Berlomba-lomba Merdeka
Tidak perlu repot membuka buku sejarah kalau hanya ingin tahu kapan Indonesia merdeka. Sebentar lagi Anda akan melihat gapura, bendera segala ukuran atau sekadar goresan cat merah-putih di mana-mana. Hari kemerdekaan akan ditulis besar-besar di tembok, pintu masuk hotel, brosur, halaman koran, seperti hendak mengikuti Anda pergi ke mana pun juga. Di televisi atau radio perusahaan bersaing menggunakan simbol merah-putih, slogan kemerdekaan atau sekadar ucapan selamat untuk memperkenalkan simbolnya. Kalau sibuk di kantor, jauh-jauh hari atasan atau bawahan anda akan memberitahu hari itu kantor libur. Kalau tinggal di kampung lebih mudah lagi. Tanpa diminta akan ada serombongan anak muda, panitia perayaaan setempat, datang minta sumbangan.
57 tahun Indonesia merdeka melahirkan beragam tipe manusia yang punya cara masing-masing memperingati hari penting itu. Bagi para politisi inilah saatnya tampil berpidato mengumbar janji, mimpi, mengobarkan semangat atau apa saja yang mereka pikir penting didengar orang banyak. Tempat paling ideal untuk menonton pertunjukan ini adalah Istana Merdeka dan kantor pemerintah, karena semua ahlinya akan berkumpul di sana. Kalau senang tipe yang bersemangat, radikal dan kerakyatan datanglah ke Tugu Proklamasi di Jakarta, atau lapangan bola, halaman kampus dan halte bis di kota-kota besar lainnya.
Tidak banyak hal penting atau menarik yang disampaikan dalam pidato-pidato itu, tapi karena terus diulang setiap tahun ada juga yang nyangkut dalam ingatan saya. Biasanya mereka bicara tentang masa lalu yang gemilang dan masa depan yang cemerlang, tentang pengorbanan para pahlawan, tapi sedikit saja tentang kesengsaraan hari ini. Kadang saya berpikir apa benar masa lalu begitu bersemangat seperti yang diceritakan. Karena penasaran pernah juga saya utarakan pertanyaan kepada beberapa orang yang hidup di zaman itu. “Apa yang anda lakukan waktu proklamasi kemerdekaan?”
Ada kisah unik dari seorang tua beberapa tahun lalu. Tepat pada hari dan jam proklamasi, ia lewat di depan tempat acara itu berlangsung. Saat melihat bendera dikibarkan ia langsung berhenti memberi hormat, mengira tentara Jepang sedang membuat upacara. Tertegun ia saat melihat bendera merah-putih dan mendengar Indonesia Raya. Ia bergegas ke rumah temannya yang sedang kumpul bermain bridge, dan bersemangat menceritakan pemandangan ajaib itu. “Baguslah kalau begitu, sekarang kau duduk dulu, kita main,” jawab temannya sambil membagi kartu. Beberapa tahun kemudian, keempat pemain bridge ini menjadi perwira militer, dan selanjutnya setiap tahun rutin berpidato dengan semangat “mengingat” hari bersejarah itu.
Bagi pedagang kecil seperti Rosidin, perayaan 17 Agustus yang biasa disebut Agustusan itu adalah berkah. Sejak awal Juli ia dan seluruh keluarganya sudah sibuk menjahit kain merah dan putih menjadi bendera berbagai ukuran yang akan dijual berkeliling. Sebagian lain mencari tiang bambu dengan warna yang sama. Tahun lalu dengan modal sekitar 20 juta ia bisa meraup untuk cukup kredit motor baru. “Tapi kenapa setiap tahun orang beli bendera baru?” tanya saya yang dijawab senyum. Tidak berani saya menagih jawaban lebih lanjut, khawatir dia akan bertanya balik.
Setiap tahun rasanya pedagang seperti Rosidin semakin kreatif membuat merchandise kemerdekaan. Ada kaos dengan bendera merah-putih, angka tahun dan “Dirgahayu Republik Indonesia”, ada bros kecil, tas tangan, sticker, dan banyak lainnya. Kadang agar lebih menarik ada gambar tokoh mulai dari Soekarno dan putrinya Megawati sampai Iwan Fals, penyanyi balada yang digandrungi anak muda. Mereka tahu di zaman serba instant ini, gairah orang menunjukkan patriotisme pun bisa mendatangkan untung.
Sama halnya bagi para pengrajin sablon. Ada saja kantor pemerintah, organisasi dan partai politik atau perusahaan yang datang memesan spanduk dengan pesan kemerdekaan. Para pengrajin sudah siap dengan beberapa klise pesan atau ucapan selamat dan tinggal menggonta-ganti logonya. Tapi menurut pengakuan seorang pengrajin, pemasukan paling besar didapat dari pesanan t-shirt dari perusahaan sponsor lomba gerak jalan atau lari 10 kilometer. Jumlahnya ribuan dan pengerjaannya mudah.
Dari rangkaian peringatan ini bagian yang paling menarik buat saya adalah bermacam jenis lomba. Setiap tahun orang rasanya semakin kreatif. Saat saya kecil, di kampung ada lomba makan krupuk. Sepotong krupuk digantung dengan tali lalu peserta berlomba menghabiskannya dengan tangan terlipat di belakang. Karena ringan, krupuk itu akan tertiup angin ke segala arah dan anda perlu kemampuan fisik dan strategi untuk mengejarnya. Baru-baru saya dengar di beberapa tempat ada lomba makan donat yang diletakkan di atas meja yang dilumuri coklat, dengan aturan serupa.
Panjat pinang mungkin yang paling populer dan mudah dilihat. Di sini orang berlomba memanjat batang pohon pinang sekitar 6-7 meter yang dilumuri oli bekas untuk meraih hadiah yang digantung di atasnya. Kadang pohon itu dipasang di tengah kali, sehingga peserta yang tergelincir akan jatuh ke air. Tontonan yang menarik karena di samping kelincahan perlu juga kerjasama. Mereka yang berbadan besar menyediakan badannya sebagai tangga bagi yang bertubuh lebih kecil dan begitu seterusnya. Anak-anak biasanya menjadi ujung tombak untuk mengambil hadiah yang tergantung di atas.
Sekarang ini di banyak tempat muncul “tim panjat” yang nyaris seperti pemain profesional. Mereka memanjat untuk mendapat hadiah yang nantinya dibagi rata kepada anggota tim. Ada beberapa teman yang membentuk tim panjat pinang lalu mendatangi pemukiman kelas menengah atas karena hadiah di pohon pinang biasanya mahal-mahal. “Orang sana biasanya nggak ikut main jadi saingannya sedikit,” kata seorang teman. Tahun lalu ia kurang beruntung. Ia mengambil bungkusan besar. Sebuah Oxford English Dictionary edisi hard cover. Tidak banyak guna untuk pekerjaannya sebagai tukang ojek.
Di kalangan yang lebih berduit adu ketangkasan punya kelasnya sendiri. Ada slalom test, lomba ketangkasan skateboard sampai turnamen golf. Biasanya dengan judul “hari kemerdekaan” dan lambang merah-putih untuk menunjukkan kaitannya dengan hari penting itu. Agar nampak resmi sering juga hadiah utamanya berupa piala sumbangan seorang menteri atau pejabat tinggi dan sejumlah uang, lengkap dengan liputan media dan sponsor sekian perusahaan.
Acara permainan, adu ketangkasan dan olahraga biasanya ditutup dengan “panggung gembira” malam hari. Ini juga bervariasi. Di kampung biasanya ada panggung kecil dengan tenda terpal dan sound system seadanya. Acara itu dianggap milik kaum muda yang sejak berhari-hari sebelumnya sibuk latihan, menyiapkan dekorasi dan peralatan. Anak-anak yang lebih kecil biasanya tampil lebih dulu dengan tarian daerah, baca puisi kepahlawanan atau drama perjuangan heroik zaman dulu.
Kaum remaja seperti biasa tampil dengan gayanya sendiri. Fashion show termasuk paling populer walaupun hanya memamerkan kombinasi pakaian sisa ekspor. Kelompok musik anak muda setempat biasanya lebih senang membawakan lagu-lagu Guns ‘n Roses, Boys to Men atau alternative rock ciptaan sendiri. Pernah juga ada orang tua yang protes karena lagu-lagu ini menurutnya tidak sejalan dengan napas kemerdekaan. Mungkin tidak tahu kalau anak-anak ini ingin juga menghirup kebebasan karena bosan mendengar doktrin, pesan moral dan petuah yang sama. “Buktinya, mereka-mereka yang pidato sekarang lagi antre nunggu giliran diadili karena korupsi. Kalau begini, siapa yang benar?” seorang pemuda dekat rumah membela diri. Benar juga.
Semangatnya sama dengan peserta lomba. Bukan kalah-menang atau baik-buruk yang dicari tapi suasana gembira yang semakin langka dalam kesulitan hidup sehari-hari. Di hari itu orang sepertinya ingin membuang kepenatan dengan bermain, berteriak bebas dalam segala bahasa dan ekspresi; merdeka sesaat dari segala tekanan kerja, perintah atasan dan harga barang yang terus melambung naik.
Hilmar Farid, 2002
Kita lama hidup di bawah sistem yang pada dasarnya mengatakan: urusan publik itu ditangani negara saja, entah itu politik, kebebasan, dll. Jadinya, masyarakat ikut sistem karena takut, bukan karena mengerti dan merasa penting. (HF, 2014)