Tentang Anak Muda, Orde Baru dan Media
Di Newsletter Pamflet edisi #1 ini, kami melayangkan sebuah e-mail berisi pertanyaan seputar anak muda, media, dan pra-Reformasi. Karena sebelum kami mencerocos banyak sok tahu soal anak muda, gerakannya, budayanya, dan bahkan sebutannya; kami mau tahu terlebih dahulu sekilas soal gambaran anak muda dan media sebelum Reformasi dan apa bedanya dengan anak muda sekarang. Untuk mencari jawabannya, rasanya salah satu orang yang tepat kami tanyai adalah Hilmar Farid, sejarawa muda dan aktif di Institut Sejarah SosialĀ Indonesia sekaligus ketua Perkumpulan Praxis. Berikut ini obrolan singkat-padat-tangkas kami dengan Bang Fay.
Bagaimana cara anak muda menemukan ide-ide alternatif, mengembangkannya, serta menyebarluaskannya di era pra-reformasi?
Saya kira titik tolak terpenting adalah ketika mereka melihat ada yang salah dengan sistem waktu itu, yakni Orde Baru. Dari sini keinginan untuk mencari alternatif muncul. Sumbernya macam-macam, mulai dari buku atau tulisan, pengalaman orang lain yang mereka lihat berbeda dengan sistem, sampai pada pengalaman sendiri hidup di bawah rezim Orde Baru. Kombinasi antara pikiran dan praktek ini yang saya kira melahirkan bermacam alternatif di kalangan muda.
Apakah dalam sejarah media di Indonesia, ada kultur depolitisasi anak muda? Bagaimana cara pemerintah, misalnya pada era Orde Baru, menggunakan media untuk menuntun dan mengendalikan opini publik?
Istilah ‘anak muda’ sendiri adalah bentuk depolitisasi. Sebelumnya dikenal istilah ‘pemuda’ yang berperan besar dalam pembentukan republik, dan karena itu, sangat politis. Istilah ‘anak muda’ menempatkan orang berusia muda sebagai subordinat dalam masyarakat, sebagai ‘anak’ yang dalam kebanyakan kultur di nusantara ini belum diakui dewasa, artinya belum punya hak, belum punya kekuatan untuk berdiri sendiri dan seterusnya. Di masa Orde Baru, sosok ini (anak muda) dihadirkan dengan gaya ‘santai’ tapi pada saat bersamaan sangat bergantung pada figur orang tua (tidak mesti orang tua biologis). Padahal kenyataannya ada jutaan orang berusia muda sangat mandiri dalam banyak hal.
Apakah internet dan media independen seperti zine dan newsletter saat itu berperan? Bagaimana perannya?
Media independen sangat berperan. Di kalangan mahasiswa yang paling populer tentunya pers mahasiswa. Di sinilah mereka menuangkan keresahan, kritik, dan juga ide-ide alternatif tadi. Di luar kampus juga banyak zine dan newsletter yang timbul-tenggelam, kadang usianya pendek, kadang panjang. Internet saya kira baru mulai meluas akhir 1990an. Ada era milis yang kemudian digantikan bentuk-bentuk yang lebih interaktif dan akhirnya sosial media seperti sekarang. Perannya penting dalam pembentukan kesadaran kolektif. Kita membaca, membahas, menimpali persoalan yang diangkat dalam media independen atau alternatif ini dan membentuk kesadaran baru dan berbeda dari mereka yang hanya makan propaganda pemerintah.
Bagaimana media memandang isu anak muda di masa sekarang? Apakah masih sama atau belum banyak berubah dari dulu? Apa saja perubahannya (bila ada)?
Anak muda sekarang jauh lebih luas penjelajahannya terhadap bermacam isu daripada generasi-generasi sebelumnya, karena media dan internet. Apa yang dianggap penting sekarang ini berbeda dari masa sebelumnya. Dunia digital juga
mengubah cara komunikasi orang, bukan hanya anak muda, dan juga hubungan sosial. Tapi di sisi lain, ada banyak isu yang masih sama dari waktu ke waktu. Hubungan orang tua dengan anak, posisi anak muda dalam masyarakat lebih luas, lengkap dengan semua tuntutan dan harapan yang dibebankan kepada mereka, dan seterusnya.
Apakah internet dan media sosial berpengaruh pada kesadaran politik dan sosial anak muda? Bagaiaman ia mempengaruhinya?
Ya, pengaruhnya banyak sekali terutama dalam cara pandang terhadap tatanan. Media sosial punya kecenderungan mengabaikan atau menggugat hirarki. Siapapun bisa berkomentar tentang apapun dalam posisi setara. Kehidupan sosial dengan kata lain lebih lugas dan transparan, tidak dibatasi atau dibungkus oleh bermacam-macam selubung seperti sebelumnya.
SumberĀ Newsletter Pamflet #1 April 2014
Kita lama hidup di bawah sistem yang pada dasarnya mengatakan: urusan publik itu ditangani negara saja, entah itu politik, kebebasan, dll. Jadinya, masyarakat ikut sistem karena takut, bukan karena mengerti dan merasa penting. (HF, 2014)