Tahun 2011 ditutup dengan berbagai kejadian yang tidak menyenangkan. Di Mesuji, Lampung, polisi menembak mati petani yang memprotes kehadiran perkebunan kelapa sawit di daerah mereka. Tidak lama kemudian di Bima, Nusa Tenggara Barat, polisi menembak mati warga yang menutup pelabuhan Sape karena memprotes pertambangan yang mengancam persediaan air warga. Dua kasus ini tidak terisolasi. Bukan pula kebetulan. Selama tahun 2011 berulangkali terjadi tindak kekerasan semacam itu. Akar masalahnya pun mirip, ketidakpuasan rakyat terhadap pemerintah yang dalam kasus-kasus sengketa selalu berpihak pada kepentingan kapital. Menurut catatan Badan Pertanahan Nasional di seluruh Indonesia ada sekitar tiga ribu kasus yang punya potensi konflik yang sama.

Memasuki abad baru ini Indonesia memang semakin terintegrasi ke dalam sistem kapitalis dunia. Pada pertengahan Desember 2011 para pejabat menyambut gembira bahwa Indonesia masuk ke dalam investment grade, yang berarti akan mendorong lebih banyak penanam modal berdatangan ke Indonesia. Jika melihat pola di atas maka bisa dipastikan juga bahwa konflik akan semakin meluas dan begitu pun peluang terjadinya kekerasan terhadap warga. Bukan itu saja. Bisa dipastikan juga bahwa ketimpangan sosial juga akan menghebat, pembelahan sosial akan semakin diarasakan dan kelas sebagai kategori sosial dan politik akan semakin menonjol juga. Semakin jelas juga bagi publik bahwa kemiskinan dan kesulitan hidup bukan sekadar dampak sosial dari proses yang netral. Di bawah kapitalisme, kemakmuran bagi yang satu hanya mungkin diperoleh dengan kemelaratan dan kemiskinan bagi yang lain.

Tentu ini bukan masalah baru. Sejak zaman kolonial rakyat menghadapi persoalan yang sama juga. Perkebunan yang menjadi tulang punggung ekonomi kolonial bisa tumbuh hanya dengan memaksa petani hidup dalam kemiskinan, sebagai buruh tani, sebagai penggarap yang hidup dengan menjual tenaga. Tanpa itu tentu tidak ada ekonomi perkebunan. Hal sama berlaku di sektor yang lain. Sama halnya seperti sekarang. Ekspansi industri kelapa sawit dengan berbagai turunan produknya – yang fungsinya bagi ekonomi Indonesia mungkin menyerupai fungsi industri gula di masa kolonial – tidak mungkin terjadi tanpa proses pemiskinan yang memaksa orang bekerja untuk industri tersebut. Cerita itu saya dapat dari seorang petani asal Jambi yang ikut menginap di DPR sepanjang Desember lalu. Pola yang sama terulang lagi waktu Orde Baru mulai berkuasa dan membuka paksa ekonomi Indonesia untuk modal internasional pada akhir 1960an.

Saya tidak bermaksud mengulang daftar masalah yang sudah banyak dibuat. Sebaliknya saya bertolak dari pertanyaan penting, bagaimana kita keluar dari keadaan seperti ini? Ini tentu bukan pertanyaan mudah yang bisa dijawab dengan satu tulisan pendek. Tapi saya mulai saja dengan pernyataan yang sederhana, bahwa tidak ada rumus umum untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi Indonesia secara serempak. Indonesia bukanlah sebuah kesatuan alamiah tapi himpunan dari berbagai entitas dengan dinamika yang berbeda-beda. Sedang dalam masyarakat yang cenderung homogen pun perlu dipikirkan strategi yang bisa menjawab berbagai tantangan berbeda, dan bukannya mengabaikan tantangan yang spesifik demi persatuan yang semu. Agenda bersama pada akhirnya adalah himpunan dari berbagai agenda yang spesifik, dan justru di situ letak tantangannya. Saat ini saya kira usaha mencari jalan tunggal – dan penolakan terhadap jalan beragam – sudah sampai taraf menghambat gerak pembebasan itu sendiri.

Untuk melihat jalan keluar yang lain di masa depan, kita tidak bisa bersandar pada kerangka pemahaman dan perangkat kategori yang lama. Jika dirumuskan sebagai pernyataan kedua, maka bunyinya: untuk melihat alternatif bagi masa depan, kita perlu pemahaman alternatif pula. Artinya cara lain melihat masa lalu dan masa sekarang. Kita tidak bisa bertolak dari agregat nasional yang pada dasarnya merupakan himpunan dari unsur yang sangat kompleks. Kita perlu mengenali kompleksitas yang spesifik dan saling hubungannya, sebelum bisa berpikir dalam kerangka yang lebih luas. Kecenderungan untuk berpikir nasional yang menutup mata terhadap perbedaan, keragaman dan kekhususan mesti ditinggalkan.

Kita perlu lebih cerdas melihat kapitalisme. Berbagai teori perkembangan masyarakat yang melihat sejarah melalui tahap-tahap perkembangan – baik versi Stalin maupun Rostow – punya kelemahan yang sama, yakni menganggap semua komunitas manusia akan melalui jalur perkembangan yang sama dan serempak sehingga kalau dikatakan Indonesia sudah  memasuki fase kapitalis, orang akan membayangkan bahwa seluruh wilayah yang diklaim oleh republik berada dalam situasi yang sama. Dari sejarah kita tahu bahwa cara pandang ini salah. Kapitalisme tidak tumbuh merata di seluruh wilayah yang sekarang disebut Indonesia secara serempak. Bahkan Indonesia sebagai sebuah gagasan pun belum ada, dan saya kira itu ada kaitannya dengan fakta bahwa perkembangan masyarakatnya begitu beragam.

Penyelidikan yang lebih teliti memperlihatkan bahwa penetrasi dan ekspansi kapital mencakup jangka waktu yang sangat panjang. Utuy Tatang Sontani dalam Tambera mengisahkan persinggungan kapital Belanda (dan Inggris) dengan penduduk Banda pada abad keenambelas atau 400 tahun sebelum kolonialisme Belanda tiba di Bali misalnya. Di tiap titik pun ekspansi kapital tidak berjalan sama dan melahirkan keadaan khusus yang tidak dapat dengan mudah digeneralisasi. Membicarakan kapitalisme di Indonesia artinya mencakup sekurangnya empat abad perkembangan masyarakat yang tidak mungkin disimpulkan tanpa melakukan reduksi dan penyederhanaan yang sangat. Dan keduanya inilah – reduksi dan penyederhanaan – yang menjadi ganjalan bagi setiap agenda perubahan yang bersifat umum dan punya klaim nasional.

Jika kita melihat sejarah dengan cara begini jelas bahwa kita tidak bisa menerima agregat sejarah nasional begitu saja. Tapi bukan juga berarti bahwa kita tidak mungkin berbicara di tingkat itu sama sekali. Mendiang Sartono Kartodirdjo pernah mengusulkan agar sejarah Indonesia dibagi ke dalam berbagai kawasan yang memiliki kesamaan sejarah dan juga terhubung secara sosial, ekonomi dan politik. Penelitian ke arah ini akan memungkinkan kita memikirkan kompleksitas secara konkret yang nantinya akan mengarah pada pemahaman tentang kesatuan yang lebih bermutu. Hanya dengan begitu kita akan selamat dari tafsir persatuan dan kesatuan yang diberhalakan. Dan dengan begitu kita akan memiliki dasar yang kuat untuk memikirkan agenda perubahan ke depan.

Kata kunci di sini adalah ruang. Selama ini Indonesia diperlakukan sebagai ruang yang satu, yang seolah tak bermasalah dan sudah jelas pada dirinya. Cenderung dilupakan bahwa ruang bernama Indonesia ini juga dibentuk melalui proses yang sangat kompleks. Memang ada momen sejarah yang mempertemukan berbagai kawasan dalam rentang waktu yang sama seperti misalnya kaburnya Belanda pada Maret 1942 ketika Jepang menyerbu masuk dan kemudian menyerah kalahnya Jepang pada Agustus 1945. Semua itu berlangsung serempak di seluruh wilayah yang dikuasai oleh kekuatan kolonial tersebut. Tapi tetap saja pembentukan republik tidak berlangsung serempak. Saat proklamasi dibacakan hanya sedikit saja orang yang tahu bahwa Indonesia sudah merdeka. Diperlukan waktu empat tahun untuk memastikan bahwa proklamasi itu mendapat pengakuan hukum secara internasional.

Setelah merdeka secara formal pun, Republik Indonesia hanya satu dari sekian banyak negara di wilayah Indonesia sekarang. Ada banyak negara lain yang punya kekuatan sama sebagai hasil dari Konferensi Meja Bundar. Diperlukan beberapa bulan lagi untuk menyatukan kekuatan politik di tangan republik, dan itu pun belum sepenuhnya berhasil. Di masa Soekarno pergolakan terus terjadi. Di masa Soeharto, pergolakan berhenti karena kepemimpinan tangan besinya. Di masa sekarang, krisis kembali mendorong sentimen kedaerahan dan kenangan pada masa lalu yang di beberapa tempat berkembang menjadi tuntutan kemerdekaan. Dengan kata lain ruang yang bernama Indonesia tidak pernah dalam keadaan statis tapi terus bergerak mengikuti gerak kapital dan perlawanan terhadapnya.

Jika sejarah bergerak dalam ruang yang spesifik dan beragam, tentunya perubahan juga demikian. Dengan kata lain, perubahan yang lama ditunggu itu sesungguhnya sudah dimulai. Kita tidak lagi menunggu datangnya perubahan maha dahsyat yang akan mengubah segala aspek kehidupan secara serempak. Perubahan itu sudah terjadi dari hari ke hari. Kita melihat di satu daerah ada kepala daerah yang berinisiatif baik dan membawa banyak perubahan. Di kawasan lain ada gerakan sosial yang sudah melakukan bermacam perbaikan. Dan semua itu terjadi setiap hari, tanpa ada agenda nasional yang memayunginya. Sayangnya bermacam perkembangan ini disepelekan karena tidak punya dampak nasional. Atau dianggap tidak signifikan karena tidak mampu merubuhkan kekuasaan kapital dalam semalam.

Hal yang diperlukan sekarang saya kira bukanlah perdebatan tentang bisa-tidaknya sebuah inisiatif menjadi kekuatan perubahan, tapi mendorong sebisa mungkin agar memang perubahan itu menjadi kenyataan. Kita perlu membayangkan Indonesia yang lain, bukan sebagai agregat nasional, tapi sebagai himpunan dari berbagai entitas yang kompleks. Perjuangan untuk mencapai perubahan perlu dipikirkan secara spasial, sebagai pertarungan memperebutkan dan mengubah ruang. Hanya dari sana saya kira agenda perubahan dan transformasi sosial bisa dipikirkan, bukan dari retorika persatuan dan kesatuan, dan bukan juga dari pesimisme posmodernis yang bermuara pada kebungkaman politik (political quietism).

Hilmar Farid, 2012