Beberapa hari lalu ada berita kurang menggembirakan. Kegiatan Bulan Film Nasional yang diprakarsai Komite Film Dewan Kesenian Jakarta dibatalkan karena tidak ada kesepakatan antara panitia dan pengelola Taman Ismail Marzuki soal penggunaan ruang putar Kineforum.

Pengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menganggap kejadian ini hanya satu manifestasi dari sekian banyak masalah terkait tata kelola Taman Ismail Marzuki (TIM). Jantung masalahnya adalah cara pandang terhadap TIM sebagai pusat kesenian sekaligus aset pemerintah yang dibangun dengan investasi besar.

Saya tak ingin membahas kasus TIM secara khusus karena sementara tulisan ini dibuat sudah ada upaya dari pihak DKJ bertemu dengan Pemprov DKI dan mudah-mudahan segera ada kesepakatan di antara para pihak.

Namun, kasus TIM ini bisa menjadi potret masalah tata kelola infrastruktur kebudayaan, seperti gedung pertunjukan, taman budaya, ataupun museum. Apalagi ada rencana besar membangun gedung pertunjukan, museum, galeri, dan fasilitas kebudayaan lain di Ibu Kota Nusantara (IKN), yang pasti akan memerlukan dana yang besar.

Pengembalian investasi

Pembangunan infrastruktur pasti memerlukan biaya besar. Beberapa waktu lalu Presiden Joko Widodo mengatakan, sejak 2014 pemerintah sudah mengeluarkan Rp 3.309 triliun untuk membangun dan memperbaiki ribuan kilometer jalan, ratusan bandara dan pelabuhan, ribuan meter jembatan, jalan desa, embung, irigasi, dan sebagainya. Semuanya itu diarahkan untuk menunjang kegiatan ekonomi yang nantinya berkontribusi pada pendapatan negara. Artinya, pengembalian investasi diperoleh secara tidak langsung dalam jangka panjang.

Dalam pembangunan fasilitas publik dengan dana publik, perhitungan pengembalian investasi (ROI) berbeda dengan perhitungan usaha swasta.

Di samping pengembalian dari pemanfaatan infrastruktur, misalnya dari karcis jalan tol atau retribusi bandara, juga ada perhitungan mengenai dampak sosial dan budaya dari investasi yang dilakukan. Dalam kajian ekonomi, ini dikenal dengan sebutan social return on investment (SROI) dan cultural return on investment (CROI).

Jalan raya, bandara, dan pelabuhan tidak hanya digunakan oleh para pelaku ekonomi. Di jalan raya juga ada ambulans yang membawa orang sakit, bus malam yang mengantar anak menemui orangtuanya setelah lama terpisah, kapal laut yang membawa rombongan mahasiswa untuk program kampus merdeka. Juga pesawat yang mengangkut pembuat film dan peralatan mereka untuk membuat karya yang akan mengangkat Indonesia di pentas internasional. Semua ini mestinya diperhitungkan dalam pengembalian investasi.

Penting bagi kita di sini membuat pembedaan antara keuntungan (profit) dan manfaat (benefit). Investasi yang mungkin lambat menghasilkan keuntungan finansial bisa jadi sangat cepat membawa manfaat sosial.

Saat ini sudah banyak sekali rumusan untuk mengonversi social return dan cultural return secara finansial, dan di beberapa negara perhitungan tersebut sudah menjadi bagian dalam pembuatan kebijakan pembangunan secara umum dan khususnya di bidang pembangunan infrastruktur kebudayaan.

Infrastruktur kebudayaan

Saat ini ada belasan taman budaya milik pemerintah di seluruh Indonesia yang dibangun pada 1980-an. Sebagian di antaranya memerlukan perbaikan, baik dari segi fisik maupun dari segi pengelolaan, program, dan peningkatan sumber daya manusia (SDM). Untuk keperluan itu saja diperkirakan biaya yang diperlukan Rp 20 triliun.

Jika ditambah dengan museum pemerintah yang jumlahnya lebih dari 100, investasinya akan membengkak 3-4 kali jumlah di atas, dan tentunya waktu jadi lebih lama.

Seandainya revitalisasi infrastruktur ini dikerjakan dengan konsisten, diperkirakan rampung dalam lima tahun atau satu masa pemerintahan. Agenda ini sebenarnya pernah dibicarakan pada awal periode kedua Presiden Joko Widodo tetapi terhalang oleh penanganan krisis Covid-19.

Dalam berbagai diskusi soal ini, saya sering berhadapan dengan pertanyaan mengenai manfaat investasi ini, terutama dari segi finansial.

Apakah investasi ini akan mendatangkan keuntungan finansial bagi pengelola aset ataupun pengguna aset, dalam hal ini, pelaku budaya? Jika dasar perhitungan pengembalian investasinya adalah pendapatan dari pengelolaan aset semata, jawabannya adalah tidak. TIM bisa jadi contoh di sini. Revitalisasi TIM menelan biaya Rp 1,4 triliun.

Dengan total kapasitas 2.500 penonton, beberapa ruang pamer, tempat parkir, dan aset lainnya, kecil kemungkinan pengelolaan aset TIM akan mampu mengembalikan investasi sekalipun dengan subsidi. Jika dipaksakan, yang dirugikan tidak lain adalah kegiatan kebudayaan itu sendiri, seperti dalam kasus Bulan Film Nasional.

Oleh karena itu, perhitungan SROI dan CROI sangat penting dipertimbangkan. Di sini kita tidak menghitung pendapatan dari jumlah penonton, tetapi kontribusi kegiatan yang diselenggarakan di TIM atau taman budaya lainnya terhadap peningkatan apresiasi publik, penguatan kohesi sosial dan identitas kultural.

Semua ini pada gilirannya juga akan berkontribusi pada produktivitas, keamanan sosial, kapasitas inovasi, dan kesejahteraan fisik ataupun mental, yang semuanya dapat dikonversi ke dalam nilai finansial.

Pekerjaan rumah bersama

Saat ini infrastruktur kebudayaan kita masih jauh dari memadai, apalagi untuk menghasilkan nilai sosial dan budaya yang bisa berkontribusi pada perekonomian secara umum.

Kita masih punya pekerjaan rumah memperbaiki infrastruktur yang ada, meningkatkan fasilitas dan peralatannya, mulai dari panggung, tata lampu dan tata suara, sampai pada kamar mandi, ruang ganti, dan perkantoran.

Kalau museum masuk dalam rencana, itu berarti perlu peningkatan teknologi untuk pengelolaan koleksi dan sebagainya. Investasi yang tidak kecil.

Namun, yang tidak kalah penting adalah perbaikan sistem manajemen berbagai aset ini dengan SDM yang mumpuni. Kita perlu sistem manajemen yang lebih tangkas dan bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman serta tenaga profesional yang mumpuni untuk fungsi kuratorial, artistik, sistem informasi, penelitian, dan administrasi.

Kita juga perlu perwakilan masyarakat untuk memperkuat sistem pengelolaan yang efektif dan sesuai dengan aspirasi dan harapan masyarakat, khususnya pada pelaku budaya.

Investasi yang menyeluruh ini menuntut kerja keras dari semua pihak. Untuk bidang-bidang yang belum mampu kita tangani sendiri tidak ada salahnya meminta bantuan tenaga ahli dan profesional dari tempat lain.

Perencanaan yang menyeluruh dan berwawasan jauh ke depan tentu sangat esensial, tetapi tidak kalah pentingnya adalah komitmen dari semua pihak yang terlibat dan kesadaran bahwa semua ini adalah usaha bersama, sebuah gotong royong di bidang kebudayaan.

Hilmar Farid, 2023

*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas pada 15 April 2023