Wawancara Khusus – Dirjenbud Hilmar Farid
Jakarta (ANTARA News) – Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid disebut Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan sebagai sosok yang memulai sejarah baru karena menjadi orang pertama yang mendapat jabatan eselon 1 dari non-pegawai negeri sipil.
Pria kelahiran Bonn, Jerman Barat, 8 Maret 1968 itu sebelumnya dikenal sebagai aktivis, dosen, dan budayawan. Hilmar lebih sering tampil berambut gondrong, baju kaus dan celana jeans.
Doktor kajian budaya dari National University of Singapore itu dilantik menduduki jabatan barunya pada 31 Desember 2015. Saat ANTARA News menemuinya di ruang kerja, (7/1) Hilmar sudah sibuk berkutat dengan lembaran-lembaran kertas di meja.
Berikut adalah petikan wawancaranya:.
Kenapa memutuskan mau masuk ke dalam birokrasi?
Saya berpikir ada hal-hal tertentu yang tidak mungkin saya lakukan karena harus oleh negara. Misalnya, di Amerika atau Eropa, untuk mendapatkan sumber-sumber sejarah di Amerika atau Eropa jika kita ingin membuat riset, bisa didapat dengan mudah dari rumah. Bangun pagi sambil ngopi lalu browsing kemudian tinggal print.
Di Indonesia, kalau mau buat penelitian terkait tahun 1950 misalnya, kamu harus datang ke Jakarta, pergi ke museum dan perpustakaan nasional, pesan mikrofilm, gulung sendiri dengan alat yang sudah tua terus hanya boleh disalin dengan tulisan tangan. Sementara orang-orang di negara sana mengerjakan hanya hitungan jam sedangkan kita di sini perlu hitungan bulan. Ini tidak sebanding.
Dulu saya berpikir, bagaimana caranya mengatasi persoalan ini tetapi saya tidak punya daya, tidak ada ada sumber, tidak ada akses, tidak punya uangnya. Dengan jabatan saya sekarang, saya tinggal menyuruh ke bagian sejarah. Itu juga berlaku untuk banyak hal lain.
Ada isu yang ditekankan sebagai pejabat publik?
Fokus Pak Jokowi membangun Indonesia dari pinggiran. Saya menterjemahkan dalam bidang kebudayaan, contohnya untuk pembangunan komunitas budaya, saya fokus ke komunitas-komunitas di pinggiran. Lainnya, visi Pak Jokowi membangun Indonesia yang inklusif. Saya membawa warna inklusif masuk dalam kegiatan-kegiatan yang sudah ditetapkan sebelumnya.
Bagaimana menterjemahkan revolusi mental dalam kebudayaan?
Revolusi mental tidak bisa dikerjakan oleh satu kementerian, apalagi satu dirjen. Dari porsi saya, misalnya kontribusi yang minim yang bisa kami buat untuk menggerakkan cara pandang.
Contoh, Menteri Anies sudah buat aturan 15 menit pertama anak sekolah sekarang dipakai untuk membaca. Saya bertugas memikirkan bacaan-bacaan apa yang pantas dan berguna bagi anak-anak. Saya undang ahli sastra, ahli pendidikan, ahli psikologi dan lainnya, untuk membahas bacaan yang sesuai revolusi mental dan membentuk karakter bangsa. Porsinya tentu bacaan untuk anak-anak yang bisa membangun penghargaan terhadap diri sendiri agar anak-anak lebih percaya diri. Itu satu manifestasi yang agak kongkret dari revolusi mental.
Kapan rencananya hal tersebut akan dimulai?
Dalam tahun ini harus lihat hasilnya. Kita jangan kasih buku bacaan yang anak-anak tidak suka, nanti mereka malas membacanya. Ini prinsip yang penting. Hal lainnya adalah memperhatikan sekolah-sekolah di pinggiran, sekolah-sekolah yang gurunya harus mengajar sampai tiga kelas sekaligus.
Inklusivitas juga termasuk itu. Selama ini terjadi sejenis kesenjangan, tidak hanya ekonomi tetapi juga sosial kultural. Dengan niat Pak Jokowi memerintahkan membangun desa terpinggir, saya kira ini langkah konkret
yang harus dilakukan.
Kesenjangan sosial kultural itu contohnya apa?
Gampang, sekarang kamu cari bioskop di kota kecamatan, ada tidak? Simpel. Maksudnya, fasilitas untuk terlibat di dalam kultural yang wajar tetapi tidak tersedia. Kita ini orientasinya mungkin masih terlalu komersial, misalnya “oh tidak ada untungnya ngapain bangun di sana”. Akibatnya itu, dalam kehidupan sosial kultural itu juga terjadi kesenjangan. Banyak di provinsi yang tidak punya bioskop. Bukan berarti kalau bioskop itu segalanya, tapi itu semacam cermin dari tingkat perkembangan kultural kalau itu punya akses.
Seberapa penting kebudayaan membentuk karakter masyarakat?
Ada banyak persoalan di dalam masyarakat kita dalam sosial ekonomi itu akarnya sebetulnya kebudayaan. Bukan cuma perkara bahwa dia tidak punya akses ke sumber daya, tetapi dia tidak punya pengetahuan, tidak punya
kemampuan cukup, tidak punya penghargaan terhadap diri sendiri yang cukup untuk menganggap dirinya berarti dan bisa melakukan sesuatu.
Hal tersebut agak umum termasuk di kota-kota besar juga. Misal, anak-anak disuruh maju ke depan kelas tetapi malah dorong-dorongan karena serba tidak percaya diri. Norma kita sangat dituntun, di satu sisi oleh aturan-aturan yang sangat ketat, dengan segala macam pembatasan itu, di sisi lain oleh arus komersial dalam bentuk tontonan misalnya.
Akar persoalannya karena masalah kepercayaan diri ?
Misal saya mau jadi seniman, itu pasti didera stigma “ngapain”. Kita kurang tempat untuk itu, penghargaan kita terhadap profesi masih sangat terbatas banget dunianya. Ini yang harus dilebarkan. Itu urusan kebudayaan, dan kebudayaan menyangkut imajinasi. Kamu bisa bayangkan suatu hari mau jadi traveler, keliling dunia, dari situ bisa makan sebenarnya bahkan bisa hidup dari sana dengan kehidupan yang layak. Maka, kita harus bangun ekosistem, sehingga tanpa harus selalu di feeding akan timbul dalam masyarakat sendiri dan kuncinya pada akhirnya informasi. Kalau arus informasi dibuka, orang bisa mengakses cukup pengetahuan.
Hilmar menyelesaikan S1 dari Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dua tahun setelah lulus, anak Agus Setiadi (penerjemah seperti buku serial Lima Sekawan) mengajar di Institut Kesenian Jakarta dari 1995-1999. Pada tahun 1994, bersama beberapa seniman, peneliti, aktivis, dan pekerja budaya di Jakarta, ia mendirikan Jaringan Kerja Budaya.
Pada 2002, Hilmar mendirikan dan memimpin Institut Sejarah Sosial Indonesia. Ia juga penulis buku berjudul
“Kisah Tiga Patung”.
Saat dilantik sebagai Dirjen Kebudayaan, Hilmar masih menduduki jabatan komisaris independen mewakili pemegang saham minoritas PT Krakatau Steel (Persero) sebagai ketua komite audit.
Menurut dia jabatan komisarisnya akan segera digeser karena dia sudah masuk dalam pemerintahan. Sebelumnya, Hilmar juga dikenal sebagai relawan Jokowi dan mengkoordinasikan para sukarelawan saat Pemilihan Presiden lalu.
Banyak media yang mengangkat isu tentang latar
belakang Anda sebagai relawan Jokowi. Apa jabatan ini ada hubungannya dengan hal tersebut?
Keseluruhan proses Dirjen ini kan lewat seleksi pansel terbuka. Saya tes sendiri, dari pendaftaran administrasi
dengan membuat makalah lalu setelah lolos dilanjutkan dengan tes tertulis dan lisan. Setelah dipilih tiga nama oleh Mendikbud, lalu diserahkan kepada Presiden untuk dipilih.
Apakah pernah terbayangkan sebelumnya menjadi Dirjen?
Saya? Enggak. Saya latar belakangnya pendidikan, saya mengajar. Saat Menteri Anies memutuskan lelang jabatan ini dan dibuka untuk non-PNS, saya diskusi panjang dengan teman-teman.
Program apa yang akan Anda lakukan dalam waktu dekat?
Melakukan konsolidasi soal arah program. Fokusnya tetap pada daerah-daerah di pinggiran, itu kerangka umumnya untuk membawa Nawa Cita Pak Jokowi di bidang kebudayaan dengan hubungan ke beberapa bidang lain. Ownership (kepemilikan) terhadap suatu program penting banget dalam menjalankan program. Kalau semua datang dari atasan, nanti bawahannya hanya menjalankan untuk kejar setoran saja tetapi belum tentu paham.
Sekarang saya mau balik ke bawahan, “kamu yang usul. Apa nih?” Sehingga ownership terasa, kita tantang bawahan menyampaikan ide sementara atasan bertugas mengarahkan.
Sepertinya Anda sangat ingin menjunjung demokrasi di Ditjen Kebudayaan?
Saya ingin melakukan revolusi mental di internal dengan cara seperti itu.
Misal, kepada eselon 4 yang tiga jenjang di bawah saya, mereka boleh ngomong karena mereka kan pelaksana lapangan yang betul-betul berhubungan langsung dengan publik.
Kemampuan mereka juga harus diasah. Jangan sampai bawahannya hanya sibuk urusin tanda tangan
keuangan, saya tidak mau lihat seperti itu.Ini juga masalah manifestasi penghargaan terhadap diri sendiri, juga persoalan leadership.
Susah atau tidak bagi menyesuaikan diri sebagai birokrat?
Iya dan enggak. Dalam pengertian, hal-hal yang sifatnya kebiasaan. Seperti kemarin ada wawancara, kadang-kadang saya masih keceplosan berpendapat. Sekarang saya kan harus berbuat, bukan berpendapat.
Lalu apa sebagai pengingat bahwa Anda sekarang birokrat?
Nih, ini baju (sambil memegang baju batik yang ia kenakan, lalu tertawa).
Penampilan berubah total. Dulu kan saya kaos-kaosan saja, pakai jeans, sekarang tidak bisa. Jadi saya lihat baju. Kalau dulu kan gampang sekali kapan saja mau kumpul, sekarang sudah ada yang atur jadwal. Dulu di komunitas hanya bisa dibicarakan dan dibayangkan, sekarang saya bisa membantu mewujudkan. Ya, itu buat saya sudah impas. (*)
Sumber: antaranews.com
Kita lama hidup di bawah sistem yang pada dasarnya mengatakan: urusan publik itu ditangani negara saja, entah itu politik, kebebasan, dll. Jadinya, masyarakat ikut sistem karena takut, bukan karena mengerti dan merasa penting. (HF, 2014)