan bising sehingga kadang sulit menentukan apa yang perlu kita dengarkan dan apa yang tidak. Di tengah kebisingan itu kita akhirnya membiarkan algoritme mesin yang memilah timbunan informasi dan menghadirkannya sebagai “kenyataan” dalam bentuk trending topic. Kita perlu keluar dari jebakan itu, lalu belajar mendengarkan dengna sabar, memilah suara yang semula tampil sebagai kesatuan, dan mengolahnya sebagai kesatuan. Kalau semua itu dilakukan dengan kesabaran dan ketekunan, saya percaya kita akan menemukan kembali ritme kita sebagai kesatuan, sebagai bangsa.
Hilmar Farid, 2014
Keterangan: Naskah ini disampaikan dalam acara Pidato Kebudayaan, yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 10 November 2014.
Catatan Kaki
[1] Mochtar Lubis, Manusia Indonesia: Sebuah Pertanggungjawaban (Jakarta, 1977).
[2] Lihat karya Syed Hussein Alatas, The Myth of the Lazy Native (London, 1977). Buku ini diterbitkan pada tahun yang sama ketika Mochtar Lubis menerbitkan Manusia Indonesia.
[3] Adrian B. Lapian, Pelayaran dan Perniagaan Nusantara Abad ke-16 dan 17 (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008).
[4] Panca Azimat Revolusi, hlm. 346-47.
[5] Pramoedya Ananta Toer, Arus Balik, hlm. 737.
[6] Sprouts of capitalism, Mao Zedong. Untoro menggugat tesis yang mengatakan bahwa kapitalisme tumbuh dan berkembang karena kedatangan orang Eropa.
[7] Kasipalli: Tradisi Kepercayaan Nenek Moyang (Makassar: Pustaka Refleksi, 2008)
Kita lama hidup di bawah sistem yang pada dasarnya mengatakan: urusan publik itu ditangani negara saja, entah itu politik, kebebasan, dll. Jadinya, masyarakat ikut sistem karena takut, bukan karena mengerti dan merasa penting. (HF, 2014)