Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid bercerita tentang perkenalan pertama dengan Pramoedya serta buku-bukunya. Seperti apa sosok Pram dan karya-karyanya di mata pria kelahiran Bonn, Jerman Barat, 8 Maret 1968 yang juga dikenal sebagai aktivis, dosen, dan budayawan ini?

Berikut ini petikan wawancara Hilmar dengan penulis bersama Yudho Raharjo dan Nurcholis Anhari Lubis (fotografer) yang dilakukan pada Senin (15/02/2016) di ruang kerjanya.

Kapan pertama kalinya Anda tertarik kepada buku-buku Pramoedya Ananta Toer?
Pram saya kenal pertama SMA. Kelas I jangan-jangan ya. Itu karena orang tua saya punya Pram di rumah. Bukunya. Dan belinya ketika buku itu baru diterbitkan. Awalnya saya juga tidak tahu. Anak SMP tidak kenal waktu itu. Tetapi SMA tertarik dan mulai baca dan masuk ya. Tidak banyak novel yang masuk waktu itu. 

Apa yang pertama kali dibaca?
Ya, tetralogi! Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Kalau tidak salah ingat saya baca Jejak Langkah terlebih dahulu sebab itu yang tersedia. Lalu ayah saya bilang baca itu dulu. Jadi saya mundur. Tapi menariknya buku ini kan bisa dibaca terpisah. Bisa dibaca di tengah. Misalnya baca langsung Jejak Langkah tanpa terganggu. Itu pertama. Tahun-tahun itu, pertengahan tahun 80an. 

Bagaimana Anda melihat buku-buku Pramoedya Ananta Toer?
Kalau menurut saya, ringkasnya begini. Pram adalah satu dari sedikit dari penulis Indonesia yang mampu menceritakan riwayat kolektivitas yang namanya bangsa Indonesia ini dengan baik. Tentu ada penulis-penulis lain, Mangun Wijaya, Ajip Rosidi, dan seterusnya. Namun Pram ini saya kira yang mampu menuliskan Indonesia secara solid. Ini saya yakin hasil pemikiran yang mendalam. Jadi, dia tidak menjadikan Indonesia ini sebagai subjeknya tapi sudah menjadi latarnya. Bahkan tidak lagi direncanakan mau menulis ini itu. Ketika ia menulis, maka hadirlah. Dihadirkannya Indonesia dalam tulisannya. Dan tidak lain ini adalah boleh dibilang hasil perjalanan yang panjang ya. Dan itu yang menarik dari dia dari dua segi. Satu kita sebagai pembaca sebagai sebuah cerita menarik saja. Pembaca yang kurang mengerti tentang Indonesia tetap saja menarik. Kalau dalam sastra, istilahnya fabulanya kita ikuti. Menarik. Alur ceritanya ke sana ke mari. Menarik. Apalagi kalau kita mengerti apa yang mau ia ceritakan. Banyak bagian-bagiannya itu saling merujuk. Istilahnya itu referensial. Saling merujuk novel satu dengan novel yang lain.

Kalau kita baca Arus Balik, tema itu nanti akan kita lihat lagi dalam perenungan-perenungannya Pangemanann di Rumah Kaca. Muncul tuh isu yang sama dipikirkan dan seterusnya. Kalau kita lihat sikapnya Minke terhadap bapaknya, langsung terngiang-ngiang soal Arok Dedes. Bagaimana kekuasaan yang zalim itu terbentuk dan sudah membudaya. Sudah melekat dalam kultur kita sehingga tidak dirasa janggal lagi. Menindas namun kita percaya betul bahwa itu menjadi sebuah yang wajar. Pram kan membongkar semua itu kan? Mempertanyakan. Sistem yang saling merujuk itu di dalam novel-novelnya menarik.

Patih dengan Sang Hyang Lohgawe?
Ya, atau di Arus Balik itu ada si Adipati Tuban yang mau naik kuda mesti dari punggung bawahannya. Muncul soal-soal hal seperti itu.

Jika Anda mau menyarankan untuk buku-buku Pramoedya. Apa itu?
Apa yang saya harapkan? Itu Pram saya mengharapkan seperti halnya sastra Indonesia pada umumnya kembali ke sekolah. Di sana tempatnya. Anak-anak Indonesia ini bisa mengenal Indonesia. Bisa mengenal riwayat perjalanan Indonesia ini melalui karya sastra. Lebih daripada melalui upacara. Kalau misalnya itu dimasukkan kembali entah dalam kurikulum atau ekstra kurikuler. Entah secara gerilya membangun kelompok baca. Reading group ini kadang bisa jadi lebih efektif daripada kurikulum. Kurikulum ini mensyaratkan ketaatan. Kalau ini kan keikutsertaan. Dua moda yang sangat berbeda. Hanya kalau mengharapkan orang seperti dia (menunjuk) ini kan juga sulit. (Tertawa). Karena lahirnya ada proses yang begitu panjang. Dan kita tidak mungkin mencetak orang mengalami proses itu di mana-mana. Jadi tetap harus ada intervensi aktif. Ya itu tadi melalui jalur pendidikan. Jalur sekolah. Sebab itu memungkinkan. Ya, ada sekolah yang intens. Ada yang tidak. Ada yang menolak. Ada yang tidak. Itu tidak masalah. Soalnya adalah bahwa ruang itu dibuka dulu. Banyak karya sastra yang harus dibaca. Ini pertandingannya bukan soal ideologi ini dan itu. Imbangannya ini banyak orang tua yang mengarahkan pada misalnya matematika. Ya, begitu. 

Apakah Anda memiliki sosok inspiratif? Siapa?
Banyak. Itu masalah saya. Selalu kalau ditanya hal seperti ini bingung. (Terdiam). Mungkin juga terkait cara saya melihat persoalan. Melihat dunia. Saya tumbuh sebagai orang yang tidak terlalu percaya pada obat mujarab. Persoalan kompleks memerlukan keterlibatan dari banyak elemen. Sehingga kalau misalnya mau dikonsolidasi terus menjadi sosok. Tidak akan ketemu-ketemu (tertawa). Bagaimana ini orang seperti ini. Orang yang lengkap seperti ini tidak ada. Memang sebaiknya tidak ada sebab jika ada berakhir juga kemanusiaan dengan munculnya superhuman itu. (Tertawa).

Soal sosok banyak ya. Sosok inspiratif saya tidak jauh-jauh dari kehidupan saya. Orang-orang yang saya kenal. Jarang orang yang jauh dari kehidupan nyata. Orang tua pasti. Pramoedya pasti dengan tulisan-tulisannya. Ada beberapa guru saya sekolah. Waktu kuliah juga. Orang seperti Ong Hok Ham yang mengajar bagaimana caranya membentuk sikap sebagai sejarawan. Itu menarik orang seperti Pak Ong ini. Hidupnya tidak susah namun tidak juga berlebih. Ya, begitu-begitu saja. (Tertawa). Tapi semua yang dia perlukan untuk mengembangkan perjalanannya sebagai sejarawan itu, ada. Itu saya kira, ini nih role model bagi saya. Tidak gampang hidupnya, tidak berlebih, namun tidak kesulitan mendapatkan apa yang diperlukan untuk mengembangkan seginya. Saya kira orang-orang seperti ini yang menginspirasi saya.

Sumber: buruan.co