Keadilan Bagi Timor Leste: Prasyarat Demokrasi Indonesia
Mantan Menlu Ali Alatas pernah mengatakan bahwa masalah Timor Leste itu seperti kerikil dalam sepatu. Awalnya saya sangka ini sikap congkak seorang pejabat yang mau menganggap remeh masalah yang serius. Tapi belakangan saya berpikir bahwa pernyataan itu bisa diartikan lain. Kita tahu bahwa kerikil betapa pun kecilnya tetap saja mengganggu dan kalau dipakai berjalan selama 24 tahun pasti akan menimbulkan masalah juga. Boleh jadi ini pesan Alatas kepada dunia bahwa masalah Timor Leste ini walau ‘kecil’ tapi mengganggu dan harus secepatnya diselesaikan. Ia tahu persis bahwa pendudukan Indonesia yang membawa banyak korban itu mengganjal langkah Indonesia dalam pergaulan internasional, termasuk pencalonan dirinya sebagai Sekjen PBB. Kerikil itu pada akhirnya harus dikeluarkan dari sepatu. Kesempatan itu datang sesudah Soeharto mundur dari jabatannya, yang memperlihatkan bahwa yang paling berkepentingan mempertahankan pendudukan yang tidak populer itu tidak lain dari rezim Soeharto sendiri. Pada 30 Agustus 1999 rakyat Timor Leste menentukan pilihan dan selebihnya adalah sejarah.
Segera setelah referendum masalah keadilan bagi Timor Leste mencuat ke permukaan terutama karena pelanggaran hak asasi manusia selama referendum berlangsung. PBB sempat menurunkan komisi penyelidik ke Dili dan membicarakan kemungkinan membentuk pengadilan internasional bagi para pejabat Indonesia. Pengadilan itu tidak pernah terjadi tapi tuntutan untuk menyelidiki dan mengadili para pelaku pelanggaran tidak berhenti di sana. Berbagai inisiatif muncul termasuk pembentukan Panel Khusus untuk Kejahatan Serius oleh PBB di Dili untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara Januari-Oktober 1999. Para pemimpin Timor Leste sendiri menyadari bahwa tidak semua pelanggaran di masa lalu dapat diselesaikan dengan pengadilan. Pada 2002 kemudian dibentuk Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR), yang bertugas mencatat semua pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi antara 1974 dan 1999 di Timor Leste. Pada akhir 2005 komisi menyusun laporan setebal 2.500 halaman yang diberi judul Chega!
Di Indonesia sementara itu yang terjadi sebaliknya. Tuntutan untuk menyelidiki kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste terus diabaikan dan bahkan dihadapi dengan kekerasan.[1] Ketika tekanan agar PBB membentuk pengadilan internasional mulai menguat pemerintah Indonesia bergerak cepat membentuk pengadilan hak asasi manusia ad hoc untuk mencegah kemungkinan itu. Hasil pengadilan ad hoc itu sudah dapat diduga: semua perwira yang menjadi terdakwa divonis bebas. Hanya dua orang asal Timor Leste, gubernur Abilio Soares dan pemimpin milisi Eurico Guterres, yang diputus bersalah dan dijatuhi hukuman, mungkin untuk mempertahankan argumentasi Orde Baru bahwa yang terjadi di Timor Leste sesungguhnya adalah ‘perang saudara’ dan bahwa kehadiran militer Indonesia lebih untuk menengahi konflik itu. Pengadilan itu sendiri dalam prosesnya disulap menjadi panggung bagi para perwira TNI untuk mengobarkan patriotisme. Ketika Chega! diumumkan pemerintah Indonesia malah mendesak pemerintah Timor Leste untuk membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP), dan mengabaikan Chega! sama sekali.
Sepuluh tahun setelah referendum orang mengira bahwa jalan bagi orang Timor Leste untuk mencari keadilan atas pelanggaran hak asasi manusia selama 24 tahun pendudukan Indonesia sudah tertutup. Perhatian internasional semakin lemah dan pemerintah Timor Leste sendiri kelihatan tidak antusias. Di titik inilah saya kira metafora ‘kerikil dalam sepatu’ tepat untuk dipikirkan lebih mendalam. Terlepas dari apa maksud Alatas yang sesungguhnya, saya kira metafora itu merupakan pengakuan tersirat bahwa pendudukan Indonesia juga membawa luka bagi Indonesia sendiri. Betapa tidak, jika setiap hari selama 24 tahun harus berjalan dengan kerikil dalam sepatu. Dalam tulisan singkat ini saya ingin memperlihatkan hubungan antara penegakan kebenaran dan keadilan bagi Timor Leste dengan proses demokratisasi di Indonesia. Chega! tidak hanya penting bagi orang Timor Leste tapi juga untuk publik Indonesia yang memperjuangkan demokrasi.
* * *
Chega! adalah laporan paling lengkap mengenai apa yang dilakukan rezim Soeharto di Timor Leste selama 24 tahun. Presiden RDTL menyebutnya sebagai ‘ensiklopedi sejarah’. Bagi bangsa Indonesia laporan itu melengkapi catatan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh rezim Soeharto sejak Oktober 1965. Pendudukan di Timor Leste tidak bisa dilihat sebagai penyimpangan atau perkecualian tapi sebuah episode yang konsisten dengan watak rezim Soeharto selama 32 tahun berkuasa.[2] Informasi yang dikumpulkan dalam Chega! bisa menjadi bahan pembanding untuk melihat pelanggaran hak asasi manusia di wilayah yang lain seperti Aceh dan Papua, pembunuhan massal 1965-66, kerusuhan dan kekerasan seksual pada Mei 1998 atau penculikan aktivis pro-demokrasi 1997-98. Dengan membaca Chega! kita bisa memahami lebih baik pola pelanggaran, sosok para pelaku dan motivasi mereka, serta rantai komando dan organisasi yang bertanggungjawab dalam semua kasus tersebut. Tetapi sebelum sampai ke sana ada baiknya kita lihat beberapa kesimpulan penting dari Chega! mengenai pendudukan Indonesia di Timor Leste.
Pertama, laporan itu merumuskan apa yang sesungguhnya terjadi. Pemerintah Indonesia mengklaim bahwa Timor Leste adalah wilayah Indonesia yang diintegrasikan karena orang Timor Leste sendiri menghendaki demikian. Chega! sebaliknya bertolak dari landasan bahwa Timor Leste adalah wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri (non-self governing territory) karena proses dekolonisasi yang tidak selesai, dan bahwa pendudukan Indonesia adalah pelanggaran terhadap hak rakyat Timor leste menentukan nasib sendiri (right to self-determination). Penyelidikan menunjukkan bahwa rezim Soeharto menyusun rencana mencaplok Timor Leste jauh sebelum orang Timor Leste konon ‘meminta integrasi’ dengan Indonesia melalui Deklarasi Balibo pada 30 November 1975. Sejak setahun sebelumnya militer Indonesia melancarkan berbagai operasi tertutup dan infiltrasi ke wilayah Timor Leste. Salah satu episode yang terkenal adalah serangan ke Balibo pada 16 Oktober 1975 yang menyebabkan tewasnya lima jurnalis Australia di sana. Pada 7 Desember 1975 militer Indonesia di bawah perintah Soeharto melancarkan invasi ke Timor Leste dan menduduki wilayah itu secara ilegal.
Kedua, soal tanggung jawab. Chega! mengatakan korban jiwa akibat pendudukan mencapai sekitar 100.000 orang. Sekitar 10.000 orang mati dibunuh sementara lainnya mati di kamp-kamp ‘pemukiman kembali’.[3] Tanggung jawab atas semua ini terutama ada pada Presiden Soeharto dan juga pada ABRI, badan-badan intelijen dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan. Tanggung jawab ini mengikuti rantai komando dalam tubuh militer, sehingga perbuatan pelaku di lapangan tidak dapat dilepaskan dari perintah yang diberikan (atau pembiaran) oleh atasan. Laporan itu juga menyertakan daftar nama para perwira yang memimpin ABRI (kemudian TNI) sejak 1975 sampai 1999, dan juga mereka yang bertugas di Timor Leste. Banyak dari nama-nama itu yang kemudian menduduki jabatan penting dalam birokrasi, dan memperlihatkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia tidak dianggap masalah oleh rezim Soeharto. Butir lain yang tidak kalah penting menyangkut tanggung jawab ini adalah “bangsa Indonesia tidak memikul tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran ini.” Ada pemisahan yang jelas antara negara dan bangsa yang sering dicampur aduk dalam diskursus publik di Indonesia. Implikasi dari pernyataan ini akan saya bahas lebih lanjut di bagian terakhir.
Komunitas internasional ikut bertanggung jawab karena membiarkan rezim Soeharto melanggar hukum internasional tanpa sanksi apapun. Hampir semua negara maju seperti Amerika Serikat, Australia dan negara-negara Eropa, mengakui hak menentukan nasib sendiri tapi dalam pemungutan suara di Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB tidak mendukung resolusi yang mengecam Indonesia. Justru sebaliknya dalam berbagai forum resmi negara-negara ini berpihak pada rezim Soeharto karena ingin menjaga hubungan baik dan kepentingan ekonomi masing-masing. Hal itu yang menjelaskan mengapa misalnya negara-negara ini atas nama ‘demokrasi dan kebebasan’ menghukum Irak ketika Saddam Husein melancarkan invasi ke Kuwait pada Agustus 1990, tapi membiarkan pembunuhan massal di pemakaman Santa Cruz, Dili, pada 12 November 1991. Sejak berkuasa, rezim Soeharto mengubah haluan ekonomi Indonesia, membuka diri bagi penanaman modal asing, dan membina hubungan baik dengan negara-negara yang sangat berpengaruh dalam percaturan politik internasional. Timor Leste bukan hanya ‘kerikil dalam sepatu’ Jakarta, tapi satu dari sekian banyak kerikil dalam sepatu Washington.
Ketiga, motivasi pelaku. Pembunuhan massal terhadap orang yang tidak bersenjata sering dianggap sebagai ‘ekses’ dari pendudukan. Saya ingat waktu TNI dan milisi pro-integrasi menghancurkan Dili, para pemimpin militer meminta publik memahami ‘sikap emosional’ para prajurit di lapangan. Chega! menegaskan bahwa pelanggaran hak asasi manusia terjadi bukan tanpa alasan, tetapi karena pemerintah Indonesia secara sistematis ingin membasmi gerakan yang memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri di Timor Leste. Para pemimpin militer secara terbuka menyatakan hal ini di media cetak maupun elektronik. Pembunuhan karena itu bukan ‘insiden’ yang tidak disengaja tapi dilakukan sebagai bagian dari strategi melumpuhkan gerakan itu. Pada akhir 1970-an pemerintah mendirikan ‘kamp pemukiman kembali’ untuk memisahkan masyarakat dari gerakan, yang berakibat 84.200 orang mati kelaparan dan terserang penyakit. Perkosaan dan kekerasan seksual juga bagian dari strategi penaklukan di mana tubuh perempuan menjadi situs utamanya.
Keempat, soal skala pelanggaran. Selama 24 tahun ada kontroversi mengenai berapa sebenarnya jumlah korban di Timor Leste. Gerakan perlawanan melalui juru bicaranya waktu itu, José Ramos-Horta mengatakan jumlah korban mencapai 200.000 orang. Angka itu diambil dari hasil sensus yang menunjukkan penurunan jumlah penduduk sesudah invasi. Chega! adalah laporan pertama yang membuat perkiraan berdasarkan penyelidikan mendalam, dan memperkirakan jumlah korban seluruhnya sekitar 100.000 orang. Sekitar 18.600 orang mati dibunuh atau hilang, sementara 84.200 mati kelaparan atau karena penyakit di ‘kamp pemukiman kembali’. Jika dibandingkan jumlah penduduk ini berarti satu dari sepuluh orang menjadi korban, jumlah yang sangat spektakuler untuk negeri kecil seperti Timor Leste. Angka ini membuktikan bahwa pelanggaran hak asasi manusia terjadi secara meluas dan sistematis.
Berbagai kesimpulan dari laporan Chega! ini penting untuk menerangi keadaan hak asasi manusia di tempat-tempat lain. Orang Aceh dan Papua praktis mengalami perlakuan yang mirip dari militer Indonesia, mungkin karena banyak ‘alumni Timor’ kemudian bertugas di kedua daerah ini dan begitu juga sebaliknya. Tapi pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya terjadi di daerah operasi militer. Penembakan terhadap warga tak bersenjata terjadi di mana-mana sepanjang kekuasaan Orde Baru (Nipah) dan bahkan sampai saat ini (Alastlogo). Perlakuan buruk dan penyiksaan terhadap tahanan untuk mengorek keterangan atau mendapat pengakuan juga terus berulang dan kadang berakibat kematian. Bukti dan kesaksian akan praktek semacam itu melimpah dari seluruh Indonesia. Penculikan dan pelenyapan yang mencapai ratusan kasus di Timor Leste juga menjadi metode militer dan polisi untuk mematahkan gerakan protes di Indonesia, seperti terlihat dari kasus penculikan aktivis pro-demokrasi pada 1997-98. Perkosaan juga terjadi di Aceh dan Papua dan sekali lagi menegaskan bahwa perkosaan bukan penyimpangan oleh segelintir oknum tapi bagian dari strategi penaklukan.
Catatan pelanggaran hak asasi manusia yang panjang ini memperlihatkan bahwa hubungan antara penguasa dan rakyat sangat timpang, seperti masyarakat feodal di masa lalu. Penguasa dianggap keturunan atau perwakilan dewa di bumi sementara penduduk tidak lebih dari cacah. Orang Indonesia maupun Timor Leste tidak diperlakukan sebagai manusia utuh, sebagai warga (citizen) yang dilengkapi hak-hak asasi, tetapi sebagai ‘bawahan’ (subject) yang bisa diperlakukan sekehendak yang berkuasa. Penguasa di atas kertas dibatasi oleh hukum tapi dalam prakteknya punya kekuasaan mengatur pelaksanaan hukum itu sendiri. Selama Orde Baru berkuasa tidak ada perwira militer yang diajukan ke pengadilan karena kasus pelanggaran hak asasi manusia. Hanya tekanan internasional yang kuat akhirnya membuat penguasa bertindak dan penyelesaian biasanya dicari melalui mekanisme internal seperti pengadilan militer karena pelaku pelanggaran dianggap melakukan ‘kesalahan prosedural’ atau pembentukan dewan kehormatan perwira seperti dalam kasus pembunuhan Santa Cruz 12 November 1991.
Ketimpangan hubungan antara penguasa dan rakyat ini ikut menjelaskan krisis yang kita hadapi sekarang dalam kehidupan sebagai bangsa. Karena tidak ada kepastian hukum yang melindungi hak setiap warga, orang kemudian mengambil jalan pintas membangun benteng-benteng perlindungan mereka sendiri yang berbasis etnik, agama atau identitas lainnya. Identitas kelompok dimobilisasi dan diperkuat ini memberikan rasa aman dan juga unggul yang membuat anggota kelompok kerap merasa berada di atas hukum. Penutupan gereja dan penyerangan terhadap kelompok lain adalah cerminan dari perkembangan ini. Sektarianisme merebak dan berulangkali meledak sehingga jatuh korban jiwa dan harta yang tidak kecil. Aparat negara terbukti tidak mengambil langkah efektif untuk mencegah kekerasan dan dalam beberapa kasus malah terlibat mengobarkan sektarianisme. Persatuan nasional diikat dengan retorika – di beberapa tempat seperti Papua dan Maluku dengan represi – sementara masalah mendasar, yakni keadilan dan kesejahteraan, tidak ditangani.
* * *
Dalam berbagai kesempatan saya mendengar reaksi dari kalangan pejabat, elite dan juga orang biasa, bahwa ‘masalah Timor Leste’ (maksudnya penegakan kebenaran dan keadilan atas kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia selama 24 tahun pendudukan) adalah ancaman terhadap persatuan dan kesatuan. Berbagai dalil dan dalih dibuat, misalnya dengan mengatakan bahwa menyerahkan pelaku pelanggaran hak asasi manusia kepada pengadilan internasional atau panel khusus untuk kejahatan serius di Timor Leste itu melanggar kedaulatan Indonesia, atau mengatakan bahwa tuntutan untuk mengadili pelanggaran hak asasi manusia adalah ‘permainan asing’ untuk mengoyak persatuan dan kesatuan. Singkatnya tanggung jawab hukum perorangan ingin dialihkan menjadi masalah harga diri bangsa semata-mata untuk menghindari tanggung jawab itu sendiri. Reaksi seperti ini saya kira mencerminkan sikap picik terhadap sejarah, politik dan hukum internasional, dan memelihara jiwa kerdil melalui patriotisme kosong. Dalam bagian ini saya akan membaca Chega! dalam kerangka demokratisasi di Indonesia untuk membuat bangsa ini kembali pada jalur kebenaran dan keadilan yang sudah lama ditinggalkan.
Rekomendasi Chega! terdiri atas beberapa bagian yang masing-masing ditujukan kepada pihak-pihak yang terlibat. Rekomendasi kepada pemerintah Indonesia berkisar pada penegakan kebenaran dan keadilan yang menariknya sejalan dengan tuntutan gerakan pro-demokrasi sejak masa Orde Baru. Pemerintah antara lain diminta mengakui pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi, meminta maaf kepada keluarga korban dan mengubah catatan resmi dan bahan pendidikan yang mencerminkan pengakuan tersebut.[4] Untuk keperluan itu pemerintah juga diminta membuka dokumentasi tentang masa pendudukan baik yang menyangkut operasi militer, nama orang Timor Leste yang direkrut sebagai tentara dan tewas, nama orang yang dipindah paksa, para tahanan politik, maupun mekanisme pembentukan kelompok milisi pro-integrasi dan banyak lainnya. Pemerintah juga diminta memberikan informasi tentang para prajurit Indonesia yang tewas semasa bertugas dan membantu keluarganya. Informasi penting lain yang diminta adalah soal keterlibatan pemerintah dan militer Indonesia dalam kekerasan selama referendum 1999.
Implikasi dari langkah-langkah ini jika memang dilaksanakan saya kira akan luar biasa. Apalagi jika itu dilakukan untuk semua kasus pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan semasa Orde Baru berkuasa. Chega! dengan jelas membedakan rezim Soeharto dari negara Indonesia dan orang Indonesia pada umumnya. Tanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia berada di pundak para pejabat bukan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Setelah Soeharto jatuh, pemerintah semestinya bisa menarik garis batas yang jelas dengan masa lalu, membedakan diri sepenuhnya dari rezim Soeharto, dan membuka lembaran baru. Langkah itu juga akan membuktikan bahwa negara Indonesia kembali berjalan di atas hukum dan tidak tenggelam dalam ketiadaan hukum. Dalam konteks itu perlu juga dilihat rekomendasi agar pemerintah “bekerjasama secara penuh dengan upaya internasional ataupun upaya Timor Leste di masa depan yang berniat menangani masalah keadilan terhadap pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di Timor Leste antara 1974 dan 1999.” Tetap ada harga yang harus dibayar untuk perubahan. Para pemimpin negeri ini harus berhenti bertingkah seperti anak kecil yang berharap bayangan yang menakutkan akan pergi kalau mereka memejamkan mata.
Bahwa semua itu tidak (atau belum) dilakukan sampai sekarang ini saya kira mencerminkan ikatan yang kuat antara penguasa sekarang dengan kekuatan yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia di Timor Leste dan juga tempat-tempat lainnya di Indonesia. Tetapi itu tidak berarti bahwa publik harus ikut memelihara ikatan dengan masa lalu yang jelas merugikan demokrasi dan keutuhan bangsa. Menolak bersekongkol dengan penguasa yang mengingkari kebenaran dan menghindari keadilan adalah langkah awal yang penting bagi bangsa ini untuk bangkit. Tunasnya sudah bertumbuhan di mana-mana seperti terlihat dari penerbitan informasi yang lebih berimbang tentang pelanggaran hak asasi manusia, keterlibatan publik yang lebih besar dalam kampanye dan advokasi masalah hak asasi manusia. Berbagai pencapaian ini perlu dikonsolidasi agar bisa dilihat dan dirasakan sebagai kekuatan. Laporan Chega! bisa memperkuat gerak itu dengan menyediakan bahan yang sangat solid. Tidak ada dokumen lain yang membongkar pelanggaran hak asasi manusia oleh rezim Soeharto dengan data dan penjelasan terinci seperti Chega!
Rekomendasi Chega! secara tidak langsung juga menunjukkan arah perubahan kelembagaan atau refomasi yang sangat diperlukan untuk mencegah berulangnya pelanggaran hak asasi manusia di masa mendatang. Chega! secara rinci menjelaskan struktur organisasi dan mekanisme represi yang dipakai oleh pemerintah Indonesia di Timor Leste dan – patut diduga – juga di tempat-tempat lain semasa Orde Baru. Chega! mengkonfirmasi apa yang di tempat-tempat lain masih berupa dugaan dengan data yang solid. Informasi yang dikumpulkan sangat penting untuk membayangkan struktur organisasi, wewenang dan tanggung jawab aparat keamanan di masa mendatang. Selama ini reformasi kelembagaan negara seringkali bertolak dari ide abstrak yang dipinjam saja dari tempat lain dan bukan dari pengalaman konkret. Chega! dalam hal ini jauh lebih berguna daripada nasehat para ‘konsultan’ atau ‘tenaga ahli’ yang kadang malah menyesatkan.
* * *
Di atas saya sempat menyinggung butir kesimpulan Chega! bahwa “bangsa Indonesia tidak memikul tanggung jawab atas pelanggaran-pelanggaran [hak asasi manusia] ini. Masyarakat sipil Indonesia menunjukkan keberanian yang luar biasa, dengan secara aktif mendukung hak bangsa Timor Leste atas penentuan nasib sendiri.” Kesimpulan ini jelas bertolak belakang dengan sikap penguasa yang ingin menjadikan kesalahan mereka di Timor Leste sebagai urusan bangsa. Sikap ini saya kira sama bejatnya dengan mengkonversi utang pribadi para konglomerat menjadi utang publik yang kemudian harus dibayar oleh rakyat. Seperti halnya dalam urusan utang, banyak elite politik menggunakan jargon ‘harga diri bangsa’ atau patriotisme kosong untuk membela kepentingan mereka yang sangat sempit. Dengan rumusan yang lugas tentang tanggung jawab ini, laporan Chega! menohok politik ‘atas nama bangsa’ ini tepat di ulu hati.
Masalahnya politik ‘atas nama’ ini akan tetap efektif selama orang Indonesia sendiri tidak menyadari bangsa itu bukan sesuatu yang terberi (given) tapi sesuatu yang dibentuk secara aktif dalam sejarah. Tali pengikat bangsa Indonesia bukanlah bahasa, suku atau agama (seperti yang ingin dikesankan sebagian orang belakangan ini) tapi kesamaan pengalaman sejarah dan juga komitmen pada keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan. Bangsa Indonesia adalah sebuah komunitas politik yang membebaskan diri dari penjajahan kolonial dan berkomitmen untuk menghapus penjajahan dari muka bumi dan ikut serta menciptakan perdamaian dunia, seperti tertera dalam Pembukaan UUD 1945. Adalah Orde Baru yang menghancurkan ikatan komunitas ini dengan pembunuhan, penyiksaan, penahanan sewenang-wenang dan korupsi. Nasionalisme dimanipulasi untuk mempertahankan kepentingan penguasa. Keutuhan teritorial menjadi lebih penting daripada persatuan berbasis kesejahteraan dan keadilan.
Ketidakmampuan membedakan diri dan melepaskan diri dari nasionalisme picik Orde Baru membuat Indonesia menjadi bangsa yang kerdil, pemarah dan tidak adil. Chega! menjadi cermin yang baik untuk mengingatkan pada komitmen keadilan, kesejahteraan dan kesetaraan yang melandasi bangsa Indonesia, sebuah landasan penting bagi kebangkitan kolektif dari krisis yang parah.
Hilmar Farid
Catatan Kaki:
[1] Demonstrasi menuntut keadilan bagi Timor Leste di Jakarta pada 15 September 1999 dibubarkan paksa oleh polisi. Azas Tigor Nainggolan, seorang pengacara hak asasi manusia yang memimpin demonstrasi itu ditembak sehingga harus dirawat di rumah sakit.
[2] Chega! mencakup periode 1974-99 yang memperlihatkan bahwa kekuasaan rezim Orde Baru tidak dengan sendirinya berakhir ketika Soeharto mengundurkan diri pada Mei 1998.
[3] Laporan itu juga menyebut pembunuhan yang terjadi ketika ada konflik internal (1974-76) dan yang dilakukan oleh gerakan perlawanan setelah invasi Indonesia.
[4] Dalam kurikulum 2004 pelajaran sejarah sudah membahas pendudukan dan referendum di Timor Leste.
Kita lama hidup di bawah sistem yang pada dasarnya mengatakan: urusan publik itu ditangani negara saja, entah itu politik, kebebasan, dll. Jadinya, masyarakat ikut sistem karena takut, bukan karena mengerti dan merasa penting. (HF, 2014)