Pengantar

Tidak ada kiranya penulis Indonesia yang mendapat perhatian dunia seluas dan sebesar Pramoedya Ananta Toer. Karya-karyanya yang diterjemahkan ke dalam semua bahasa utama di dunia dan belasan bahasa lainnya di Eropa dan Asia, berulangkali mendapat penghargaan internasional. Saat ini sudah ada puluhan buku, disertasi, skripsi sarjana, artikel ilmiah dan ratusan tinjauan buku yang membahas karya-karyanya dari masa awal maupun karya-karya yang ditulis semasa ditahan di Pulau Buru, yang menegaskan posisinya sebagai penulis novel paling penting dan terkemuka di Indonesia. Tapi menariknya hanya sedikit yang mengulas perannya sebagai intelektual dan kritikus budaya (Scherer 1981, Miller 1993), dan lebih sedikit lagi yang menulis mengenai kedudukan dan perannya sebagai seorang peneliti dan penulis sejarah (Wertheim 1995). Sungguh ironis, mengingat karya Pulau Buru yang mengantarnya ke kedudukan itu adalah hasil penelitian sejarah yang mendalam. Ada lebih dari 150 artikel – sebagian besar diterbitkan dalam bentuk serial – mengenai berbagai aspek sejarah yang disusunnya antara 1956 ketika ia mulai menaruh perhatian khusus terhadap studi sejarah secara sistematis sampai 1965 saat kerja keras itu diakhiri secara paksa oleh Orde Baru. Sejauh ini tulisan-tulisan tersebut belum diperhatikan secara serius, baik oleh peminat dan kritikus sastra maupun ahli sejarah.

Alasan utama mengapa nama dan karya-karya sejarah Pramoedya tidak dibicarakan di Indonesia tentunya adalah pelarangan dan pembatasan terhadap diri dan karyanya sejak 1965 oleh penguasa Orde Baru.[1] Menyimpan, memperjual-belikan dan membaca karya Pramoedya saat itu dianggap kejahatan yang punya akibat hukum. Di Jogjakarta tahun 1989 tiga orang anggota sebuah kelompok studi ditangkap oleh militer dan dihukum penjara karena ketahuan menjual, membaca dan mendiskusikan Rumah Kaca. Di lingkungan akademik pun situasinya tidak jauh berbeda, di mana aparat kampus menjadi wakil kekuasaan negara untuk membersihkan kampus dari ‘pikiran beracun’. Pada pertengahan 1981, beberapa waktu setelah Pramoedya dilepas dari Pulau Buru, beberapa mahasiswa Universitas Indonesia mengundangnya bicara tentang peran intelektual dunia ketiga di kampus fakultas ilmu sosial. Saat kegiatan berlangsung, aparat kampus datang untuk membubarkannya. Mahasiswa yang menjadi penyelenggara kegiatan itu dipecat dari universitas dan sempat ditahan oleh penguasa militer.

Tapi tidak adanya perhatian di kalangan ahli sejarah sendiri terhadap studi yang disusun Pramoedya saya kira punya latar belakang lain.[2] Mereka yang bersimpati kepada Pramoedya pun biasanya memisahkan karya sastranya dari masa awal dan karya Pulau Buru yang dipuji sebagai ‘novel sejarah’, dengan kecenderungan ideologi dan perannya sebagai kritikus budaya yang tajam menjelang 1965. Dalam sebuah diskusi sastra di Jakarta sekitar sepuluh tahun lalu, seorang penulis menyebut karya Pulau Buru sebagai mahakarya yang jauh melampaui pencapaian Pramoedya sebelum 1965, apalagi jika dibandingkan dengan “tulisan-tulisannya yang lebih menyerupai pamflet menjelang peristiwa [1965].” Sementara ada pula yang menganggap karya-karya dari periode 1950-an, sebelum ia bergabung dengan LEKRA dan menjadi seorang intelektual kiri terpandang, lebih baik mutunya daripada karya-karya belakangan yang susah dibedakan dari pamflet. Alhasil dalam wacana kebudayaan dan intelektual Indonesia ada sekurangnya dua Pramoedya: sang sastrawan ulung dengan sederet mahakarya dan seorang pamphleteer yang menggasak lawan bicaranya dengan pena teramat tajam. Dan kedua Pramoedya ini bukanlah ahli sejarah.

Pemisahan antara sastra, sejarah dan politik ini diperkuat oleh obsesi akan obyektivitas yang terungkap dalam konsep ilmu sejarah. Akar pemikiran sejarah sebagai ilmu ini dapat ditelusuri kembali pada zaman kebangkitan disiplin ilmu-ilmu akhir abad ke-19 di Eropa (Wallerstein 1996). Di Indonesia fixation itu diadopsi ke dalam wacana keilmuan kolonial pada kurun yang sama, hampir tidak mengalami kritik di masa awal kemerdekaan – Pramoedya adalah salah satu dari sedikit orang yang mengkritiknya – dan menemukan lahan suburnya dalam politik floating mass yang anti-politik pada masa Orde Baru (Hilmar Farid 2005). Pada awal Orde Baru kalangan ahli sejarah secara tegas membedakan diri dari banned history yang dibuat oleh para penulis kiri yang diberangus maupun bad history atau penulisan sejarah yang lebih populer dan dianggap tidak ilmiah. Ilmu sejarah menurut historical establishment saat itu adalah penulisan tentang masa lalu yang obyektif, bersih dari kepentingan politik dan ditulis dengan kaidah ilmiah. Pramoedya tidak memiliki semua itu. Sejarah yang ditulisnya penuh gairah, sangat subyektif, bermuatan politik dan tidak terlalu peduli pada kaidah ilmiah.

Tulisan ini tidak bermaksud menobatkan atau menuntut pengakuan terhadap Pramoedya sebagai sejarawan sebagaimana istilah itu dimengerti dalam ilmu sejarah. Di samping tidak memiliki otoritas maupun minat untuk melakukannya, saya kira Pramoedya juga tidak memerlukan gelar atau pengakuan semacam itu. Kehidupan dan karya Pramoedya sendiri dapat menunjukkan bahwa pengucilan karya sejarah atas nama ilmu dan politik negara bukan sekadar warisan kolonial yang merugikan tapi lebih jauh menyebabkan terjadinya involusi dalam studi sejarah di Indonesia. Hal yang ingin saya lakukan dalam studi ini adalah menelaah pemikiran Pramoedya mengenai sejarah berdasarkan rangkaian tulisannya mengenai berbagai aspek sejarah Indonesia yang ditulis antara 1956-65 dan karya Pulau Buru, serta pengaruhnya bagi historiografi Indonesia. Saya akan menjelaskan bahwa pemikiran Pramoedya mengenai sejarah ini adalah potongan gambar yang penting dalam dekolonisasi pemikiran dan penulisan sejarah Indonesia.

Tentu ini bukan usaha yang pertama. Sejak penerbitan Bumi Manusia pada Agustus 1980, kritikus sastra, sejarawan dan ahli-ahli lainnya berbicara tentang pentingnya karya tersebut bagi pemahaman mengenai sejarah. Karya-karya itu tidak hanya menarik bagi kritik sastra tapi juga kajian budaya. Dalam sepuluh tahun terakhir ada sejumlah studi mengenai karya-karyanya, terutama empat jilid karya Pulau Buru, yang di bawah terang teori kajian budaya paling mutakhir menjadi gugus pemikiran yang menakjubkan tentang identitas bangsa (Koh 1993, Bardsley 1996, Bahari 2002). Tentu tidak ada keberatan terhadap upaya meraba-raba tempat Pramoedya dalam khazanah kajian budaya kontemporer dan menyandingkannya dengan teoretisi pascakolonial seperti Homi Bhabha atau filsuf Jacques Derrida. Tapi saya kira perlu juga upaya menetapkan jejak Pramoedya dalam sejarah dan penulisan sejarah di Indonesia sendiri, serta memperjelas sosoknya sebagai sastrawan ulung, kritikus budaya dan ahli sejarah sekaligus, yang menjadi bagian penting dari gerakan intelektual kiri sebelum 1965.

Dalam studi ini saya memberi perhatian khusus pada karya-karya yang selama ini tidak banyak dibicarakan, seperti dua jilid Panggil Aku Kartini Sadja, Hoakiau di Indonesia, diktat Sedjarah Modern Indonesia, dan belasan seri artikel yang diterbitkan dalam lembar kebudayaan Lentera di harian Bintang Timur. Walau mulai melakukan studi secara sistematis sejak pertengahan 1950-an, tulisan-tulisannya mengenai sejarah baru mulai dibuat dan beredar setelah ia lepas dari penjara awal 1961 karena kasus buku Hoakiau di Indonesia, dan mencapai puncaknya antara 1962-65 ketika ia menghasilkan sekurangnya 30 halaman naskah ketik rapat setiap minggu mengenai berbagai aspek sejarah Indonesia. Ulasan mengenai tulisan-tulisan dari periode ini kemudian disusul dengan penglihatan baru mengenai karya Pulau Buru yang merupakan ‘hasil tak diharapkan’ dari studi sejarah yang dilakukannya sebelum 1965.

Pramoedya dan Blok Intelektual Kiri

Pramoedya memulai perjalanannya sebagai penulis dengan beberapa puisi yang tidak terlalu berhasil dan sejumlah cerita pendek yang diterbitkan oleh majalah terbitan Jakarta seperti Sadar, Pantja Raja dan Minggoe Merdeka awal 1947. Saat ditangkap oleh tentara Belanda dan disekap di Bukit Duri selama dua tahun ia mulai menulis karya yang lebih panjang, termasuk novel Perburuan yang mendapat hadiah pertama dalam sayembara penulisan novel Balai Pustaka dan mengangkat namanya di gelanggang cipta. Dalam kajian sastra ia disebut sebagai gelombang kedua Angkatan 45, yang saat ia lepas dari penjara pertengahan Desember 1949 sebenarnya sudah memudar sebagai angkatan (Teeuw 1979, Heinschke 1993). Sekeluar dari penjara ia aktif dalam lingkaran Gelanggang, sebuah kelompok seniman dan intelektual yang sangat berpengaruh dalam penciptaan karya dan kritik sastra Indonesia sampai pertengahan 1950-an. Karya-karyanya dari zaman ini seperti kebanyakan penulis sezamannya adalah potret dari keadaan Indonesia segera sesudah perang yang sarat dengan kritik sosial, ungkapan kekecewaan terhadap revolusi dan patriotisme yang kadang tergelincir menjadi angkuh dan sewenang-wenang.

Secara sosial Pramoedya adalah bagian dari apa yang disebut unattached intellectuals, kalangan intelektual yang tidak terkait dengan partai politik tertentu dan umumnya bekerja sebagai jurnalis atau redaktur, penulis, seniman, guru atau kadang merangkap dua atau lebih pekerjaan seperti itu (Feith dan Castles 1970). Ia tidak bergabung dengan partai politik atau organisasi massa tertentu, dan bahkan memperlihatkan sikap anti-partai dan menjauhi politik. Pada pertengahan 1950 Pramoedya sempat bekerja pada penerbit Balai Pustaka beberapa bulan dan selanjutnya membuka kantor agen sastra dan fitur ‘Duta’ yang bertahan sampai 1954. Dalam kurun ini ia sangat produktif menulis dan tidak terbatas pada fiksi saja. Pada awal 1953 misalnya ia terlibat perdebatan dengan HB Jassin dan penulis lain yang dimuat dalam jurnal Pudjangga Baru mengenai bentuk dan isi dalam kesusastraan. Perdebatan itu membuka lipatan baru dalam perkembangan pemikirannya. Ia menilai bahwa kritikus sastra hanya bersibuk mengenai bentuk dan sepertinya tidak peduli pada isi dan arah kesusastraan. Keadaan sosial dan politik yang carut-marut menurutnya memerlukan isi kesusastraan yang lebih tajam. Humanisme universal yang dicanangkan dalam Surat Kepercayaan Gelanggang terbukti tidak mampu menjawab masalah-masalah yang semakin menggunung, dan diskusi yang melulu terarah pada bentuk sebenarnya merupakan pengalihan dari masalah yang semestinya dihadapi.

Kunjungannya ke Belanda antara Mei-Desember 1953 atas undangan Sticusa – sebuah yayasan kerjasama kebudayaan yang dibentuk pemerintah Belanda – tidak membuahkan apa-apa. Justru sebaliknya Pramoedya merasa tertekan karena program itu tidak berjalan seperti yang diharapkan. Perbedaan antara Belanda dan Indonesia yang begitu besar membuatnya merasa tidak dapat mengambil pelajaran apapun. Namun pada masa inilah pertanyaan-pertanyaan penting yang kemudian menghidupi studinya mengenai sejarah, mulai dicetuskan. Korupsi, kebobrokan birokrasi dan penindasan yang terus berlanjut di masa kemerdekaan memperlihatkan bahwa akar masalahnya bukan hanya kolonialisme Belanda tapi juga ketimpangan dalam struktur masyarakat serta kebudayaan Indonesia sendiri. Hal terpenting dari kunjungan ini mungkin adalah pertemuan dan awal persahabatan seumur hidupnya dengan Wim Wertheim yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikiran Pramoedya dan juga banyak membantunya saat dilanda susah sejak 1965.

Pramoedya pun semakin tidak puas dengan sastra sebagai bentuk ekspresi karena tidak memadai untuk menjawab bermacam tantangan yang dihadapi masyarakat. Cerita pendek semi-otobiografis, “Sunyisenjap disiang hidup” (Indonesia, Juni 1956) merekam kegalauan jiwanya di masa ini dan secara simbolik mengakhiri perjalanannya sebagai pengarang cerita pendek. Kegelisahan yang sebelumnya dituangkan dalam karya sastra, kini mendapat arah dan bentuk baru di bawah pengaruh AS Dharta, Rivai Apin, Dodong Djiwapradja dan intelektual kiri lainnya yang berhimpun dalam LEKRA. Pramoedya mengenal mereka melalui pergaulan seniman Jakarta masa itu. Adalah Dharta yang ia akui “membicarakan soal-soal yang sebelumnya tak terpikirkan olehku, membukakan sejumlah aspek baru di bidang seni dan sastra,” termasuk politik yang semula dijauhinya (Pramoedya Ananta Toer 1995:154). Seperti banyak unattached intellectuals lainnya dalam lingkungan Gelanggang, ia menganggap “politik adalah kotor” dan sepatutnya dijauhkan dari sastra dan kerja kreatif. Dari diskusi dengan Dharta dan kawan-kawannya ia membentuk pemahaman baru mengenai politik, yang kotor-tidaknya sangat bergantung pada arah dan tujuan akhirnya. Persinggungan dengan kelompok ini sangat besar artinya dan Pramoedya pun merasa “sebagai bayi yang baru dilahirkan kembali [dan] mulai belajar kembali meninggalkan rahim ibu, menyesuaikan diri dengan terang matahari.” (Pramoedya Ananta Toer 1995:154).

Hal pertama yang dilihatnya ketika pulih dari silau matahari adalah Tiongkok. Ia berkunjung ke negeri itu akhir 1956 memenuhi undangan untuk memperingati kematian Lu Xun. Seperti ditunjukkan Hong Liu (1996), sejak awal 1950-an ia sudah menoleh ke Tiongkok sebagai sumber inspirasi penulisan kreatif dan argumen teoretik. Ia pernah menerjemahkan sebagian dari Catatan Harian Seorang Gila karya Lu Xun, dan kritik sastra dari Ding Ling, Zhou Yang serta Mao Zedong. Singkatnya ia mengenal dengan baik karya-karya penulis Tiongkok dan perdebatan kebudayaan yang berlangsung di sana, walaupun dalam terjemahan bahasa Belanda dan Inggris. Di Tiongkok Pramoedya mendapat kesempatan melihat sendiri sistem sosialis yang tengah melakukan “lompatan jauh ke depan”, bertemu dan berdialog langsung dengan tokoh pemikir dan kritikus sastra kiri yang sebelumnya hanya ia kenal melalui bacaan. Seperti diakuinya, kunjungan itu punya pengaruh sangat mendalam seperti terlihat dari berbagai tulisan setelah kembali ke Indonesia. Kesan-kesannya atas Tiongkok menjadi cermin untuk memeriksa keadaan di Indonesia. Kekecewaan melihat hasil revolusi kini berkembang menjadi kritik yang menyeluruh, bukan hanya terhadap para pembesar republik yang mengingkari revolusi, tapi juga pandangannya sendiri.

Perubahan pemikiran Pramoedya dalam kurun ini paling nampak dalam “Djembatan Gantung dan Konsepsi Presiden”. Tulisan itu dimuat pertama kali dalam jurnal teori PKI, Bintang Merah (1957) dan dicetak ulang dalam Harian Rakjat. Ini merupakan penyataan tersendiri mengenai kedekatannya dengan gerakan kiri dan perpisahannya dengan lingkaran Gelanggang dan kalangan intelektual anti-komunis. Dalam tulisan ini ia mendukung penuh konsepsi Soekarno untuk merombak sistem parlementer Barat yang menurutnya malah melahirkan kekacauan dan bukan demokrasi di Indonesia. Ia juga mengkritik pandangan anti-komunisnya sendiri “jang dibentuk oleh batjaan jang semuanja ditulis oleh orang Barat,” selama ditahan oleh tentara Belanda antara 1947-49.

Setelah pemulihan kedaulatan dan menjaksikan sendiri hantjurnja banjak keluarga, dan pembunuhan2 jang terdjadi akibat adanya affair tsb. [peristiwa Madiun] bertambah pula bentuk itu mendjadi tegas. Tetapi djuga bertambah lama, bertambah kusadari, bahwa proses terdjadinja sikapku itu tidak benar, karena dia pada mulanja hanya dibentuk oleh batjaan, bukan dibentuk oleh pengamatan atas dunia riil itu sendiri. Dengan demikian kurombak tjara pembentukan sikap jg. demikian, sekalipun ini bukanlah pekerdjaan sehari-dua, tetapi lama, melalui kedjengkelan dan harapan, melalui subyektivitas dan obyektivitas…”

Keinginan untuk mengamati dunia nyata terlihat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan, yang lebih menyerupai laporan perjalanannya ke wilayah tersebut ketimbang cerita rekaan. Selama 1956-59 Pramoedya tidak banyak menulis. Ia semakin tertarik pada sejarah dan menggunakan sebagian besar waktunya untuk membaca dan mengumpulkan bahan mengenai tokoh dan kejadian yang menarik baginya.[3] Penelitian mengenai Kartini yang kemudian dituangkan dalam dua jilid Panggil Aku Kartini Sadja dimulai pada kurun ini, di samping studi singkat mengenai Balai Pustaka dan sejarah sastra Indonesia.

Awal Januari 1959 Pramoedya bergabung dengan LEKRA dan diminta memimpin Lembaga Sastra Indonesia (LESTRA). Pidato sambutannya dalam konperensi lembaga itu menunjukkan haluan baru dalam pemikirannya, yang menekankan pentingnya orientasi politik dan komitmen sosial dalam kebudayaan. Ia juga mulai menggunakan jargon politik kebudayaan kiri, walaupun masih nampak canggung. Menurut penuturan sejawatnya di LEKRA, Pramoedya cukup aktif mengurus lembaga yang dipimpinnya. Ia sendiri mengaku belajar banyak mengenai organisasi setelah terlibat dalam LEKRA, walau tidak pernah menempati jabatan penting apalagi menjadi penggerak dalam organisasi. Ia pun mulai sering mengisi lembar kebudayaan di Harian Rakjat dan majalah LEKRA, Zaman Baru, terutama dengan kritik sastra dan kebudayaan secara umum. Di samping itu ia juga keliling berceramah tentang sastra, kebudayaan dan kadang mengenai sejarah, dan giat mengurus Konperensi Pengarang Asia-Afrika di mana ia duduk sebagai pimpinan delegasi Indonesia.

Keterlibatan dalam LEKRA dan kedekatannya dengan intelektual kiri, termasuk pimpinan dan tokoh PKI seperti Njoto, mendorong pikirannya semakin ke kiri walau tidak selalu sejalan dengan pandangan LEKRA atau PKI. Dari segi pemikiran Pramoedya sebenarnya lebih dekat dengan tradisi nasionalis kiri yang diwakili Partindo dan Soekarno sendiri, ketimbang tradisi Marxis PKI. Pramoedya sendiri mengaku tidak terlalu tahu pun tertarik pada teori. Satu-satunya paparan yang agak panjang mengenai teori adalah Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963), sebuah naskah ceramah di Universitas Indonesia yang disusunnya dalam waktu seminggu saja. Naskah ini pun lebih merupakan penjelajahan umum atas teori sastra yang berkembang di Uni Soviet pada masa itu, ketimbang sebuah uraian teoretik dari dirinya mengenai sastra Indonesia. Analisisnya mengenai sejarah juga bukan penjabaran fakta-fakta dalam kerangka “tahap-tahap perkembangan masyarakat” seperti lazimnya historiografi komunis, melainkan lebih seperti penyimpulan atas data yang dipelajarinya dengan menggunakan jargon Marxis. Dari segi teori nampaknya ia lebih diilhami dan dipengaruhi ‘komitmen sosial’ Multatuli ketimbang analisis kelas Marx, seperti nampak dalam uraiannya mengenai ekonomi kolonial dalam diktat Sedjarah Modern Indonesia.

Karya non-fiksi pertama yang lahir dalam periode ini adalah Hoakiau di Indonesia (1960). Buku ini menggugat politik anti-Tionghoa yang mulai dilancarkan pejabat pemerintah dengan dukungan militer sejak 1956, dan mencapai puncaknya pada pengusiran dan ribuan orang Tionghoa selama 1959-60.[4] Buku yang merupakan revisi dari seri tulisan di Bintang Minggu mulai November 1959 (dan kemudian juga di Harian Rakjat) ini mendapat reaksi keras dari penguasa militer. Buku itu dilarang oleh penguasa militer dan Pramoedya ditahan tanpa pengadilan selama hampir setahun lamanya. Walau pusat perhatiannya adalah politik pemerintah yang dinilai tidak adil, Pramoedya berbicara banyak mengenai sejarah dan memperlihatkan pengetahuan yang luas khususnya mengenai kedudukan dan peran orang Tionghoa dalam perjalanan sejarah. Ia menabrak dan menyerang mitos dan keyakinan politik yang membatu tentang orang Tionghoa, terutama masalah kemurnian ras yang menjadi landasan politik anti-Tionghoa warisan kolonial. Walau kadang terdengar eksentrik – misalnya tesis ‘vlek biru’ yang ditinggalkan tentara Mongol pada pantat bayi Asia dan Eropa, sebuah tesis yang kerap muncul, baik dalam karya seperti Rumah Kaca maupun percakapan sehari-hari – seluruh argumentasinya memukul kesadaran (atau tepatnya keyakinan) historis tentang keaslian orang Indonesia, dan lebih jauh mempertanyakan ‘Indonesia’ sebagai sebuah konsep.

Ketika keluar dari tahanan awal 1961 Pramoedya semakin giat meneliti sejarah. Ia menjadi pengunjung tetap perpustakaan Museum Nasional di Jakarta, di mana ia membaca suratkabar lama seperti Pembrita Betawi dan Medan Prijaji, dan berkeliling ke beberapa kota di Jawa Tengah guna menghimpun keterangan tentang Kartini. Ia juga mendapat tawaran dari Tjan Tjoe Som untuk mengajar sejarah di Universitas Respublica yang diasuh oleh Baperki. Ia menerima tawaran itu dan menjadi dosen, lalu menggunakan posisinya untuk menghimpun data, dengan mengirim mahasiswanya membaca dan mencatat tulisan dari suratkabar lama atau membuat penelitian untuk karya tulis di perpustakaan Museum Nasional. Fokus perhatiannya adalah asal-usul dan perkembangan gerakan nasionalis antara 1898 dan 1918, terutama tokoh dan organisasi dalam ‘babak perintis’ ini.[5] Hasil studinya kemudian diterbitkan sebagai seri artikel dan artikel lepas di lembar kebudayaan Bintang Timur sejak 1962, dan lebih lengkap dan sistematis dalam bentuk diktat kuliah Sedjarah Modern Indonesia (1964) yang dipakainya untuk mengajar di Universitas Res Publica. Beberapa mahasiswanya di universitas ini kemudian menjadi semacam asisten penelitian yang membantunya menyusun arsip dan dokumen di perpustakaan pribadinya. Dukungan juga diperoleh dari sejawatnya di LEKRA, ahli sejarah dan keluarga para tokoh sejarah yang dipelajarinya. Dalam waktu empat tahun (1961-65) ia mengumpulkan tidak kurang dari 5.000 judul buku, membuat dokumentasi berupa guntingan suratkabar dan majalah lama, rekaman dan trankripsi wawancara dengan ratusan orang, ratusan arsip dan dokumen lainnya, termasuk sejumlah koleksi pribadi tentang gerakan nasionalis yang jika tidak diselamatkan, akan musnah selamanya.

Dengan bahan-bahan ini ia juga menyusun delapan seri tulisan yang terdiri atas lima sampai limabelas bagian, puluhan artikel lepas mengenai berbagai aspek sejarah Indonesia yang diterbitkan di Bintang Timur, Harian Rakjat, Zaman Baru, Indonesia dan berbagai penerbitan lainnya. Lembar kebudayaan ‘Lentera’ di Bintang Timur yang dipimpinnya bersama S. Rukiah sejak Maret 1962 menjadi saluran utama untuk mengumumkan pemikirannya. Ragam tulisannya menunjukkan minat dan pengetahuan yang luas akan banyak hal. Ia membuat tulisan cukup panjang tentang sejarah dan perkembangan sastra Bulgaria, sebuah artikel tentang sejarah Irian Barat, dan mungkin menjadi orang Indonesia pertama yang mengumumkan tulisan tentang Timor Portugis (sekarang Timor Leste) di suratkabar. Jika dihitung dengan teliti tulisan yang biasanya disebut serangan atau pamflet oleh para pengkritiknya – dan oleh Pramoedya disebut sebagai ‘polemik biasa’ – sebenarnya tidak begitu banyak.

Kerja kreatif yang luar biasa ini kemudian terhenti ketika massa menyerbu rumahnya pertengahan Oktober 1965. Perpustakaannya dihancurkan dan isinya dijarah termasuk sejumlah bahan dan buku koleksi Museum Pusat yang sedang dipinjamnya. Sebagian konon berpindah tangan ke koleksi orang yang ikut menghujatnya, sebagian lain dibakar. Ikut musnah dalam penyerangan itu sejumlah naskah yang belum diterbitkan, yakni dua jilid sambungan Panggil Aku Kartini Sadja, Wanita Sebelum Kartini, Sebuah Studi tentang Abdullah bin Abdul Kadir Munsji, Studi Pertjobaan tentang Sedjarah Bahasa Indonesia, sejumlah novel dan cerita pendek, kumpulan karya Kartini, kumpulan cerita pendek Soekarno dan dua jilid kumpulan karya sastra pra-Indonesia. Di samping itu masih ada pula sejumlah monografi yang disusun oleh redaksi Lentera mengenai politik etik, kebangkitan nasional, sejarah gerakan pemuda, Sarekat Islam, masalah perburuhan dan juga beberapa fase perkembangan PKI.

Dalam dua bagian berikut saya menggunakan tulisan-tulisan yang dihasilkannya dalam periode ini, khususnya seri artikel yang diterbitkan dalam lembar kebudayaan Lentera. Sekurangnya ada 155 artikel – separuhnya adalah bagian-bagian dari seri artikel – yang ditulis Pramoedya saat itu, dan belum termasuk artikel-artikel yang ditulisnya tanpa menyebutkan nama (Miller 1993). Beberapa seri artikel ini panjangnya menyerupai kertas kerja atau monografi singkat, seperti “Mengenangkan kembali bangkitnja Bangsa Indonesia” (1962) dan “Basa Indonesia sebagai Basa Revolusi” (1963). Banyak tulisannya terlihat dibuat tergesa-gesa, dengan banyak salah ketik dan juga penggunaan bahasa yang serampangan. Sungguh aneh mengingat ada dua penulis andal, yakni S. Rukiah dan Pramoedya sendiri, yang menjadi redakturnya. Besar kemungkinan kecerobohan ini terjadi karena kesibukan luar biasa ketika ruang kebudayaan itu mulai terbit setiap hari; sesuatu yang tidak pernah terulang lagi dalam sejarah penerbitan suratkabar di Indonesia.

Tentu tidak semua tulisan dari periode ini dapat dibahas, apalagi mengingat tulisan yang tersebar itu bukan merupakan, dan memang tidak dimaksudkan sebagai, kesatuan yang utuh. Pramoedya sendiri mengakui bahwa beberapa tulisannya memang sengaja dilempar untuk “memancing perhatian dan mengelitik minat agar [pembaca] membuat penyelidikan lebih lanjut.” Dalam tulisan ini saya akan memusatkan perhatian pada dua hal, yakni perspektif dan metode penelitian yang dikembangkan Pramoedya, serta pemikirannya mengenai ‘nasion Indonesia’ sebagai hasil dari perspektif dan cara kerja itu.

Membongkar Historiografi Rumah Kaca

Berbeda dengan pengalaman di Afrika, Karibia atau Asia Selatan, gerakan nasionalis di Indonesia sangat lamban menyusun sejarah nasionalnya (Reid 1979). Baru pada tahun-tahun pertama kemerdekaan ada boom penulisan sejarah oleh aktivis gerakan nasionalis dan pejabat pemerintah yang baru. Tujuan penulisan buku dan brosur ini adalah untuk meyakinkan publik dan dunia internasional bahwa republik yang baru diproklamasikan itu memang punya akar sejarah yang panjang (Klooster 1985). Isinya pun hanya semacam kronik yang mengurai rangkaian peristiwa penting dan menyebut nama tokoh dan organisasi yang terlibat di dalamnya. Sejarah nasionalis yang lebih berbobot dan membedakan diri dari historiografi kolonial baru bermunculan awal 1950-an. Para penulisnya mulai lebih setia pada proses pembuktian dengan mengutip sumber-sumber yang digunakan, membuka kemungkinan penelitian lebih lanjut dengan mengajukan pertanyaan dan mengakui keterbatasan pengetahuan. Sekalipun jumlah penerbitannya terbatas, buku-buku dari periode awal 1950-an ini mulai merangsang perdebatan tentang arah dan perspektif dalam penulisan sejarah nasional. Kritik terhadap historiografi kolonial pun lebih mendalam dari angkatan sebelumnya yang hanya sibuk membalik sebutan ‘pemberontak’ dalam historiografi kolonial menjadi ‘pahlawan’ dalam tulisan-tulisan mereka. Para penulis mulai mempersoalkan apa yang mereka anggap masalah terbesar dalam historiografi kolonial, yaitu bahwa sejarah selama ini dilihat dari kacamata orang Belanda sementara orang bumiputra hanya menjadi pelengkap yang meningkahi perbuatan dan kebijakan penguasa kolonial.[6] Menurut mereka semestinya penulisan sejarah nasional berpusat pada perbuatan dan tindakan orang Indonesia sendiri, misalnya dengan menyusun sejarah kerajaan-kerajaan pribumi yang tersebar di seluruh negeri dan mencari benang merah yang menghubungkan satu sama lain sehingga membentuk Indonesia.

Masalah ini menjadi sumber diskusi dan perdebatan sepanjang 1950-an, dan mencapai puncaknya dalam Seminar Sejarah I di Jogjakarta akhir 1957. Salah satu topik terpenting dan mendapat perhatian luas adalah masalah filsafat sejarah nasional. Tampil sebagai pembicara Muhammad Yamin, seorang aktivis kawakan, pujangga dan juga penulis sejarah serta Soedjatmoko, ilmuwan sosial terkemuka. Pandangan keduanya bertolak belakang dan perdebatan pun tak terelakkan. Dengan pemikiran yang khas mewakili historiografi nasionalis saat itu, Yamin mengatakan bahwa filsafat sejarah yang jelas dan pasti adalah kunci bagi penyusunan sejarah nasional. Sebaliknya Soedjatmoko mengatakan bahwa penulisan sejarah semestinya tidak dikunci di bawah satu filsafat saja, tapi membuka diri bagi bermacam kemungkinan tafsir. Bagaimanapun keduanya setuju bahwa sejarah nasional harus disusun dengan perspektif yang berpusat pada orang Indonesia, atau dikenal sebagai perspektif Indonesia-sentris.[7]

Pramoedya tidak pernah terlibat langsung dalam perdebatan ini. Ia hanya sekali merujuk pada pandangan Yamin dalam Seminar Sejarah I itu, ketika membahas pendekatan yang digunakannya dalam diktat Sedjarah Modern Indonesia. Sejauh ini saya tidak menemukan tulisan atau komentarnya mengenai seminar sejarah yang bersejarah itu. Ia juga tidak diketahui bergaul rapat dengan kalangan ahli sejarah, kecuali sesama peminat sejarah di lingkungan intelektual kiri seperti Tjan Tjoe Som, Bujung Saleh dan Jan B. Avé, dan beberapa ahli tentang Indonesia seperti Wim F. Wertheim dan G.J. Resink.[8] Dari segi kritik terhadap historiografi kolonial, Pramoedya berpikiran sama seperti sejarawan nasionalis zaman itu. Ia juga menganggap tugas terpenting dan mendesak adalah “melepaskan sedjarah dari rangka jang selama itu ditentukan oleh politik pengadjaran pendjadjah.” (Pramoedya Ananta Toer 1962a:ix). Lebih jauh ia mengatakan:

“Penjusunan sedjarah baru adalah djuga perdjuangan jang sama sengitnya dengan perdjuangan-perdjuangan lain dalam meningkatkan peradaban sesuatu bangsa dan peninggian nilai manusia. Tanpa karja ini tiada bangsa itu mempunjai tjermin jang datar dan litjin, tiada ditjetjatkan oleh kekuasaan2 jang tidak wadjar, atau ketiadapengertian2 jang berkepalabatu. Sumber2 baru harus ditemukan bahkan jang kadang2 tidak punya persangkutan dengan jang tradisional. Namun pendjeladjahan baru ini harus dilakukan dengan berani. Setiap titiksinar mesti ditangkap, ditjari azas hidupnya, dan dikembangkan.”

Ia mengakui bahwa penulisan sejarah modern diperkenalkan kepada Indonesia oleh Barat, tapi kritiknya tidak berbau nativisme yang menolak segala yang berasal dari luar. Menurutnya, sebagai bangsa yang memiliki aksara sendiri sejak lama, orang Indonesia tentu juga menulis sejarah. Tapi ‘sejarah’ dalam bentuk hikayat, babad atau primbon masih hidup di alam khayal dan tidak cukup untuk memahami dunia modern. Karena itu ia menyarankan dalam penulisan sejarah Indonesia ahli sejarah tetap menggunakan metode modern yang berasal dari Barat tapi dengan kritik menyeluruh terhadap pandangan yang tidak sesuai dengan kepentingan nasion. Ia mengatakan bahwa pandangan pribadi dan pandangan kelas seseorang menentukan caranya menulis sejarah dan juga pengertiannya tentang sejarah. Para sarjana kolonial misalnya mempelajari sejarah dan kebudayaan membantu penguasa membuat keputusan yang tentu bertentangan dengan kepentingan orang yang dijajahnya. Penulisan sejarah nasional, atau sejarah orang bekas jajahan karena itu tidak dapat mengambil oper historiografi kolonial, karena tujuan mereka bertolak belakang dengan kepentingan kolonial. Untuk menyusun sejarah nasional, maka para penulis harus membongkar terlebih dulu bangunan historiografi kolonial dan meletakkan dasar-dasar penulisan sejarah baru, yang bertumpu pada filsafat sejarah nasional yang kukuh. Dikatakannya,

“Karena sedjarah adalah titiktolak dari masakini dan masadatang, maka penjusunannja memang harus didasarkan pada falsafah sedjarah jang sesuai dengan tudjuan jang hendak ditjapai, jaitu sosialisme, dan sedjalan dengan itu filsafat sedjarah jang paling tepat ialah filsafat jang mendjadi dasar negara, jaitu Pantjasila dengan program umumnya Manipol.” (Pramoedya Ananta Toer 1964)

Namun Pramoedya tidak pernah menjabarkan filsafat sejarahnya lebih lanjut. Keterangannya dalam diktat Sedjarah Indonesia Modern mengenai masalah itu agak membingungkan dan mungkin dibuat hanya untuk memenuhi tuntutan Manipol-isasi di segala bidang yang makin marak menjelang 1965. Sekalipun menggunakan jargon dan retorika Marxis, pandangannya tentang perkembangan sejarah dan tujuan akhir sosialisme tidak seperti PKI. Ia merujuk pada Stalin dan Engels tapi dalam satu napas dengan Multatuli yang anti-komunis. Sepertinya tidak ada satu filsafat sejarah yang menguasai pemikirannya. Sebaliknya ia dengan ringan mengambil pernyataan dan argumen dari berbagai khazanah teoretik yang sesuai dengan keperluannya memahami masa lalu. Argumen teoretiknya kadang terkesan kabur, tapi analisis dan kesimpulan dari studi empiriknya, seperti terlihat dalam analisisnya mengenai ekspansi kapitalisme ke desa-desa di Jawa pada abad ke-19 dalam Sedjarah Modern Indonesia, memperlihatkan kecermatan dan ketajaman berpikir yang menakjubkan.

Pandangannya mengenai sejarah lebih jelas terlihat dalam sikapnya terhadap sumber sejarah dan cara mendapatkan informasi mengenai masa lalu. Ia sangat berhati-hati dan teliti mengumpulkan, menyaring dan menggunakan informasi. Dalam kritiknya terhadap historiografi kolonial ia antara lain menyebut bahwa masalah dengan sejarawan kolonial tidak hanya pada perspektif mereka, tapi karena perbuatan mereka ‘membersihkan’ sejarah dengan jalan memusnahkan arsip, menyingkirkan karya dan orang tertentu dari catatan sejarah, membuang orang agar dilupakan oleh masyarakat dan sejarah seperti Rinkes yang ‘melenyapkan’ Tirto Adhi Soerjo atau menyaring sumber seperti yang dilakukan Abendanon terhadap surat-surat Kartini. Walau kecurigaannya terhadap historiografi dan sarjana kolonial kadang berlebihan, kritiknya yang tajam terhadap produksi pengetahuan tentang masa lalu adalah terobosan penting dalam historiografi Indonesia. Dalam konteks sejarah gerakan nasionalis awal abad ke-20 yang menjadi perhatiannya, produksi pengetahuan tentang masa lalu ini terpusat tidak lain dalam birokrasi kolonial yang berusaha mengurung subyek jajahannya dalam sebuah rumah kaca. Dalam Sang Pemula (1985) Pramoedya menyoroti peran penting dari Kantor Penasehat Urusan Bumiputra yang dipimpin pertama kali oleh Snouck Hurgronje. Kantor ini berhubungan erat dengan penerbitan Balai Pustaka yang memproduksi bacaan mengenai masa lalu Hindia, mengontrol perkembangan organisasi bumiputra melalui jaringan intelijen yang digambarkan dengan baik dalam Rumah Kaca, dan sekaligus merupakan rumah bagi para sarjana kolonial tersohor yang berpengaruh besar dalam studi tentang Indonesia, seperti R.A. Kern, G.A.J. Hazeu, D.A. Rinkes dan Snouck Hurgronje. Kerjasama di antara ketiga unsur inilah – jaringan intelijen, sarjana kolonial dan penerbitan yang memproduksi dan menyebarluaskan pengetahuan secara massal – yang menyangga historiografi rumah kaca.

Pramoedya tidak berhenti pada kritik, tapi bekerja keras mencari dan mengangkat kembali sumber sejarah yang tertimbun masa. Ia mulai menerbitkan beberapa karya penting dalam lembaran Lentera. Salah satu sumbangan terbesarnya pada studi sejarah abad ke-19, khususnya periode Tanam Paksa, adalah penerbitan ulang Hikajat Siti Mariah karya H. Mukti.[9] Dalam studinya tentang Semaoen ia juga ‘menemukan kembali’ Hikajat Kadiroen yang sebelumnya tidak dikenal apalagi dibicarakan dalam sejarah sastra Indonesia. Buku ini pertama kali didengarnya dalam wawancara dengan seorang tokoh pergerakan nasionalis pada awal 1960-an, dan kemudian menjadi bahan studi di lingkungan LEKRA dan juga diulas dalam karya Bakri Siregar (1964) mengenai sejarah sastra Indonesia. Menjelang peristiwa 1965 ia sudah menyiapkan sejumlah naskah sastra pra-Indonesia untuk diterbitkan, di samping beberapa tulisan Kartini yang dimuat dalam suratkabar berbahasa Melayu pasar. Tekanan pada sumber-sumber berbahasa Melayu pasar ini, seperti dikatakan Shiraishi (1985), dapat dilihat sebagai “usaha yang patut dihormati untuk mengembalikan studi tentang sejarah nasional Indonesia dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia.” Tentu ini tidak berarti bahwa Pramoedya tidak menggunakan bahan-bahan berbahasa Belanda. Penerbitan karya-karya lama dalam Melayu pasar menurutnya penting untuk mengimbangi ‘suara’ kekuasaan kolonial yang begitu keras.

Dengan pengetahuannya akan bahan berbahasa Melayu dan kerja kerasnya menemukan bahan-bahan yang tidak pernah dikenal sebelumnya, ia dapat menyelami suara bumiputra di masa kolonial, jauh melebihi pencapaian banyak penulis lain baik dari dalam maupun luar negeri. Sementara penulis lain bergantung pada laporan pemerintah atau keterangan resmi dari organisasi perlawanan, Pramoedya mulai menelusuri suratkabar, tulisan orang bumiputra dan juga ingatan para pelaku sejarah melalui wawancara.[10] Ia pun tetap memperhatikan sumber tradisional yang menurutnya merupakan dokumen sosial yang dapat membantu orang memahami kesadaran sosial dalam kurun tertentu. Ia misalnya menganggap ramalan Jayabaya yang sangat populer pada masa pendudukan Jepang dan perang kemerdekaan, sebagai bahan sejarah yang sangat penting karena memberi informasi mengenai kesadaran sosial yang tidak bisa ditemukan dalam sumber lain seperti arsip negara kolonial.

Masalah sumber sejarah dan akibatnya terhadap perspektif dalam penulisan sejarah sudah mulai dibicarakan oleh J.C. van Leur sebelum kemerdekaan. Namun kritik ini tidak bergema dalam historiografi nasionalis setelah perang. Patriotisme di kalangan pembesar negeri dan kalangan intelektual berhenti pada dinding luar benteng kekuasaan kolonial, dan membiarkan bangunan intinya kokoh tak tersentuh. Jangankan kritik terhadap pengetahuan kolonial, pengunaan metode ilmiah untuk menelaah arsip kolonial di masa itu masih dianggap luar biasa karena jarang dilakukan orang. Sejarawan terkemuka Sartono Kartodirdjo pada pertengahan 1990-an pun masih mengatakan bahwa arsip kolonial tidak dapat dihindari dalam studi sejarah Indonesia, dan sesungguhnya tetap memberi kesempatan untuk melihat sejarah dari perspektif Indonesia, walau tidak memerinci bagaimana hal itu mungkin dilakukan (Sartono Kartodirdjo 2001:31-32). Dalam hal ini, Pramoedya lagi-lagi merupakan pengecualian. Ia mungkin merupakan penulis pertama yang mempersoalkan masalah ini dengan serius dan mencari jalan keluar dengan menyelamatkan sumber-sumber sejarah yang menampilkan suara orang Indonesia dalam sejarah.

Ketekunannya menggali dan menemukan informasi ini menurut saya dipengaruhi pengalamannya sebagai pengarang yang ingin menyelami kenyataan dan menulis lebih dari apa yang nampak di permukaan. Sejak 1956 ia menulis sejumlah artikel tentang pentingnya pengarang menyelami kehidupan rakyat dengan ikut merasakan gejolak hidup mereka secara langsung. Saat bergabung dengan LEKRA, semangat ini mendapat bentuknya dalam program ‘turun ke bawah’ (Helmi 1980, Foulcher 1986), yang kemudian digunakannya dalam penelitian sejarah sehingga menghasilkan keuletan dan ketekunan yang jarang ditemukan pada penulis dan ahli sejarah lainnya. Ia juga termasuk salah satu penulis sejarah pertama yang menggunakan foto sebagai sumber informasi. Dalam studinya tentang Kartini, ia menggunakan foto tempat Kartini dilahirkan sebagai pijakan untuk menganalisis latar belakang sosial ibunya yang absen dalam surat-suratnya (Pramoedya Ananta Toer 1962a: 47-48).

Bagi Pramoedya, sikap dan perlakuan terhadap sumber sejarah sangat terkait dengan prinsip, arah dan politik penulisan sejarah. Kritiknya terhadap penulisan sejarah kolonial mengingatkan orang pada serangan Marco Kartodikromo, Semaun, Musso, dan aktivis gerakan kiri 1920-an terhadap Balai Pustaka dan sarjana kolonial yang mengkonstruksi ‘realitas’ tanah jajahan melalui produksi bacaan (Hilmar Farid 1991, 1994). Ada hubungan yang kuat antara sikap dan pengalaman para pemimpin gerakan nasionalis ini dengan sikap dan pengalamannya sendiri menghadapi kekuasaan yang bernapsu menguasai pengetahuan mengenai masa lalu. Di tahun 1960-an Pramoedya masih menghadapi pemikiran kolonial yang diambilalih oleh sebagian sastrawan, kritikus budaya dan juga ahli sejarah Indonesia. Perdebatannya dengan Teeuw-Jassin bisa dilihat sebagai kelanjutan dari debat antara Balai Pustaka dengan gerakan nasionalis kiri di zaman itu. Menurut Pramoedya, tindakan Teeuw-Jassin menyingkirkan tokoh seperti Tirto Adhisoerjo atau Marco Kartodikromo dari sejarah sastra Indonesia modern, adalah kelanjutan politik kolonial yang mau meredam radikalisme dengan membuang para tokoh masa itu dari kenyataan politik dan menghapus jejak mereka dari catatan sejarah. Kenyataan bahwa Pramoedya kemudian dibuang oleh penguasa Orde Baru ke Pulau Buru dan juga ingin dihapus dari peta sastra Indonesia dengan melarang karyanya dan mengecamnya sebagai “bukan sastra” – seperti yang dialami para penulis nasionalis kiri di masa lalu – menggambarkan kekuasaan kolonial dan Orde Baru sebagai continuum. Tapi sementara Mutaltuli mati kesepian di Belanda, Tirto Adhisoerjo mati setelah kembali dari pengasingan, dan Marco Kartodikromo mati karena TBC di Boven Digoel, Pramoedya menolak untuk mati sekalipun disekap dalam pengasingan yang paling buruk dalam sejarah Indonesia. Hidup dan karyanya menjadi kritik yang monumental terhadap historiografi rumah kaca yang terus berubah ujud dan warna dari waktu ke waktu.

Usahanya membongkar historiografi ini dan menggali kembali bahan-bahan sejarah yang diabaikan atau sengaja disingkirkan menimbulkan sederet konsekuensi yang tidak dibayangkan sebelumnya. Analisis dan kesimpulannya berdasarkan bahan-bahan yang diperolehnya bahwa ‘Indonesia’ punya darah Tionghoa yang kuat dalam tubuhnya bukan sekadar temuan ilmiah yang mengejutkan untuk ukuran waktu itu tapi juga pernyataan politik yang menghantam nasionalisme konservatif sebagian pembesar republik tepat pada ulu hatinya. Di tengah gejolak luar biasa akibat pemberontakan di berbagai daerah, intervensi politik dan militer asing yang mengancam keselamatan Indonesia, politik rasialis yang dipelopori kekuatan sayap kanan dengan dukungan sebagian penguasa militer, debat di sekitar nasionalisasi perusahaan dan masalah kedaulatan ekonomi, pertanyaan-pertanyaan fundamental mengenai nasion pun bermunculan. Pramoedya terjun dalam gelanggang perdebatan dan memberi dimensi historis pada masalah itu dengan menyoroti asal-usul dan keberadaan Indonesia.

Genealogi Sebuah Nasion

Salah satu tema sentral dalam pemikiran sejarah Pramoedya adalah nasion.[11] Tulisan panjang pertama mengenai tema ini terbit Juli 1958 di Zaman Baru dengan judul “Kesatuan Indonesia, Epos dalam Penggalangan Abadi,” di mana dengan gaya Spengler ia membahas perkembangan peradaban Nusantara dari waktu ke waktu, yang kemudian membentuk Indonesia. Lebih dari separuh tulisannya di Bintang Timur sejak 1962 berbicara mengenai berbagai aspek dari asal-usul dan perkembangan nasion. Begitu halnya dengan pidato dan ceramah yang semakin sering dilakukannya sejak 1959. Sesuatu yang wajar kiranya mengingat gelombang pasang nasionalisme di masa Demokrasi Terpimpin. Kebangkitan dan kesatuan nasion menjadi tema sentral di masa itu sebagai landasan politik berdikari yang coba dijalankan pemerintahan Soekarno. Namun berbeda dengan Yamin, Aidit dan sejarawan nasionalis lain yang mengagungkan kerajaan-kerajaan tua di Jawa dan Sumatera sebagai masa lalu ‘Indonesia’ yang gemilang, Pramoedya menganggap ‘Indonesia’ adalah sebuah konstruksi modern yang belum terlalu tua usianya.

“Pada mulanja Indonesia tidak lebih dari sebuah istilah geografi, tapi dengan pasangnja gerakan kemerdekaan nasional non-kooperatif kemudian mendjadi istilah politik […] karena Indonesia dewasa ini telah mendjadi istilah politik, hukum dan mendjadi nama dari negara kita, pada umumnya orang mudah melupakan bagaimana asal-usulnja sampai diterima mendjadi nama dari negara kita. Terutama adalah perdjuangan politik jang memungkinkannja demikian.” (Pramoedya Ananta Toer 1964:4)

Perjuangan itu belum lagi selesai dan ‘Indonesia’ masih merupakan tujuan yang hendak dicapai. Sejarah menjadi penting dalam perjuangan itu karena “setiap orang jang tidak tahu titik-asalnya, jakni sedjarah, tidak akan tahu pula tempat jang akan ditudjunja.” (Pramoedya Ananta Toer 1964:6). Pramoedya tidak banyak berbicara mengenai asal-usul purba dari nasion seperti dalam narasi PKI tentang asal-usul nasion.[12] Ia lebih menekankan politik kebangsaan – yang dalam narasi komunis disebut ‘kondisi subyektif’ – dan dengan begitu menekankan unsur agency dalam proses pembentukan nasion dan juga sejarah. Ini adalah perbedaan mencolok antara historiografi Pramoedya dengan PKI yang menekankan pentingnya struktur, dan menjelaskan perhatiannya pada perkembangan gagasan politik di zaman modern. Dalam analisisnya mengenai ekonomi kolonial, Pramoedya juga menekankan peran petani Jawa membentuk sistem ekonomi dengan memboikot, melawan dan memberontak. Struktur ekonomi baginya tidak melulu dibentuk oleh ‘keadaan obyektif’ yang tak bernyawa, melainkan pergulatan sosial antara yang memerintah dan diperintah. Di sini Pramoedya lebih dekat pada pengertian dasar Marx tentang gerak masyarakat ketimbang kaum Marxis-Leninis yang menampilkan dirinya sebagai ‘wakil resmi’ pemikiran Marx.

Dalam historiografi nasionalis, ada kesepakatan umum bahwa perjuangan yang belum selesai itu dimulai 20 Mei 1908 saat sekelompok priyayi Jawa membentuk Budi Utomo di Batavia. Dalam historiografi komunis pun berdirinya Budi Utomo adalah tonggak sejarah dalam proses perkembangan nasion. Pramoedya juga mengakui arti penting dan sumbangan organisasi itu, tapi baginya ‘pencerahan’ yang menjadi landasan gerakan nasionalis dimulai akhir abad ke-19 dengan munculnya intelektual di kalangan bumiputra. Wakil terpenting dari kalangan ini menurutnya adalah R.A. Kartini. Dikatakannya,

“Kartini adalah pemula dari sedjarah modern Indonesia. Dialah jang menggodok aspirasi2 kemadjuan jang di Indonesia untuk pertama kali timbul di Demak-Kudus-Jepara sedjak pertengahan kedua abad jang lalu (XIX). Ditangannja kemadjuan itu dirumuskan, dirintjinja, dan diperdjuangkannja, untuk kemudian mendjadi milik seluruh nasion Indonesia. Dikatakan Indonesia, karena, sekalipun ia lebih sering bitjara tentang Djawa, iapun tak djarang mengemukakan keinginannja buat seluruh Hindia – Indonesia dewasa ini […] Kartini adalah pemikir modern Indonesia pertama-tama. Dengan penjusunan buku ini, sebenarnja dimulailah penjusunan sedjarah modern Indonesia (Pramoedya Ananta Toer 1962a: xiii)

Bagaimanapun kaum priyayi terpelajar belum menghimpun diri menjadi kekuatan untuk memperjuangkan kebebasan bersama. Pemerintah kolonial memang di ambang krisis, tapi baru pada awal abad ke-20 krisis itu semakin tidak bisa dikendalikan dan penguasa kolonial pun sadar bahwa mereka tidak bisa lagi memerintah dengan cara-cara lama. Ini adalah titik tolak ‘pencerahan’ dalam bentuk Politik Etik yang kemudian memungkinkan orang bumiputra secara massal mendapat pendidikan, kebebasan menyuarakan pendapat dan berkumpul membela kepentingannya.[13] Dalam tulisan-tulisan yang terbit lebih dulu ia mengikuti pandangan umum bahwa pembentukan Budi Utomo adalah awal kebangkitan nasion Indonesia. Studinya mengenai organisasi ini dalam seri artikel “Mengenangkan kembali bangkitnja Bangsa Indonesia,” (1962) cukup terinci, mulai dengan menelusuri perjalanan Mas Wahidin Sudirohusodo yang menggalang dukungan untuk memajukan pendidikan di kalangan priyayi sampai kemudian memutuskan membentuk organisasi priyayi yang dapat memperjuangkan kepentingan tersebut. Di bagian terakhir seri tulisan itu ia mendukung keputusan Soekarno pada 20 Mei 1948 untuk menetapkan hari lahirnya Budi Utomo sebagai hari kebangkitan nasional.[14] Namun dalam tulisan yang muncul belakangan, menjelang 1965, Budi Utomo sepertinya semakin terdesak oleh tokoh dan organisasi baru yang muncul dari timbunan arsip kolonial dan bahan-bahan sejarah lainnya. Tirto Adhisoerjo dan Abdul Rivai adalah dua tokoh yang sangat menarik perhatiannya, karena peran mereka dalam menghidupkan penerbitan pers, usaha dagang yang mandiri, dan organisasi modern untuk orang bumiputra. Sementara penulis nasionalis lainnya gencar mencari akar historis dari poros Nasakom dan politik Front Nasional yang menyatukan golongan nasionalis, agama dan komunis – mengikuti historiografi kolonial yang dipelopori J.Th. Petrus Blumberger (1928 dan 1931) tentang gerakan nasionalis dan komunis di Hindia Belanda – Pramoedya keluar dari kategorisasi semacam itu dengan menelusuri akar pemikiran gerakan nasionalis sebelum Budi Utomo.

Dalam penelusuran itulah Pramoedya mulai melihat asal-usul Tionghoa dan Indo-Eropa dalam pembentukan nasion. Karena menekankan pentingnya ide dalam pembentukan nasion, yang saat itu berkembang biak melalui pers dan penerbitan, ia mencari tali sambung antara para jurnalis dan penulis Tionghoa dan Indo-Eropa dengan kaum terpelajar bumiputra yang menjadi pemula gerakan nasionalis. Sementara Aidit dan intelektual kiri seperti Jan Avé menulis tentang ketidakaslian dari segi etnologis dan kesatuan secara politik (di bawah gerakan revolusioner), Pramoedya justru menekankan cultural hybridity dari nasion. Ia melihat bahwa ‘sastra assimilatif’ dan sastra pra-Indonesia yang didominasi oleh orang Tionghoa dan Indo-Eropa yang ditulis dalam Melayu pasar atau Melayu rendah adalah basis berkembangnya gagasan tentang ‘Indonesia’. Dalam sastra dan bahasa inilah ‘Indonesia’ dirumuskan dan diutarakan kepada khalayak. Pengetahuannya tentang sastra dan bahasa yang mendalam memberi dimensi yang sama sekali baru pada studi sejarah Indonesia. Bertolak belakang dengan sarjana kolonial dan para penerusnya di masa itu, Pramoedya menghubungkan dunia-dunia yang sebelumnya terpisah: sastra, bahasa dan politik. Ia membongkar kategori-kategori yang digunakan dalam studi tentang sastra dan bahasa Indonesia saat itu dan menawarkan gambaran yang sungguh berbeda. Sastra bukan hanya terkait dengan politik tapi merupakan bagian integral dari perjuangan panjang menuju ‘Indonesia’. Demikian halnya dengan bahasa. Hanya dengan ‘bahasa jang hidup’ orang bumiputra dapat merumuskan perjuangannya dan membebaskan diri dari pola pikir kolonial yang ditanamkan melalui bahasa dan sastra.

Usaha ini sejalan dengan LEKRA yang sejak akhir 1950-an giat melakukan riset mengenai sejarah sastra dan kebudayaan untuk menegaskan jejak tradisi revolusioner mereka sendiri.[15] Dalam proses itu mereka ‘menemukan kembali’ Marco Kartodikromo, Semaun dan penulis nasionalis lainnya yang kemudian diklaim sebagai pengawal tradisi realisme sosialis di Indonesia. Bagi Pramoedya masalah menemukan kembali tradisi radikal ini sangat penting karena menunjukkan bagaimana penguasa kolonial, terutama Balai Pustaka dan sarjana kolonial pendukungnya, mempengaruhi pengetahuan tentang nasion dan akhirnya turut membentuk perjalanan nasion itu sendiri. Masa lalu dan masa kini terkait erat. Mencari akar pemikiran dalam gerakan dan pemikiran nasionalis radikal bukan upaya mendapat legitimasi historis bagi LEKRA atau gerakan kiri semata-mata, tapi sebuah pernyataan bahwa ‘nasion Indonesia’ berakar pada tradisi radikal. Dengan kata lain ia berpendapat bahwa kaum radikal inilah yang pertama kali membayangkan ‘Indonesia’ sebagai kesatuan dan apa yang dilakukan oleh gerakan kiri 1960-an tidak lain kelanjutan dari proyek politik tersebut. Pandangan yang berbeda, misalnya dari kalangan nasionalis konservatif atau kelompok Islam, disanggah sebagai ‘warisan kolonial’. Polemik Pramoedya dengan establishment sastra Teeuw-Jassin yang juga menghiasi lembaran-lembaran Lentera saya kira paling tepat dimengerti dalam konteks ini.

Sumbangan penting lain dari Pramoedya dalam diskusi tentang asal-usul nasion adalah peran perempuan dalam proses tersebut. Pramoedya menjadi salah satu penulis sejarah pertama yang memperhatikan masalah ini. Ia tentu bukan orang pertama yang menulis tentang Kartini, tapi dua jilid Panggil Aku Kartini Sadja, terlepas dari pujian yang kadang berlebihan, mendudukkan Kartini dalam sejarah gerakan nasionalis dengan tepat. Usaha itu merupakan pernyataan penting dalam historiografi Indonesia yang sangat didominasi laki-laki, baik dari segi orientasi, isi maupun para penulisnya. Perhatian khusus pada gerak dan pemikiran perempuan dalam sejarah nampaknya tidak datang dari perjumpaan dengan pikiran dan teori feminis, tapi lebih sebagai kesimpulan dari bahan-bahan sejarah yang dikumpulkannya. Di sini ia sekali lagi memperlihatkan keterbatasan historiografi kolonial dan nasionalis yang mengabaikan peran perempuan semata-mata karena tidak cukup bahan yang tersedia mengenai mereka. Baru pada akhir 1920-an ketika muncul berbagai organisasi perempuan nasionalis dan terselenggaranya kongres perempuan Indonesia, penguasa kolonial merasa perlu membuat arsip khusus mengenai gerakan perempuan. Tapi peran perempuan dalam gerakan nasionalis masa awal praktis luput dari perhatian.

Malang, upaya membongkar historiografi kolonial serta menemukan dan menegaskan asal-usul radikal dari nasion dihancurkan seiring dengan dihancurkannya nasion itu sendiri. Pembasmian massal terhadap PKI sejak Oktober 1965 adalah langkah awal bagi “bangkit dan menangnya negara terhadap masyarakat dan nasion.” (Anderson 1983: 487). Ratusan intelektual, seniman, penulis, ahli sejarah dan jurnalis yang dengan satu atau lain cara terlibat dalam konstruksi nasion yang radikal ini ditangkap untuk kemudian dibunuh atau ditahan selama belasan tahun tanpa pengadilan. Penguasa berhasil membungkam Pramoedya dan intelektual kiri lainnya, paling tidak untuk sementara waktu, tapi gagal mengikis habis imajinasi radikal mereka tentang nasion.

Karya Pulau Buru: Sastra/Sejarah

“Materi hulu ia hilirkan dalam benaknya, dengannya dan dengan kata ia membikin kenyataan baru. Dia bukan menjiplak kenyataan hulu, dia membikin kenyataan baru dengan kenyataan hilir.”

Di bawah tekanan fisik, kerja paksa dan ketidakpastian nasib, serta ketiadaan sumber dan fasilitas menulis, Pramoedya melanjutkan usahanya menyusun sejarah gerakan nasionalis. Empat jilid karya Pulau Buru yang diterbitkan sejak 1980 adalah ‘hasil akhir yang tidak diharapkan’ dari studi yang dilakukannya antara 1956-65.[16] Pramoedya memilih bentuk novel karena ketiadaan bahan dan karena khawatir dituduh memalsu sejarah kalau bersikeras menulis karya non-fiksi. Dari uraiannya mengenai proses penulisan yang begitu berat – hanya bermodal ingatan setelah empat tahun hidup di bawah tindasan fisik dan kelaparan – jelas bahwa keempat novel itu bukanlah bentuk ideal yang diinginkan Pramoedya. Namun justru pilihan menulis novel ini yang kemudian memungkinkan Pramoedya lebih leluasa menangani semangat dari periode itu dan psyche ‘Indonesia’ yang sedang tumbuh di satu pihak dan kekuasaan kolonial di pihak lain. Penahanan semasa perang kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno dan setelah peristiwa 1965 membuat Pramoedya tidak sekadar tahu bahwa kekuasaan Orde Baru tidak lain dari continuum kekuasaan kolonial, tapi juga mengalaminya. Pengalaman ini menjadi landasan perenungan yang sangat penting dan saya kira sangat mempengaruhi karya-karya yang dihasilkannya.

Cukup jelas kiranya bahwa empat jilid karya Pulau Buru ini adalah kelanjutan dari proyek historiografi yang dimulainya akhir 1950-an. Tapi situasi yang berubah juga membuat Pramoedya menyesuaikan diri. Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa yang terbit tidak lama setelah ia keluar dari tahanan diarahkan pada pembaca muda yang ingin mengenal kekuatan historis yang membentuk masa kini (Tempo, 30 Agustus 1980). Dibandingkan historiografi nasionalis yang kerap terjerembab dalam nativisme, kedua karya ini berhasil menggambarkan psyche dari para pemula gerakan nasionalis dan memperlihatkan ketegangan dalam cultural hybridity masa itu. Ia menggambarkan Minke yang menolak dan bahkan mengutuk kebudayaan feodalnya yang menistakan manusia, dan kemudian memeluk peradaban Barat yang dianggap maju dan mencerahkan, sampai akhirnya melihat bahwa peradaban itu pula yang membuat rakyat Hindia tertindas. Sejarah dalam karya ini penuh letupan dan gejolak, antara sifat menghamba dan melawan; jauh berbeda dari historiografi kolonial maupun nasionalis yang selalu menempatkan fakta-fakta dalam jalur cerita yang mulus. Dalam Jejak Langkah yang terbit lima tahun kemudian Pramoedya nampak lebih bersandar pada fakta-fakta. Dalam masa itu ia sudah berhasil membangun kembali perpustakaan dan dokumentasinya, dan menggunakan bahan-bahan yang tidak dimilikinya saat menyusun dua jilid yang pertama. Karya ini juga nampak jauh lebih ‘faktual’ dan menempatkan tokoh dan kisah mereka dalam konteks sejarah yang jelas. Pembaca terus diingatkan pada waktu, keadaan dan tempat para tokoh berkiprah.

Dalam ketiga karya ini Pramoedya melampaui ‘polemik kebudayaan’ 1930-an yang menghadap-hadapkan kebudayaan Barat dan Timur serta menganjurkan agar ‘Indonesia’ memeluk salah satu. Melalui Minke ia memperlihatkan bahwa ‘Indonesia’ tidak dibangun oleh Barat atau Timur, melainkan oleh keinginan melawan ketidakadilan yang berakar pada kolonialisme oleh Barat dan tradisi feodal Timur, dengan senjata pemikiran yang memiliki banyak sumber.[17] Minke yang dididik secara Barat dan terang-terangan menolak tradisinya sendiri mendapat sekutu ideologinya dalam diri Sanikem, seorang nyai yang dididik seperlunya oleh sang tuan, Herman Mellema, seorang pemilik perkebunan. Bukan pendidikan atau kebudayaan Barat yang mempersatukan keduanya, tapi perlawanan terhadap ketidakadilan yang mereka alami dan sistem yang menjadi sumber ketidakadilan tersebut. Nasion dengan begitu bukan sesuatu yang ‘obyektif’, yang dibentuk misalnya oleh kesamaan bahasa – dan Pramoedya menonjolkan hybridity para tokohnya yang umumnya bisa bicara dalam lebih dari dua bahasa – tapi sebuah proyek politik yang tumbuh dalam masyarakat jajahan.

Rumah Kaca yang merupakan jilid terakhir dan terbit sepuluh tahun setelah jilid yang pertama, adalah kritik terhadap historiografi kolonial, atau tepatnya historiografi rumah kaca, yang paling lengkap dan mendalam. Dalam karya ini ia menginterogasi psyche kekuasaan kolonial melalui seorang birokratnya, yang terkesima melihat bangkitnya kesadaran bumiputra. Penggambaran yang rinci tentang seluk-beluk dan anatomi kekuasaan kolonial saya kira tidak ada bandingannya dalam sastra Indonesia modern maupun studi sejarah Indonesia. Di sini Pramoedya menunjukkan kualitasnya bukan hanya sebagai penulis novel yang andal, tapi juga peneliti yang tekun. Tapi tidak seperti sejarawan nasionalis dan juga sejarawan profesional masa kini, ia tidak menggunakan arsip untuk menemukan ‘fakta’ melainkan membacanya secara terbalik. Ia melihat arsip sebagai rekaan kekuasaan kolonial yang ingin mengkonstruksi ‘kebenaran’, yang kadang melenceng dari keadaan sesungguhnya tapi kemudian diyakini sebagai kebenaran. Imajinasi ini menurut hemat saya bukan hanya dibentuk oleh pengetahuannya tentang penyingkiran Tirto Adhisoerjo atau Marco Kartodikromo dari historiografi kolonial, atau penyingkiran karya-karya sastra pra-Indonesia dan sastra pergerakan oleh Teeuw-Jassin, tapi juga dari pengalamannya sendiri. Ia tahu betapa salahnya laporan para interogator yang mengkonstruksi ‘kebenaran’ mengenai dirinya.

Dalam Rumah Kaca terlihat bahwa ‘kebenaran yang salah’ ini bukan karena kecerobohan tapi hasrat untuk mengatur dan mengendalikan kenyataan. Lebih jauh ia menggambarkan bahwa semua itu dilakukan, dari perspektif kolonial, untuk kepentingan bumiputra sendiri. Pangemanann selalu terombang-ambing antara pengabdian pada kekuasaan kolonial dan simpati pada kebangkitan bumiputra. Dan justru di sinilah Pramoedya sangat berhasil menggambarkan tirai tipis antara kekaguman dan usaha memahami kenyataan dengan tindakan mengawasi untuk mengendalikan. Para pejabat kolonial seperti diketahui memiliki pengetahuan mendalam tentang kenyataan di Hindia Belanda, tapi sekaligus berbicara dalam bahasa rust en orde yang mendesak mereka untuk menulis ‘kebenaran yang salah’. Dengan uraian begitu menawan tentang psyche kekuasaan kolonial Pramoedya tidak hanya menghadirkan sejarah secara kreatif tapi membuka perspektif baru untuk menyelidiki sejarah, khususnya masa pergerakan nasional.[18]

Dimensi kritik historiografi ini tidak banyak dibicarakan dalam studi-studi tentang karya Pulau Buru, antara lain karena mengabaikan atau memisahkan penelitian dan tulisan-tulisan yang mendahuluinya selama 1960-an, ketika Pramoedya diduga sibuk berpolitik dan berhenti menulis kreatif. Kehadiran karya Pulau Buru dan Sang Pemula, biografi dari Tirto Adhisoerjo yang menjadi tokoh utama dalam tiga jilid pertama, adalah gugatan terhadap batas-batas sastra dan sejarah yang diwarisi historiografi nasional dari ilmu-ilmu kolonial. Kejaksaan Agung jelas tidak menyadari bahwa pelarangan terhadap karya Pulau Buru justru menjadi bukti kebenaran pendapat Pramoedya tentang continuum kekuasaan kolonial ke masa Orde Baru, dan bagaimana konstruksi ‘kebenaran yang salah’ – misalnya tuduhan bahwa Rumah Kaca mengandung pesan rahasia bagi kader-kader komunis untuk bergerak – menjadi dasar bagi kebijakan politik. Jika analisis itu berlaku bagi kekuasaan maka demikian halnya bagi mereka yang melawan kekuasaan itu. Pramoedya adalah kelanjutan dari tradisi radikal yang ditulisnya, meneruskan pekerjaan Tirto Adhisoerjo, Marco Kartodikromo dan gerakan intelektual kiri yang menjadi rumahnya sejak pertengahan 1950-an. Dengan karya Pulau Buru, dan kontroversi yang muncul di sekitar penerbitannya, ia berhasil memperlihatkan hubungan antara kekuasaan dan historiografi kolonial dengan kekuasaan dan historiografi Orde Baru, yang dengan tepat dirumuskan dalam frasa ‘rumah kaca’. Seperti sastra ‘assimilatif’ atau pra-Indonesia yang dibahasnya, karya Pulau Buru menjadi dokumen sosial yang berbicara tentang kenyataan historis dan sekaligus kenyataan sosial pengarangnya.

Penutup

Menyimpulkan peran Pramoedya dalam historiografi Indonesia bukan perkara mudah. Begitu banyak yang telah dikerjakannya, mulai dari menulis artikel sejarah, mencari, mengumpulkan dan menyusun bahan untuk memperkuat suara dan memperjelas sosok orang Indonesia yang dalam historiografi kolonial/nasional tampil melalui pandangan pejabat kolonial. Setelah Arus Balik dan Mangir ia masih menerbitkan studi tentang jugun ianfu di Pulau Buru yang disusunnya berdasarkan wawancara dengan perempuan korban yang terdampar di sana. Tahun 2001 ia menandingi sumber kolonial tentang kamp tahanan Boven Digoel dengan Cerita dari Digul yang memuat kisah orang Indonesia tentang kamp tersebut. Beberapa waktu lalu terbit Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, mengenai pembangunan jalan Anyer-Panarukan yang memakan korban ribuan jiwa pribumi, yang oleh penguasa kolonial dikenang sebagai salah satu proyek pembangunan infrastruktur termahsyur. Saat ini ia masih menyusun Ensiklopedi Citrawi Indonesia, yang disebutnya sebagai karya sosio-geografis dan dimulainya saat masih mendekam dalam tahanan. Cukup jelas dengan penerbitan sebanyak itu sumbangannya terhadap historiografi Indonesia tidak bisa dianggap sepi.

Kritiknya terhadap historiografi kolonial mungkin merupakan sumbangan pokok, karena dari sinilah mengalir berbagai arti penting lainnya. Menariknya, Pramoedya tidak pernah terlibat dalam perdebatan atau diskusi tentang historiografi Indonesia yang bersemangat membedakan diri dari – tapi seperti kita tahu tetap tertambat pada – historiografi kolonial yang dikritik. Tanpa sadar mungkin, karena seperti yang diperlihatkan Pramoedya dalam karya-karyanya, historiografi rumah kaca punya wajah pribumi. Ia sepertinya bekerja sendiri dan mungkin merasa lebih perlu berdialog dengan subyek yang dipelajarinya daripada sesama penulis sejarah. Sebagai seorang otodidak tulen ia tidak pernah dilatih dalam hal teori dan metode sejarah. Ia tidak memiliki dan tidak pernah berniat menyusun sistem filsafat sejarah yang koheren. Tulisan-tulisan tentang sejarah yang tersebar di berbagai media mungkin lebih tepat dibaca sebagai kumpulan fragmen ketimbang sebuah badan pengetahuan yang utuh. Adalah intensitas menggali dan membaca bahan-bahan sejarah dan pengalaman hidupnya sendiri yang mempertemukannya dengan politik penulisan sejarah yang berakar pada zaman kolonial, melalui interregnum Soekarno, dan bermuara pada Orde Baru.

Kritik yang tajam terhadap politik sejarah penguasa ditingkahinya dengan menerbitkan sumber sejarah alternatif yang memungkinkan orang Indonesia berbicara untuk dirinya sendiri dalam kisah sejarah. Penggalian sumber sejarah baru, terutama dari kaum yang dipinggirkan, membawa penulisan sejarah menjauh dari arsip, pemikiran dan kekuasaan negara. Sebuah syarat mutlak bagi dekolonisasi sejarah di Indonesia.

Hilmar Farid, 2008

Kepustakaan

Karya Pramoedya Ananta Toer

Buku

1960 Hoakiau di Indonesia, Jakarta: Bintang Press

 

1962

1962a

1962b

 

Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia: sebuah tindjauan sosial. naskah stensilan

Panggil Aku Kartini Sadja, jilid I. Bukittinggi: Nusantara

Panggil Aku Kartini Sadja, jilid II. Bukittinggi: Nusantara

1964 Sedjarah Modern Indonesia. Buku Pertama: Babak Perintis. Bahan kuliah ‘Sedjarah Modern Indonesia’, Jakarta: Fakultas Sastra Universitas ‘Res Publica’

 

1980

 

Bumi Manusia. Jakarta: Hasta Mitra
1981

 

Anak Semua Bangsa. Jakarta: Hasta Mitra
1985

 

Jejak Langkah. Jakarta: Hasta Mitra
1990

 

Rumah Kaca. Jakarta: Hasta Mitra
1995 Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Lentera

Artikel Suratkabar dan Majalah

1953 “Angkatan dan Dunianja,” Duta Suasana, 10 Januari

“Prof Dr Wertheim tentang Kesusasteraan Indonesia Modern, Kegagalan Kesusasteraan Indonesia adalah Kegagalan Revolusi,” Gelanggang/Siasat, 15 November

 

1956 “Kearah Sastra jang revolusioner,” Star Weekly, 29 Desember

“Tendensi Kerakjatan dalam Kesusasteraan Indonesia terbaharu,” Star Weekly, 21 Januari

 

1957 “Balai Pustaka di Alam Kemerdekaan,” Star Weekly, 16 Februari

“Djembatan Gantung dan Konsepsi Presiden,” Harian Rakjat, 28 Februari

“Pedoman Kehidupan Kesenian Indonesia,” Harian Rakjat, 23 Maret

 

1958 “Kesatuan Indonesia, epos dalam penggalangan abadi,” Zaman Baru, 19-20, Juli

“Sastra Indonesia Masa Lalu dan Hari Depan,” Harian Rakjat, 31 Desember

 

1962 “Multatuli. Minnerbrieven: Tugas manusia adalah menjadi manusia,” (10 bagian) Bintang Timur, 19-28 Februari, dan 1-3 Maret

“Setengah Abad Setelah Abdullah Munsji,” Lentera/Bintang Timur, 11 Mei

“Permulaan dari suatu Awal: Mengenangkan Kembali Bangkitnya Bangsa Indonesia,” (9 bagian) Lentera/Bintang Timur, 15-29 Mei

“Dr Abdul Rivai,” Lentera/Bintang Timur, 18 dan 25 Mei

“Sastra Indonesia Timbul sebagai Bangunan Atas,” (4 bagian) Lentera/Bintang Timur, 1 dan 22 Juni, 6 dan 13 Juli

“Tirto Adhisurjo: Penulis Busono,” Lentera/Bintang Timur, 13 dan 27 Juli, 7 September

“Jang harus dibabat dan harus dibangun,” Lentera/Bintang Timur, 7 September dan 12 Oktober

“Dari Memoar S. Hassannoesi: Sudara2 Inilah Sukarno!” Lentera/Bintang Timur, 19 Oktober

“WR Supratman: Berikan Saja Sendjata Ampuh Untuk Melawan Pendjadjahan,” Lentera/Bintang Timur, 22 Oktober

“Beberapa Hal tentang Balai Pustaka,” Lentera/Bintang Timur, 2 Desember

“Politik, Seni Mahasiswa,” Lentera/Bintang Timur, 9 Desember

 

1963 “Haruslah Diingat 5,8 milyar gulden uang Indonesia masih tertanam di Nederland,” (2 bagian) Bintang Timur, 5-6 Maret

“Katini dan Politik,” (2 bagian) Bintang Timur, 20 dan 22 April

“Sebuah Memoar: Penjara Cipinang,” Lentera/Bintang Timur, 23 April dan 12 Mei

“Pidato Ketua Komite Nasional Indonesia untuk Konperensi Pengarang Asia-Afrika pada Pembukaan Sidang Komite Eksekutif KPAA di Denpasar, 17 Juli 1963,” Lentera/Bintang Timur, 21 Juli

“Sekali lagi masalah Periodisasi Dalam Sastra Indonesia,” Lentera/Bintang Timur, 4 Agustus

“Setengah Abad Setelah Abdullah Munsyi,” Lentera/Bintang Timur, 25 Agustus

“Basa Indonesia sebagai Basa Revolusi Indonesia,” (6 bagian) Lentera/Bintang Timur, 22 dan 29 September, 6, 13 dan 20 Oktober

“Hans Bague Jassin, Biang ‘Humanisme Universal’,” Lentera/Bintang Timur, 28 Oktober

“Pers Pra-Indonesia dan Sumpah Pemuda,” Lentera/Bintang Timur, 3 November

“Surat 10 November kepada semua pelajar SMP,” Lentera/Bintang Timur, 17 November

“Sastra Assimilatif: Sastra pra-Indonesia,” (2 bagian) Lentera, 24 November dan 1 Desember

“Surat kedua Pramoedya Ananta Toer kepada Pelajar2 SMP: Tentang Anak Djaman,” Lentera/Bintang Timur, 8 Desember

 

1964 “Basa Indonesia dan Basa Revolusi Indonesia,” (6 bagian) Lentera/Bintang Timur, 26 Januari, 9 dan 23 Februari 1964, 1 dan 15 Maret, 5 April

“Mengapa Mendjebol Kebudajaan Imperialisme Amerika Serikat. Pidato pada penutupan pleno PP LEKRA di Palembang,” Lentera/Bintang Timur, 15 Maret

“Beberapa cukilan dari surat2 adik Kartini, Kartinah Reksonegoro kepada Pramoedya Ananta Toer,” Lentera/Bintang Timur, 19 April

“Sejarah: Kartini dalam Kepungan Etik,” (3 bagian) Lentera/Bintang Timur, 3, 10 dan 17 Mei

“Fungsi Akademi Sastra Dewasa ini,” Lentera/Bintang Timur, 10 Mei

“Penilaian atas Situasi Kondisi: Revolusi Kebudajaan Kita Dewasa ini,” Lentera/Bintang Timur, 14 Juni

“Dua bulan setelah proklamasi,” Lentera/Bintang Timur, 16 Agustus

“Dalam 15 tahun kita bangunkan kembali jang dihancurkan kebudayaan imperialis dalam 3,5 abad,” Lentera/Bintang Timur, 18 September

“Hikayat Nyai Dasima, karya G. Francis,” Lentera/Bintang Timur, 13 Desember

“Sekali Lagi tentang Hikajat Njai Dasima,” Lentera/Bintang Timur, 27 Desember

 

1965 “Mengenang 11 Djanuari, Hari Wafatnja Mohd. Husni Thamrin,” Lentera/Bintang Timur, 17 Januari

“Surat2 Kartini: Bangsawan pikir dan bangsawan hati,” Lentera/Bintang Timur, 18 April

“Mengikuti Detik2 Kelahiran BO. Dikutip dari pelajaran sejarah Indonesia modern oleh Pramoedya Ananta Toer,” Lentera/Bintang Timur, 23 dan 30 Mei

“Tahun 1965 Tahun Pembabatan Total,” Lentera/Bintang Timur, 9 Mei

“Pengaruh Kebangkitan Nasional dalam Pers Pribumi,” Lentera/Bintang Timur, 6 Juni

“Trotskisme di Indonesia,” (6 bagian) Lentera/Bintang Timur, 1 dan 15 Agustus, 5, 12, 19 dan 26 September

“Generasi yang Takkan Kalah, Catatan 17 Sept.” Lentera/Bintang Timur, 26 September

Sumber Sekunder

Aidit, Dipa Nusantara (1960) Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia: Soal2 Pokok Revolusi Indonesia. Djakarta: Jajasan Pembaruan

Anderson, Benedict R. O’G (1983). “Old State, New Society: Indonesia’s New Order in Historical Comparative Perspective.” Journal of Asian Studies, 42 (3), hlm. 477-496

Farid, Hilmar (1991) “Kolonialisme dan Budaya: Balai Pustaka di Hindia Belanda,” Prisma, 20 (10), Oktober, hlm. 23-46

—————— (1994) “Menemukan Bangsa, Mencipta Bahasa: Bahasa, Politik dan Nasionalisme Indonesia,” Kalam, No. 3, hlm. 24-36

—————— (2005). “The Class Question in Indonesian Social Sciences,” dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae. Social Science and Power in Indonesia. Jakarta: Equinox

Feith, Herbert dan Lance Castles, eds. (1970). Indonesian Political Thinking 1945-1965. Ithaca and London: Cornell University Press

Foulcher, Keith (1986) Social Commitment in Literature and the Arts: The Indonesian ‘Institute of People’s Culture’, 1950-1965. Clayton: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University

Gunadi (1961). Nasion Indonesia: Sedikit Tentang Lahir dan Haridepannja. Djakarta: Jajasan Pembaruan

Heinschke, Martina (1993). Angkatan 45: Literaturkonzeptionen im Gesellschaftspolitischen Kontext. Zur Funktionsbestimmung von Literatur im postkolonialen Indonesien. Veröffentlichungen des Seminars für Indonesische und Südseesprachen, Band 18. Berlin, Hamburg: Dietrich Reimer Verlag

Helmi (1980). Di Tengah Pergolakan. Amsterdam: Yayasan Langer

Hong Liu (1996) “Pramoedya Ananta Toer and China: The Transformation of a Cultural Intellectual,” Indonesia, No. 61, hlm. 119-43

Kartodirdjo, Sartono (2001). “The Decolonization of Indonesian History,” Indonesian Historiography. Jogjakarta: Kanisius

Klooster, H.A.J. (1985) Indonesiërs Schrijven hun Geschidenis: De Ontwikkeling van de Indonesische Geschiedbeoefening in Theorie en Praktijk, 1900-1980. VKI 113. Dordrecht: Foris Publications

Miller, Stephen (1993) “Pramoedya and Politics: Pramoedya Ananta Toer and Literary Politics in Indonesia, 1962-1965,” BA Thesis, Australian National University

Petrus Blumberger, J.Th. (1928). De Communistische Beweging in Nederlandsch-Indië. Haarlem: Willink

—————— (1931). De Nationalistische Beweging in Nederlandsch-Indië. Haarlem: Willink

Reid, Anthony (1979) “The Nationalist Quest for an Indonesian Past,” in Anthony Reid and David Marr, eds. Perceptions of the Past in Southeast Asia. Singapore: Heinemann Educational Books (Asia) Ltd, hlm. 281-98

Scherer, Savitri (1981) “From Culture to Politics: The Writings of Pramoedya A. Toer, 1950-1965,” PhD Thesis, Australian National University.

Shiraishi, Takashi (1987) “Reading Pramoedya Ananta Toer’s Sang Pemula [The Pioneer],” Indonesia, No. 64, hlm. 129-39

—————— (1990). An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926. Ithaca: Cornell University Press

Siregar, Bakri (1964). Sedjarah Sastra Indonesia Modern. Djakarta: Akademi Sastra ‘Multatuli’.

Smail, John R.W. (1961) “On the Possibility of an Autonomous History of Modern Southeast Asia,” Journal of Southeast Asian History, 2 (2), July, hlm. 72-102.

Teeuw, A. (1979). Modern Indonesian Literature. Vol. 2. The Hague: Martinus Nijhoff

van Leur, J.C. (1955) Indonesian Trade and Society: Essays in Asian Social and Economic History. The Hague, Bandung: W. van Hoeve.

Wallerstein, Immanuel, et.al. (1996). Open the social sciences: report of the Gulbenkian Commission on the restructuring of the social sciences. Stanford: Stanford University Press.

Wertheim, Wim F. (1995). “Pramoedya as Historian,” Kabar Seberang, 24-25

Catatan Kaki

[1] Pramoedya adalah satu dari ratusan seniman, intelektual dan penulis yang termasuk daftar ‘orang terlarang’ yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Larangan itu tadinya hanya berlaku di lingkungan departemen tersebut, tapi kemudian juga berlaku untuk umum. Pada 1983 ketika diangkat menjadi rektor Universitas Indonesia, Nugroho Notosusanto memerintahkan agar perpustakaan kampus, termasuk fakultas sastra tempatnya mengajar, dibersihkan dari ‘buku-buku beracun’, termasuk di dalamnya karya-karya yang diterbitkan oleh gerakan kiri atau negara-negara sosialis.

[2] Studi Klooster (1985) yang mungkin merupakan studi paling komprehensif tentang historiografi Indonesia pun tidak menyebut satu pun karya Pramoedya. Tapi ia menyebut Aidit dan Tan Malaka, yang dari segi akademik maupun politik juga merupakan pariah dalam historiografi Orde Baru. Di lingkungan ahli sejarah Indonesia sendiri, Abdurrachman Surjomihardjo adalah satu dari sedikit orang yang pernah membicarakan karya Pramoedya sebagai karya sejarah.

[3] Dalam sebuah wawancara ia bahkan mengaku bahwa pada tahun 1955 ia mengambil keputusan untuk mencurahkan waktu sepenuhnya bagi penelitian sejarah (Scherer 1981). Tapi saya kira menurunnya produktivitas Pramoedya ini juga karena kesibukan membangun rumah tangga kedua dan kesulitan ekonomi yang menyertainya (Pramoedya Ananta Toer 1995:152-61).

[4] Pada akhir 1959 pemerintah mengeluarkan PP 10/1959 yang melarang orang Tionghoa berdagang di desa-desa. Mereka dipaksa menutup usahanya dan meninggalkan desa asal mereka pada 1 Januari 1960. Mereka yang menolak pindah diusir paksa dengan kekerasan oleh militer dan di beberapa tempat berakibat kematian. Protes dari kedutaan RRT dibalas dengan kecaman oleh Soekarno yang kemudian malah mendukung tindakan Angkatan Darat mengusir konsul RRT untuk Sumatera dan Kalimantan. Baru pada Juli 1960, ketika militer menembak mati dua perempuan Tionghoa, Soekarno berubah pikiran.

[5] Istilah ‘babak perintis’ diperkenalkan oleh Soekarno.

[6] Adalah J.C. van Leur (1955), dalam kritiknya terhadap historiografi kolonial yang mengamati sejarah masyarakat dari loji dan geladak kapal Belanda, menyarankan agar ahli sejarah menaruh perhatian lebih besar pada suara orang bumiputra sendiri. Lihat juga artikel menawan dari John Smail (1961).

[7] Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh G.J. Resink dan ikut dipopulerkan Soekarno pertengahan 1950-an.

[8] Hubungan dengan kedua orang yang disebut belakangan pun dapat ditelusuri kembali ke masa sebelum ia menekuni sejarah. Pramoedya mengenal Resink sejak akhir 1940-an ketika ia masih ditahan di penjara Bukti Duri. Adalah Resink yang menyelamatkan naskah Perburuan yang kemudian diserahkannya kepada HB Jassin dan mendapat hadiah pertama dari Balai Pustaka. Sementara itu Pramoedya mengenal Wertheim ketika menetap di Belanda pada paruh kedua 1953.

[9] Karya itu sebelumnya diterbitkan secara bersambung oleh Tirto Adhisoerjo dalam Medan Prijaji. Setelah lepas dari tahanan Pramoedya kembali menerbitkannya dalam bentuk buku. Sebagai satu-satunya novel dari dan mengenai periode Tanam Paksa, Hikajat Siti Mariah memberi informasi yang sangat berguna mengenai alam pikir dan jiwa rakyat jelata serta hal-hal yang tidak pernah disinggung dalam arsip-arsip kolonial. Penerbitan itu mungkin sama pentingnya dengan usaha sejarawan Carlo Ginzburg menerbitkan catatan seorang pemilik penggilingan gandum di Italia dari abad ke-16 yang menguraikan kosmologi rakyat dari masa itu.

[10] Pramoedya dengan begitu menjadi salah satu penulis sejarah pertama yang menggunakan metode sejarah lisan di Indonesia. Peralatan rekaman saat itu masih merupakan barang mewah dan hanya dimiliki sedikit orang. Karena itu ia harus membawa orang-orang yang hendak diwawancarainya ke tempat seorang pengusaha yang bersimpati pada usahanya. Saat menyusun seri tulisan “Trotskis di Indonesia”, yang kemudian dimuat di Lentera September 1965 (dan tidak selesai karena Bintang Timur dibredel pada 1 Oktober)  ia juga merekam pengalaman eks-Digulis yang kembali dari Australia dan sejumlah tokoh PKI yang mengalami gejolak gerakan komunis 1926-48.

[11] Istilah ini lebih sering digunakan dalam wacana intelektual kiri 1960-an sebagai pengganti kata ‘bangsa’ yang dalam akar Melayu-nya mengandung makna ‘kalangan yang lebih beradab’. Menurut keterangan Oey Hay Djoen, tokoh penting LEKRA, istilah itu mulai dipopulerkan oleh Njoto awal 1960-an dan mulai digunakan secara luas oleh intelektual kiri lainnya. Pramoedya sendiri sering berganti-ganti menggunakan istilah ‘bangsa’ dan ‘nasion’.

[12] Aidit dalam Masjarakat Indonesia dan Revolusi Indonesia (1960), ideological treatise terpenting dan master narrative dari narasi komunis tentang sejarah, melacak asal-usul Indonesia ke bangsa Mon Khmer dari daratan Asia Tenggara. Ada ketegangan kuat antara keinginan melacak kesatuan dari segi budaya dan bahasa dengan pendekatan yang menekankan aspek politik dari nasion. Paparan paling sistematik dari partai tentang nasion dapat dilihat dalam Gunadi (1961). Di sini penulisnya membahas ‘kenyataan objektif’ dari nasion dan ‘keinginan subyektif’. Jika analisis tentang kenyataan obyektif itu diilhami oleh Stalin (1935), maka diskusi tentang keinginan subyektif bersumber dari Ernest Renan (1882).

[13] Namun pandangannya tentang Politik Etik berubah-ubah. Ia kerap mengkritik paternalisme para pejabat kolonial yang merasa ‘mencerahkan’ kalangan terpelajar bumiputra, tapi di sisi lain mengakui bahwa kapitalisme dan modernitas yang dibawa kekuasaan kolonial adalah kunci bagi rakyat jajahan untuk mencapai kemajuan. Pramoedya seperti intelektual kiri lainnya di masa itu adalah seorang modernis tulen yang meyakini gerak maju sejarah akan membebaskan orang dari keterbelakangan.

[14] Keputusan itu dibuat saat ada kebutuhan besar untuk menunjukkan akar-akar historis dari Republik Indonesia. Selanjutnya logika ‘mencari akar historis’ ini juga dipakai dalam pengangkatan pahlawan nasional, penetapan hari besar nasional dan simbol-simbol kenegaraan lainnya.

[15] Usaha itu dirangkum oleh Prof Bakri Siregar dalam Sedjarah Sastra Indonesia Modern (1964) yang diterbitkan Akademi Sastra Multatuli. Bandingkan dengan makalah Pramoedya mengenai realisme sosialis dan sastra Indonesia (1963). Pada awal 1960-an kekuatan kiri membentuk sejumlah akademi untuk mendidik kader-kader mereka, seperti Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, Akademi Ilmu Politik Bachtaruddin – keduanya mengambil nama tokoh partai dari periode 1920-an dan 1940-an. Pramoedya ikut mengajar di Akademi Jurnalistik Abdul Rivai dan Akademi Sejarah Ranggawarsita, walau yang belakangan tidak begitu aktif.

[16] Ada beberapa naskah lain yang disusunnya selagi di pembuangan, seperti Arus Balik, Mangir, Mata Pusaran, yang menceritakan sejarah pra-modern di Jawa.

[17] Dalam karya Pulau Buru Pramoedya memang menekankan pergulatan pemikiran dengan tradisi Barat. Di lingkungan LEKRA sejak akhir 1950-an, mungkin sebagai produk dari program ‘turun ke bawah’, para seniman dan intelektual mulai menggali ‘tradisi kerakyatan’ Timur yang egaliter sebagai bagian dari budaya nasion yang baru.

[18] Adalah Takashi Shiraishi (1990) yang kemudian mengembangkan landasan ini untuk menelaah radikalisasi gerakan nasionalis antara 1912-1926. Ia mengkritik salah kaprah dalam penulisan sejarah yang bersumber dari tiga jilid buku J.Th. Petrus Blumberger tentang gerakan komunis, nasionalis dan Indo-Eropa di Hindia Belanda lalu menyusun narasi, seperti yang dilakukan Pramoedya pada paruh pertama 1960-an, berdasarkan suara dan tindakan orang bumiputra sendiri.

Tulisan ini pernah dimuat dalam buku Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia/editor, Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwanto, Ratna Saptari, Penerbit YOI 2008