“Tata bahasa normatif yang tertulis selalu mengandung ‘pilihan’, sebuah orientasi kultural, dan karena itu selalu merupakan tindakan politik kebudayaan nasional. Tentu dapat dibicarakan cara terbaik menghadirkan ‘pilihan’ atau orientasi ini sehingga dapat diterima dengan baik. Ini adalah pembicaraan tentang cara yang paling jitu mencapai tujuan, jelas bahwa ada tujuan yang hendak dicapai, yang memerlukan alat yang pantas dan tepat, dan ini adalah tindakan politik.”

Antonio Gramsci, Catatan Penjara

Kehadiran bahasa Indonesia adalah hasil perjalanan sejarah yang mulus. Dimulai dari bahasa Melayu yang berkembang di wilayah Semenanjung Melayu, Sumatra dan Kalimantan, ia berkembang terus, nyaris tanpa gangguan menuju bentuk akhirnya, yaitu bahasa Indonesia. Itulah kesan umum yang saya tangkap dari sejumlah tulisan tentang sejarah bahasa Indonesia, yang rata-rata ditulis sesudah perang kemerdekaan. Lebih lanjut kerap ditambahkan bahwa bahasa Indonesia — yang ketika itu masih bernama bahasa Melayu — inilah yang menjadi alat perjuangan yang sangat penting bagi bangsa Indonesia, karena dengan begitu dapat menghubungkan begitu banyak entitas kesukuan dalam masyarakat di bawah satu nama, Indonesia.

Ada beberapa hal yang menarik dari garis pemikiran ini. Pertama, dan mungkin paling penting, adalah pandangan bahwa “bangsa” Indonesia yang dibicarakan di situ sudah ada sejak waktu yang lama. Sering dikatakan bahwa bangsa, walau sempat tertekan setelah keluar dari zaman keemasannya di masa Majapahit dan Sriwijaya, kembali menemukan bentuknya di abad 20. Kedua, bahwa bahasa Indonesia pun tidak jauh terbeda perjalanannya. Ia seakan berjalan dalam satu untaian sejarah yang panjang, yang sekalipun coba digagalkan oleh kekuasaan kolonial tetap bertahan, dan kemudian muncul dengan nama baru “bahasa Indonesia”. Kedua hal, bangsa dan bahasa, dengan begitu berjalan bersamaan melintasi waktu dan bertemu — dalam kebanyakan tulisan — pada tanggal 28 Oktober 1028.

Pandangan di atas kira-kira dapat mewakili pandangan sejarah yang resmi sekarang ini, dan – seperti halnya kebanyakan pandangan resmi — hampir-hampir tidak pernah dipersoalkan secara kritis. Pidato-pidato pejabat pemerintah dan juga sejarawan resmi sering hanya memberikan konfirmasi terhadap pandangan tersebut dengan menyoroti aspek tertentu atau periode tertentu, tapi tanpa pernah mempertanyakan kembali kerangka berpikirnya secara menyeluruh.

Tulisan singkat ini akan menelaah hubungan bahasa Indonesia dan nasionalisme. Argumen utamanya adalah bahwa baik bahasa maupun bangsa — sekalipun memiliki akar-akar panjang di dalam sejarah — adalah temuan yang relatif baru. Nasionalisme, atau konsep tentang “bangsa” (dalam pengertian yang modem, yaitu nation) di Indonesia — seperti akan diuraikan di bawah — baru mulai berkambang dalam abad 20, tidak harus seiring dengan kemunculan Budi Utomo tapi pada kurun waktu yang kurang lebih sama. Sekali lagi berbeda dari pandangan sebagian intelektual nasionalis yang idealistik, konsep tentang “bangsa” itu tidak inheren dalam masyarakat. Sebagai satu discourse, ia terus bergerak dan ditentukan keberadaannya oleh pertarungan kekuatan-kekuatan sosial. Bahasa Indonesia — sepakat dengan gagasan Sutan Takdir Alisjahbana, walau dengan penjelasan berbeda — adalah hasil dari nasionalisme Indonesia, atau lebih tepat: konsep tentang “bangsa Indonesia”.(1)

“Rajat Hindia” vs “Kaoem Wang”

Sejak akhir abad XIX Hindia Belanda mengalami perubahan dalam banyak bidang kehidupan. Pemilik modal swasta mulai meluaskan kegiatan ekonomi, yang memerlukan pengembangan infrastruktur, seperti jalan-jalan raya, kereta api, komunikasi dan seterusnya. Negara kolonial sebagai pelindung modal menyadari kebutuhan-kebutuhan baru yang timbul dari perubahan ini. Untuk melengkapi kebutuhan yang diperlukan dalam konsolidasi dan kemudian ekspansi, negara dan pemilik modal Belanda secara serius memperhatikan kehidupan sosial masyarakat, seperti kesehatan, dan terutama pendidikan. Dalam beberapa tahun saja sekolah-sekolah pemerintah mencetak bumiputra terpelajar, yang langsung saja mengisi lowongan-lowongan yang memang sudah disediakan bagi mereka. Mereka adalah priyayi pemerintah dan orang particulier yang membentuk lapisan tengah di Hindia Belanda. Pengalaman bersama di sekolah terutama memberikan kesempatan bagi mereka untuk membayangkan diri sebagai satu komunitas.(2)

Sejak akhir abad XIX, di Hindia Belanda berkembang aktivitas penerbitan, yang awalnya dikendalikan oleh orang-orang Tionghoa peranakan dan Indo-Eropa. Para priyayi pemerintah dan orang particulier dengan cepat melibatkan diri dalam aktivitas ini, dan pada awal abad XX, sudah mulai menjalankan penerbitannya sendiri. Melalui penerbitan ini mereka mulai mengungkapkan dan membaca gagasan tentang adanya “komunitas” yang lebih luas dari ikatan-ikatan yang selama ini mereka kenal.

Dengan berbagai variasi, konsep “bangsa” pun dicetuskan. Budi Utomo bagaimanapun memang contoh yang menarik dari masa awal pembentukan konsep “bangsa”. Berangkat dari kritik terhadap pemerintah, bumiputra berpendidikan merumuskan konsep “bangsa”, yang bersandar pada kepentingan kekuatan tertentu dalam masyarakat. Tidak adanya dukungan luas dari rakyat, paling tidak memperlihatkan bahwa banyak kepentingan lain yang tidak terwakili. Ini bukan hanya karena kelemahan organisasi dan sikap yang elitis dari para pemimpinnya, tapi terutama karena konsep “bangsa” yang dikedepankan. Di masa selanjutnya, nasionalisme ini terus bergerak maju, melampaui batas-batas etnik dan berkembang menjadi nasionalisme Hindia. Hal ini bisa dilihat dari judul-judul terbitan berkala saat itu, seperti Hindia Bergerak, Sinar Hindia, Oetoesan Hindia, Persatoean Hindia dan sebagainya. Pada masa awal ini identitas nasional dibangun terutama karena adanya kepentingan bersama yang menghadapi kepentingan kolonial. Ikatan historis sebagai “bangsa” — yang memang tidak pernah coba dibangun pada masa ini — tidak terungkap, apalagi identitas berdasarkan bahasa. Seperti diuraikan oleh kutipan berikut:

“Boekti mana kita sring menjelidiki, keadaannja Boemipoetra jang bekerdja ditempat perceel koffie tembacco; dan fabriek. Djoega tempat meneer dan babah kapitalisten, amat rendah sekali bajarannja, tiada sembabat dengan soesah pajahnja. Adoehi Toean, oentoek marika itoe moelain bekerdja sebeloemnja mata hari terbit di moeka boemi, hingga silam poela di boemi, hanja dapat bajaran 20 cent atau paling banjak 3 ketip, apa bila mendapat kesala­han sedikit, teledor, hingga bikin roeginja toean wang, tiada ampoen bajarannja di potong sebagian,ada djoega jang tiada di brinja oepah sama sekali, paling tjilaka trima bagian tendang atau amboek, sebagai binatang kerbouw, sampi dan koeda jang selagi tarik pedati…”(3)

Konsep “boemipoetra” yang berhadapan dengan “meneer dan babah kapitalisten” kiranya bisa menjelaskan watak nasionalisme pada tahap ini. Teks ini langsung mengacu kepada satu persoalan mendasar dalam kapitalisme, yaitu antara butuh yang dibayar murah atau tidak dibayar berhadapan dengan ‘toean wang’: atau kapitalis. Nasionalisme Hindia pada tahap ini berbicara tertang kemajuan bangsa secara umum. Dalam teks itu masih juga terlihat bagaimana “kita” (“jang sring menjelidiki”) melihat “marika” (“jang bekerdja”). Bagaimanapun, pembedaan ini — jika dibandingkan dengan teks-teks di masa sesudahnya — mempertegas analisis bahwa konsep tentang “bangsa” pertama tumbuh di kalangan bumiputra terpelajar. Baru kemudian konsep ini pun berkembang di kalangan rakyat, dengan pengertian yang tidak selalu sama. Dalam konteks kapitalisme kolonial, kemajuan sering diartikan sebagai kehidupan yang lebih baik. Pengaruh Politik Etis mungkin masih terasa ketika kemajuan ini diharapkan datang tanpa perlu bertentangan dengan pemerintah kolonial.(4)

Gagasan ini kemudian mulai bergeser ketika ide-ide sosialisme makin luas perkembangannya pada akhir dekade kedua abad ini. Kemajuan diganti oleh demokrasi dari sama rata sama rasa. Hal ini terjadi seiring dengan makin berkembangnya gerakan buruh di Hindia Belanda. Sejak 1918 tanah jajahan terus diguncang oleh rangkaian pemogokan dan pertumbuhan serikat-serikat buruh yang makin besar. Namun ini tidak berarti bahwa teks ini mengungkapkan pemikiran sosialis yang ketat — apalagi mengingat fakta bahwa pada tahun 1914 saat tulisan ini dimuat, ISDV yaitu pelopor gagasan sosialisme di Hindia Belanda masih terbatas sebagai lingkaran diskusi sejumlah orang Belanda saja. “Bangsa” pada tahap ini dibangun atas dasar perbedaan kepentingan, yang dengan penerjemahan beberapa gagasan sosialis, diolah menjadi kepentingan “rakyat” di satu pihak dan “kapitalis” di pihak lain. Sekadar contoh:

“Sedangnja rajat Hindia semangkin lama semangkin miskin, besar ketjil dari bangsa Boemipoetera golongan prijaji dan rajat semangkin riboet-idoepnja, sedang sebaliknya kaoem oeang soedah bisa selaloe menoempoek kekajaan dengan tida dipergoenakan boeat keperloeannja manoesia, sedangnja hal itoe mengeraskan djalan kemadjoean gerakan Hindia sebagai SI dan memasakkan tjita-tjita Bolsewiek diantara banjak orang dari rajat…”?(5)

Perkembangan selanjutnya makin memperkuat konsep “bangsa” atau “rajat” Hindia yang berjuang melawan kapitalisme. “Kaoem oeang” kerap dipertukarkan dengan “kapitalisten” yang menandai pengaruh gagasan sosialisme atau “tjita tjita Bolsewiek” di dalamnya. Nasionalisme atau konsep tentang “bangsa!” yang tumbuh pada masa ini memang berwatak kerakyatan. Kalangan intelektual yang semula berada dalam posisi memandang “mereka” (rakyat) dari luar sekarang dituntut untuk langsung terlibat dalam politik pergerakan, bukan lagi sebagai pengamat atau pembela tetapi sebagai pemimpin “bangsa”. Dorongan tuntutan ini di satu pihak membentuk intelektual dari kalangan buruh sendiri seperti Semaun, dan di piliak lain menyingkirkan orang sekolahan yang menolak atau lebih tepat memiliki banyak hambatan untuk melibatkan dirinya dalam radikalisme rakyat.(6)

Betapapun kuatnya pengaruh gagasan sosialisme di dalam pergerakan, konsep tentang “bangsa” atau “rajat” tidak dapat diganti begitu saja oleh prinsip-prinsip sosialisme yang menempatkan proletariat sebagai ujung tombak. Saat “mereka’ atau negara kolonial dan kapitalisme sudah ditentukan sebagai lawan, maka timbul persoalan internal untuk menentukan siapa yang menjadi “kita”. Dalam kurun yang kurang lebih sama, gagasan Islam juga memainkan peranan dalam membentuk konsep “bangsa”. Watak internasional dari Islam sampai pada kualifikasi “anti-kapitalisme” tidak jadi persoalan. Tjokroaminoto — salah satu tokoh Sarekat Islam saat itu kerap berbicara tentang “zondig kapitalisme” dan Haji
Misbach sampai akhir keterlibatannya dalam pergerakan
masih terus berbicara tentang ikatan yang tidak mungkin
dilepaskan antara Islam dan komunisme.(7)

Radikalisme gerakan buruh yang pada kurun 1918-1923 mendominasi politik pergerakan ditanggapi dengan tindasan oleh pemerintah kolonial. Menyusul pemogokan buruh kereta api seluruh Jawa pada 1923, penguasa menangkap dan memenjarakan para pemimpin, mengadakan penggeledahan di kantor-kantor serikat, mengganggu pertemuan-pertemuan dan juga melakukan tindakan provokasi seperti pelemparan bom dan sebagainya. Tindakan pemerintah ini berpengaruh pada pergerakan, karena resiko yang harus ditanggung semakin lama semakin besar. Pemogokan kini bisa berarti hlangnya pekerjaan, karena pemilik perusahaan bekerja sama dengan negara dengan cepat mencari ganti tenaga kerja untuk perusahaan yang sedang dilanda pemogokan. Buruh yang dipecat pun dicantumkan dalam daftar sehingga sulit mendapatkan pekerjaan di masa selanjutnya.(8) Melalui para intelektual gerakan ini — yang sebagian berasal diri kalangan buruh sendiri seperti Winanta dan Semaun — memasukkan gagasan demokrasi politik dan demokrasi sosial
masuk ke dalam pergerakan. Hal ini memperkuat kualifikasi konsep “bangsa” dari zaman sebelumnya yang
anti-kolonial.

Tindasan pemerintah menimbulkan proses seleksi dalam pergerakan. Banyak serikat buruh yang kemudian mundur dari aktivitas politik, dan tidak pernah muncul sampai padi akhir kekuasaan kolonial. Panggung pergerakan kini dihuni oleh para “satria sedjati” yang “berani berkata benar”, umumnya anggota Sarekat Rakyat dan PKI. Dominasi mereka dengan sendirinya sekali lagi menggeser konsep “bangsa”. Persoalan mulai timbul ketika sebagian aktivis menekankan konsep “proletar” ke dalam pergerakan, yang jelas berbeda dengan “bangsa” walau sama-sama “anti-kapitalis”. Seperti diungkapkan kutipan terikut:

“Perserikatan Kommunist India bermaksoed
menghimpoen kaoem proletar dan kaoem tani di
India dalam satu perserekatan poliriek jang meadika, dengen tida memandang
bangsa atau igama. Dengen
perserekatan politiek jang
mardika PKI di Hindia akan
mengembangken dan memimpin perlawanan kaoem boeroeh terhadep kaoem kapitaal jang berkoeasa itoe. Dari adanja perlawanan seroepa ini maka pertentangan internationaal, jaitoe pertentangan di seloeroeh doenia, antara kapitaal dan perboeroehan djadi tambah sentausanja. Oesaha ini jaitoelah oesaha jang sempoerna sendiri bagi Rajat bekerdja disini oentoek mereboet kemerdikaannja, lain djalan tida ada”.(9)

Gagasan tentang perjuangan proletariat “tanpa memandang bangsa dan agama” pada saat itu seakan berdiri di luar pagar. Kelas buruh industri yang kecil jelas tidak dapat menopang seluruh pemikiran dan aktivitas pergerakan “bangsa” yang sekalipun sama-sama berwatak anti-kapitalis tapi terdiri dari berbagai kelas dan lapisan. Garis proletar yang dalam teori memang berwatak internasional menimbulkan persoalan besar bagi pergerakan yang saat itu sudah berada di bawah kendali organisasi kiri. Dibentuknya Sarekat Rakyat yang beranggotakan petani makin mempertajam masalah kelas dan massa. Dengan perdebatan yang tidak selesai ini pergerakan menghadapi tangan besi pemerintah kolonial pada 1926 dan menemui ajalnya di sana.

Akibat-akibat dari pemberontakan yang gagal itu membawa pengaruh yang mendalam terhadap kelangsungan pergerakan. Sejumlah besar orang yang paling aktif ditangkap dan dibuang ke Boven Digoel atau disekap di penjara-penjara yang tersebar di seluruh Hindia Belanda. Sebagian besar dari mereka jika tidak mati di sana, tidak pernah kembali ke daerah asalnya sampai perang kemerdekaan.

Bahasa sampai titik ini tidak pernah dipersoalkan benar, apalagi dihubungkan dengan keberadaan “bangsa”. Orang pergerakan semata melihatnya sebagai satu alat menyampaikan pikiran. Umumnya mereka bicara dalam bahasa Melayu Rendah yang dipakai dalam hampir semua suratkabar pergerakan saat itu. Hal yang menarik untuk dicatat adalah perbedaan di dalam bahasa Melayu sendiri, yakni antara bahasa Melayu Tinggi dan Melayu Rendah.(10)

Dalam pandangan saya, bahasa Melayu Tinggi yang disusun oleh hasil penelitian C.A. van Ophuijsen pada dasarnya mewakili satu perangkat gagasan tertentu. Pertama, pemerintah kolonial secara resmi “mengangkat” bahasa Melayu Tinggi menjadi sebuah “bahasa” dalam pengertian language. Dengan menyusun tata bahasa dan juga membuat kamus yang membuat “bahasa” tersebut dapat diterjemahkan, pemerintah kolonial sesungguhnya — sadar atau tidak — memasukkan peradaban di tanah jajahan dalam tata pandang universalis Barat.(11) Kedua, setiap penyusunan tata bahasa pada dasarnya adalah sebuah dokumen sejarah, potret dari tahap tertentu dari perkembangan bahasa, yang terbentuk secara historis dan terus bergerak. Pandangan tentang sejarah ini, bagaimanapun disusun dari posisi tertentu, yang bisa saja kelas, kelompok atau lainnya, dan dalam konteks pembicaraan ini adalah penguasa kolonial. Penyusunan tata bahasa ini tidak mungkin dilakukan tanpa penyingkiran sebagian orang atau kelas tertentu dari penggunaannya. Bahasa menjadi sesuatu yang harus dipelajari lebih dulu. Dalam konteks Hindia Belanda, ini artinya bahwa dunia yang diwakili oleh bahasa Melayu Tinggi ini — pemerintahan, birokrasi kolonial, dunia modem menurut pandangan kolonial dan seterusnya — tidak dapat diakses kecuali mereka mempelajari tata baliasa ini, yang juga bisa berarti menerima atau paling tidak masuk dalam perspektif kolonial ini.

Para pemikir kolonial tidak henti-hentinya mencea bahasa Melayu rendah yang berkembang di kalangan rakyat dan penerbitan swasta milik orang-orang Tionghoa Peranakan dan Indo Eropa sebagai ‘bukan bahasa”, dan karenanya tidak patut digunakan. Bagaimanapun, bahasa Melayu rendah ini tetap digunakan oleh kebanyakan rakyat. Karena tidak adanya tata bahasa yang jelas, maka bahasa ini terus menerus diperkaya oleh kekuatan-kekuatan   sosial   yang memakainya. Menggunakan analogi Ben Anderson yang melihat bahasa Indonesia di masa   Orde   Baru   seakan bertopeng — bertulang Indonesia   tapi   berdaging semakin Jawa — maka dalam Melayu rendah yang digunakan orang pergerakan pemandangannya sungguh terbalik, seperti diungkapkan uraian berikut:

“Kasihan betoel jang kena perkataan itoe! Siapakah kiranya itoe? Si Djilat Pantat. Djilat pantai itoe doea perkataan djilat + pantat. Djilat = mengesoetkan lidah, pantat – je weet wel. Brrrr, afschuwelijk, he! Akan tetapi ada banjak sekali orang soeka mengerdjaken dia, boeat bangsa Djawa, jang paling banjak: Prijaji. Lain bangsa ampir semoea orang taoe, jang Prijaji-Djawa, ada banjak jang soeka likken. Dari itoe maka njata sekali, jang sebagian besar dari bangsa kita beloem taoe adjinja (de waarde) bekerdja soenggoeh2, ataupoen tidak atau koerang pertjaja kepada pekerdjaan diri sendiri, sebab mereka itoe harganya pekerdjaan diri sendiri, moesti maloe mendjilat-djilat begitoe”.(12)

Bahasa Melayu Rendah yang terus digunakan dalam pergerakan secara mudah mengambil istilah-istilah baru seperti partij, vergadering, actie, dan lainnya serta mengolah kata-kata lama yang memiliki kandungan politik seperti ra’jat, mogok dan seterusnya. Semua orang berwenang untuk menentukan pembentukan bahasa — tergantung keterlibatannya dalam aktivitas politik dan sedikit dibatasi oleh aksesnya terhadap barang cetakan. Ini menceminkan tataran yang demokratis.

Uraian di atas memperlihatkan bagaimana identifikasi sebagai “bangsa” pada awalnya dibangun oleh kepentingan yang sama dan bukan oleh kriteria perbedaan etnisitas, apalagi bahasa semata. Pemahaman diri sebagai “bangsa” tumpang tindih dengan identifikasi lainnya, dan jauh duri seragam. Kita juga melihat betapa konsep tentang “bangsa” (nasionalisme) ini senantiasa bergeser mengikuti perubahan dalam kehidupan sosial dan politik.

 Jalan ke Keterasingan

Pemberontakan bersenjata yang menentang kekuasaan kolonial dengan cepat diatasi oleh pemerintah kolonial. Di kalangan pejabat pemerintah sendiri terjadi perdebatan sengit ketika sebagian mereka menganggap pemberontakan ini sebagal buah dari Politik Etis — yang memang ramai diperdebatkan saat dicanangkan. Orang-orang yang dianggap terlibat dalam peristiwa itu ditangkap dan dibuang ke Boven Digul, kamp konsentrasi pertama yang terletak di wilayah Nieuw-Guinea Selatan. Beberapa dihukum mati di depan umum dan sejumlah besar lainnya — yang ditangkap saat itu mencapai kira-kira 13.000 orang — ditempatkan dalam berbagai penjara yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara. Jumlah suratkabar dan terbitan berkala lainnya berkurang drastis, terutama karena tindasan penguasa tapi juga karena menghilangnya sebagian besar jurnalis dan juga bubarnya organisasi yang menjadi tiang penyangganya.

Keadian ini ditambah lagi dengan bertambah kuatnya cengkeraman penguasa kolonial. Pemerintah mengaktifkan kembali dinas pengawasan politiknya yang secara rutin melaporkan semua bentuk aktivitas anti pemerintah — baik yang sungguh terjadi maupun yang direka-reka oleh petugasnya — dan mengambil tindakan keras jika dianggap menganggu “keamanan dan ketertiban”. Sejumlah tokoh Partai Nasional Indonesia segera menyusul ke Boven Digoe dalam beberapa tahun setelah pemberontakan. Orang pergerakan semakin merasakan hambatan dalam bergerak dan semakin terkungkung di bawah negara polisi.(13)

Ketika de Jonge menjad gubernur jendral, keadaan makin sulit bagi orang pergerakan. Dengan politik yang sangat reaksioner ia mengeluarkan aturan-aturan, yang secara singkat bisa dibilang bukan hanya membatasi tapi juga menyeret ruang gerak bagi aktivitas politik langsung di bawah pengawasan penguasa.(14)

Perubahan ini tentu berpengaruh bagi kelanjutan politik pergerakan. Di atas reruntuhan radikalisme rakyat yang berakhir dengan pemberontakan muncul orang-orang baru dalam kehidupan politik. Dari biografi mereka dapat dilihat bahwa kebanyakan berasal dari kalangan priyayi, guru, pegawai pemerintah atau singkatnya lapisan tengah dalam masyarakat Hindia Belanda. Mereka umumnya mengalami pendidikan Eropa, kecuali beberapa pemimpin PSII yang berlatarbelakang pesantren.(15) Melalui pendidikan mereka memiliki akses kepada konsep-konsep “bangsa” (nasionalisme) Eropa atau Barat yang saat itu sudah mencapai bentuk yang kokoh.

Dari segi bahasa, kelompok ini mengandung sejumlah karakteristik penting, dan perlu juga untuk diuraikan di sini. Dengan bahasa Belanda sebagai inner-laguage mereka bisa mengenali tata kolonial dan dunia modern. Gagasan-gagasan tentang kolonialisme, imperialisme, sosialisme dan juga nasionalisme mulai beredar di kalangan ini. Sebagai inlander yang bagaimanapun pandainya tidak akan dapat sepenuhnya diterima dalam dunia kolonial, kelompok terpelajar ini mengalami dualisme. Kondisi inilah yang melahirkan orang-orang seperti Tjipto yang selalu mengedepankan gagasan nasionalisme Hindia tapi hanya dalam bahasa Belanda atau Soetatmo yang begitu begitu yakin dengan kerangka “bangsa” yang Barat tapi berdaging Jawa. Mereka ini pada umumnya sangat kritis terhadap kekuasaan kolonial yang kerap diungkapkan dengan terminologi Marxis. Pengertian mereka tentang kekuasaan, politik, negara dan sebagainya dibangun di bangku sekolah — beberapa di antaranya juga pergi belajar di Belanda — sehingga bukan sesuatu yang aneh kalau dalam politik lebih mudah mengungkapkan gagasan kepada musuh Belandanya ketimbang massa rakyat.(16)

Aktivitas politik yang makin menurun, tindasan penguasa kolonial yang makin hebat, bergantinya (tipe) orang-orang yang terlibat dalam kehidupan politik — satu rangkaian perubahan yang saling berkait — menyediakan basis bagi pergeseran konsep “bangsa”. Identifikasi “bangsa” yang dibangun dari persamaan kepentingan seperti di masa sebelumnya sekalipun tidak mati tapi berkurang pengaruhnya dalam proses pertarungan gagasan. Aktivis politik saat itu mulai mencari ikatan-ikatan baru yang membuat mereka menjadi “bangsa”- Konsep itu dengan memiliki elemen-elemen baru di dalamnya, dan dengan begitu pendengar dan pembaca yang berbeda pula.

Konsentrasi diri arus pemikiran baru ini, di samping sekian banyak variasi konsep tentang “bangsa”, paling mudah ditemukan dalam Sumpali Pemuda.(17) Bagi orang sekolahan—yang mendominasi pemikiran tentang “bangsa” pada kurun ini—wilayah yang mungkin dibayangkan sebagai tempat tinggal “bangsa” tidak lain dari wilayah kekuasaan Hindia Belanda. Bangsa dan bahasa hanya dapat dimengerti dalam kesalinghubungannya dan posisinya dalam “tanah air” di atas. Sumpah itu menggambarkan bahwa hangsa tidak dapat dipisahkan dari bahasa. Maka wajar kalau timbul juga kebutuhan bagi para pemikirnya untuk mencari satu bahasa yang ideal untuk memenuhi kerangka tersebut.

Seperti diketahui bahwa bahasa yang dicari itu kemudian dikenal sebagai bahasa Indonesia. Beberapa penulis menyebutkan bahwa proses pengalihan bahasa Melayu ke bahasa Indonesia memiliki arti penting secara politik.(18) Terlepas dari berbagai perbedaan spesifik, pada umumnya para penulis ini sepakat bahwa pilihan terhadap “bahasa Indonesia” bukan dilandasi pada perbedaan dalam struktur maupun perbendaharaan bahasa, tapi semata karena cita-cita persatuan politik.

Saya pun sepakat dengan pernyataan itu. Tapi ada tiga hal yang perlu dipertanyakan di sini agar bisa memahami proses pengalihan ini secara baik. Pertama, mengapa “bahasa Indonesia? Jawaban bahwa semata-mata karena cita-cita persatuan politik patut dipertanyakan lebih jauh, mengingat Sumpah Pemuda hanya diliput oleh suratkabar nasionalis yang tidak banyak jumlah dan pembacanya. Pada saat Partai Nasional Indonesia tumbuh menjadi besar dan mendapat dukungan luas, persoalan bahasa pun belum menjadi persoalan penting. Seperti dikatakan basis bagi pergeseran konsep “bangsa” dengan rakyat yang diwakili konsep tersebut. Salah satu yang terpenting adalah menghilangnya organisasi-organisasi yang menjadi tali penghubung antara pemimpin dan pembentukan konsep “bangsa” dengan rakyat yang diwakili konsep tersebut. Dengan menguatnya tindasan penguasa, jurang antara “bangsa” dengan rakyat yang diwakili konsep tersebut semakin lebar. Dari sini — tanpa berusaha mencurigai “keinginan luhur” dari para pemimpin pergerakan saat itu — muncul pertanyaan kedua, jika rakyat saat itu relatif tidak memiliki akses terhadap pembentukan “bangsa” dan juga “bahasa”, kepentingan apa yang ada untuk mencetuskan konsep “bangsa” yang “berbahasa”? Jadi berbeda dengan mitologi nasionalis yang selalu bercerita tentang “semangat menggelora akan persatuan”, saya melihat bahwa cita-cita persatuan ini tidak ditimpakan kepada “bangsa” yang diangkat ke permukaan bersama-sama “bahasanya”. Jika tidak untuk kepentingan “bangsa” lalu untuk kepentingan apa? Inilah pertanyaan kedua yang sangat penting. Dan terakhir, dari mana kepentingan ini muncul, atau paling tidak berakar?

Penelitian yang lebih mendalam masih diperlukan untuk menjawab pertanyaan di atas, atau untuk merumuskannya lebih baik. Usaha awal bisa dimulai dengan membandingkan perjalanan nasionalisme pada tahap ini dengan apa yang terjadi di belahan-belahan dunia lainnya.

Dalam perjalanan sejarah nasionalisme, masalah bahasa tidak muncul sejak awal, dan bahkan di negara-negara Eropa persoalan itu belum muncul sampai pertengahan abad XIX, dan di beberapa tempat lebih lambat lagi.(19) Bahasa nasional dalam hampir setiap bangunan yang semi artifisial dan untuk beberapa kasus, seperti bahasa Ibrani modern, bahkan diciptakan (invented). Pilihan kepada satu bahasa tertentu yang hidup dalam masyarakat atau pilihan untuk membentuk bahasa yang baru niscaya bersifat politis, atau paling tidak memiliki implikasi politik. Sejarah “bahasa nasional” menjadi menarik karena liampir di setiap tempat — dengan perkecualian, misalnya Cina — bahasa yang diberikan predikat “nasional” tidak banyak digunakan dalam masyarakat, kecuali untuk sebagian orang yang berkuasa atau memiliki kekuatan politik tertentu, dan tentunya tidak buta huruf.(20) Dari sini cukup jelas bahwa selain bagi para penguasa dan lebih penting lagi yang melek huruf, bahasa tidak terlalu jadi soal sebagai pelengkap identitas kebangsaan.

Perhatian besar terhadap bahasa, yang di beberapa tempat tumpang tindih dengan masalah etnisitas, tidak begitu kentara di kalangan borjuis atau aristokrat. Borjuasi dan terutama aristokrasi Belanda sampai saat inipun masih menganggap bahasa Prancis sebagai perbendaharaan penting bagi mereka, tanpa perlu merasa kehilangan ciri kebanggaannya. Hal yang sama berlaku bagi buruh maupun petani, yang karena kebanyakan buta huruf tidak memiliki akses dalam perdebatan tentang bahasa nasional yang selalu tertulis, justru kehadiran bahasa nasional ini membuat mereka makin menyadari ketidakberdayaan sebagai satu kelas, karena bahasa nasional (tulisan) makin menjauhkan mereka dari urusan kekuasaan, negara dan seterusnya. Dalam sejarah terlihat bahwa lapisan menengah berpendidikan paling giat memperjuangkan bahasa sebagai bagian penting dari identitas bangsa.(21) Terlepas dari perbedaan-perbedaan spesifik yang ada, nasionalisme dalam kurun ini yang salah satu cirinya adalah usaha mencari hubungan identik antara “bangsa” dan “bahasa” memiliki kesamaan dalam menolak gerakan sosialis yang tumbuh di berbagai negara: bukan hanya karena mereka proletar tapi juga karena mereka secara sadar — dan sangat memperlihatkan bahwa mereka sadar — bersifat internasionalis, atau paling tidak non-nasionalis.

Bagaimanapun, mencoba memproyeksikan pengalaman sejarah di atas ke dalam sejarah Indonesia tentunya keliru. Hal yang cukup jelas adalah persoalan penetapan “bahasa Indonesia” ini bukan untuk mengatasi masalah komunikasi, mengingat sebagian besar suratkabar dan bentuk terbitan menggunakan bahasa Melayu yang pada saat yang sama melakukan konsolidasi terhadap bahasa ini, dan membuatnya tampak permanen. Juga tidak sepenuhnya benar bahwa bahasa nasional hanya mewakili kepentingan intelektual yang tinggal di perkotaan saja. Atau dengan kata lain tidak benar bahwa bahasa Melayu sama sekali tidak relevan bagi penetapan bahasa Indonesia. Beberapa sarjana mengatakan bahwa pengalihan itu hanya masalah waktu saja. Tetapi siapa yang menetapkan bahwa “inilah saatnya”, dan kenapa? Pengalaman nasionalisme dari berbagai tempat di atas paling tidak bisa menjelaskan bahwa bahasa nasional adalah persoalan kekuasaan, status, politik dan ideologi. Hal lain yang tidak dapat ditolak adalah bahwa penyeragaman atau standarisasi bahasa nasional juga melibatkan penundukan, penyingkiran dan pembedaan dalam pembentukannya. Dan ini tentunya memiliki implikasi politik.

Di Hindia Belanda sementara itu — sesuai dengan para sejarawan dan penulis nasionalis — konsep “bangsa Indonesia” mulai mendapat tempat sebagai satu gagasan tentang ‘bangsa” yang berbeda dan mungkin juga bertentangan dengan gagasan lainnya. Gagasan tentang “bangsa” yang satu tanah air bukan sesuatu yang sama sekali baru, karena pada akhir dekade kedua abad ini Indische Partij dengan tokoh-tokohnya, Tjipto Mangunkusnmo, Douwes Dekker dan Suwardi, sudah mengembangkan “nasionalisme Hindia” sebagai lawan dari “nasionalisme Jawa”. Sekalipun tidak dominan dalam masa 1920-an, keduanya memberikan sumbangan cukup besar dalam berpikir tentang “bangsa”.(22)

‘Nasionalisme Jawa” dalam hal ini adalah kasus yang menarik. Dengan menghubungkan diri kepada “sejarah Jawa” dan berbagai elemen seperti bahasa, musik dan sebagainya, para pemikir ini dengan cepat dapat memberikan isi kepada kerangka “bangsa” yang mereka pelajari di sekolah-sekolah. Sampai di tingkat gagasan, konsep “bangsa” itu masih bisa diterima, tapi persoalan mulai muncul ketika gagasan ini harus digerakkan dalam kehidupan politik, proses tarik menarik yang penuh pertentangan dalam membentuk konsep “bangsa Jawa” dapat dilihat dengan jernih dalam gerakan Jawa Dipa. Gerakan ini mengadopsi konsep “bangsa Jawa” dalam tulisan-tulisan para pemimpinnya, dan berulangkali merujuk ke masa lalu Jawa yang “gemilang”. Namun, tindakan mereka untuk hanya menggunakan bahasa Jawa ngoko — yang juga berarti memperluas kesempatan bagi rakyat untuk membentuk konsep “bangsa” — segera memperlihatkan perbedaan besar dengan “bangsa Jawa” a la Soetatmo. Lebih jauh mereka mengatakan bahwa perjuangannya diutamakan untuk “kaoem boeroeh dan ra’jat”.(23) Ini menunjukkan pengaruh gerakan kerakyatan saat itu

Nasionalisme Hindia dari Tjipto dan Indische Partij juga terungkap dalam kerangka “bangsa” yang mereka kenal di sekolah.(24) Dalam salah satu tulisannya tentang nasionalisme, Tjipto menguraikan perjalanan “Hindia” yang niscaya akan mengakui “bangsa-bangsa” Jerman dan Italia, Orang Jawa dikatakannya akan secara bertahap dipaksa meninggalkan adat istiadatnya dan menerima kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di kalangan bangsa lain. Di sini kita melihat kerangka “bangsa” yang dipelajari di sekolah-sekolah (Eropa) dengan kulit Bumiputra.

Di atas sudah dikemukakan bahwa bahasa tidak menjadi soal dalam proses pembentukan “bangsa” di tahun 1920-an. Jika kita belum mungkin menjelaskan secara eksplisit kepentingan apa yang ada pada pemasukan bahasa sebagai kriteria “bangsa”, paling tidak akar bangunan “bangsa” yang membutuhkan “bahasa” sudah bisa dilihat. Nasionalisme di sekitar saat Sumpah Pemuda sebenarnya sudah menolak “isi” nasionalisme Hindia dari jaman sebelumnya yang mereka anggap diilhami Belanda, tapi kerangka bangunannya banyak kemiripan, kalau tidak dapat dibilang sama.

Konsep “bangsa” dan “bahasa” kemudian coba dijalankan dalam kehidupan, dan menghadapi kesulitan besar. “Bangsa” yang terbentuk saat itu tentu tidak begitu saja mendapatkan atau menjalankan apa yang diinginkannya, karena tidak memiliki kekuasaan cukup untuk itu. Bersamaan dengan berhamburannya keinginan memajukan kehidupan “bangsa”, tindasan pemerintah kolonial makin menjadi-jadi. Aksi massa dan mobilisasi politik juga makin menurun intensitasnya. Program partai dan rencana besar yang dirancang oleh partai-partai dengan begitu kehilangan kekuatannya, terutama karena para pemimpin gagal menyampaikannya kepada rakyat. Di tahun 1920-an seperti kita lihat di atas, pengertian “kapitalist” dan “boeroeh” atau “ra’jat” masuk melalui praktek politik seperti aksi massa, pemogokan dan seterusnya. Persoalan bahasa kemudian timbul kembali — tapi kali ini bukan dalam konteks “bangsa” dan “bahasa.

Sementara itu terjadi perbedaan pendapat juga di kalangan pemimpin di seputar masalah organisasi. Kritik dibalas kritik, frustrasi karena tindasan pemerintah kemudian melahirkan perpecahan di tingkat pemimpin. PNI dibubarkan, sebagian anggotanya membentuk Partindo dan sebagian lainnya tidak lama setelah itu membentuk PNI-Baru. Konsep “bangsa” terus bergerak, berpencaran ke berbagai arah, membentuk sejumlah besar konsep baru yang terus berpengaruh di masa selanjutnya. Di Jawa satu partai politik yang dalam pengamatan saya sangat mewakili konsep “bangsa” yang tumbuh di masa ini adalah Partai Indonesia Raya pimpinan Soetomo. Bersama Partindo, partai ini bisa dibilang mendominasi kehidupan politik menjelang pendudukan Jepang.(25)

Konsep-konsep dari masa sebelumnya tentang bangsa” yang berangkat dari kepentingan sama berhadapan dengan imperialisme masih dipertahankan. Dalam konteks 1930-an ia berarung dengan sejumlah konsep lain dalam membentuk “bangsa” seperti diungkapkan oleh kutipan berikut:

“Di lapang pergerakan Indonesia pada djamannja “kenasionalan” mendjadi pangkal ini, azas: kebanggaan diertikan matjam-matjam djoega.

“Ada nasionaisme Cultuur, dianggapnja dapat membangoenkan keinsjafan ra’jat Indonesia dengan membangoenkan ketjintaan kepada cultuur bangsa, kepada Borobudur, kepada djaman feodal Modjopahit dst. Paling aneh ke Boedaan, nasionalisme kemenjan.

Ada nasionalisme Darah jang sempit dan tidak boleh djadi mahoe mengedjar Indonesia Merdeka, karena kita sebagai bangsa Indonesia terdjadjah oleh bangsa lain, dengan djalan bangsa Indonesia terdjadjah oleh bangsa lain, dengan djalan maoe mempersatoekan natie (bangsa) Indonesia (jang sedarah), tetapi anehnja didalam hal ini mengadjak djoega sdr2 Ambon dan Papoea, meskipoen didalam hakikatnja tidak sedarah. Ra’jat Indonesia menoeroet ilmoe bangsa terdiri doea bangsa besar, Malaise dan Australische ras.

Ada Nasionalime Kepoelaoean, karena kita hidoep disegerombolan peolau atau setanah air Indonesia, tetapi jang dikatakan Indonesia djoega tidak tjotjok dengan apa jang didalam ilmoe boemi boleh dinamakan Indonesia itoe, karena orang mengetjoealikan ra’jat Papoea bagian djadjahan Inggris, ra’jat Borneo lor dan Filipina jang boekan terdjadjah oleh Belanda meskipoen se Indonesia. Dan apakah orang-orang Indonesia jang bertempat dilain negeri tersiar diseloeroeh doenia, di Europa, di Amerika karena tidak hidoep di poelau-poelau ini, diketjoealikan dari pergerakan itoe? Tentoe tidak…

Menoeroet pendapatan kita, nasionalisme kita haroeslah Nasionalisme Kera’jatan, nasionalisme keboetoehan ra’jat Indonesia… ra’jat bergerak karena sendi-sendi hidoepnja bobrok, karena pengaroeh imperialisme… nasionalisme kita tidak pascistis, tidak maoe membangoen kemodalan kembali, tidak reaksioner, maka tentoenja djoega tidak merajah, tidak imperialistis nasionalisme, malah didalamnja menentang   imperialisme”.(26)

Konsep bangsa sekali lagi menjadi ajang petarungan. Gerakan buruh dan petani yang lemah membuat panggung pergerakan didominasi orang-orang terpelajar lengkap dengan pemikiran-pemikiran politiknya. Gagasan kerakyatan yang berakar pada massa rakyat tidak dapat berkembang, dan pada gilirannya membuat pergerakan terpecah berdasarkan arus-arus pemikiran tentang “bangsa”. Dalam kurun ini nasionalisme juga menghadirkan wujud-wujud ekstrem, yang mempertegas akar akarnya dalam kerangka berpikir intelektual “petty-bourgeoisie” di Eropa, seperti Partai Indonesia Kaja dan Partai Fascist Indonesia pimpinan R. Notonindito.

Tapi di sisi lain kata “Indonesia” di dalam konsep “bangsa Indonesia” sudah mengendap dalam discourse politik, betapapun gagasan-gagasan terus bertarung menentukan maknanya. Hal yang sama terlaku juga bagi “bahasa Indonesia” walau perkembangannya tidak secepat itu. Bagaimanapun, kedua gagasan ini bergerak maju dan litiak pernah menoleh ke belakang.

Tentang Kongres Bahasa

Dalam beberapa tulisan dikatakan bahwa bahasa Melayu Tinggi atau Melayu Balai Pustaka yang kemudian dialihkan menjadi bahasa Indonesia. Seperti disebutkan di atas bahasa Melayu Tinggi ini dalam penyusunannya sarat dengan masalah kekuasaan dan politik. Ditetapkannya bahasa Melayu Tinggi sebagai bahasa resmi pada awal abad 20 sekaligus berarti penyingkiran terhadap aturan (kekuatan) lain.(27) Ini bukan berarti bahwa penggunaan bahasa Indonesia dengan begitu sejurus dengan kepentingan kolonial (sekalipun kerangka yang digunakan serupa, seperti dikatakan oleh H.B. Jassin:

“Antara bahasa Melayu Balai Pustaka dan bahasa Melayu persuratkabaran yang sebelum perang seo­lah-olah ada peibatasan. Perbatasan itu kemudian lambat laun menghilang dengan adanya sikap demokratis dalam penggunaan bahasa, hingga bahasa Indonesia Balai Pustaka sesudah perang tak ada lagi bedanya dengan bahasa Indonesia yang dipakai di luarnya.(28)

Terlepas dari kepentingan apa yang kemudian ada di dalam penetapan bahasa Indonesia, dimensi politik dan kekuasaan tidak pernah hilang. “Sikap demokratis dalam penggunaan bahasa” seperti dikatakan Jassin diuji pertama kali dalam Kongres Bahasa Indonesia di Medan tahun 1938. Berangkat dari rasa tidak puas terhadap bahasa dalam suratkabar Tionghoa peranakan, Raden Mas Soedardjo Tjokrosiswojo, wartawan Soeara Oemoem mengambil inisiatif mengorganisir kongres bahasa ini bersama-sama Mr. Sumanang.

Kongres yang dihadiri kurang lebih 500 orang membicarakan banyak hal, mulai dari masalah ejaan sampai pada kedudukan bahasa Indonesia dalam sejarah. Peserta kongres ini berasal dari berbagai kalangan, yang umumnya ikut membentuk konsep “bangsa Indonesia” selama kurang lebih 10 tahun terakhir. Tentang sejarah bahasa dikatakan:

“Kembangnja Bahasa Indonesia tidaklah dimoelai oleh pengaroeh Kompeni Eropa ataoe oleh naiknja kekoeasaan Melajoe di semenanjoeng melainkan sebeloem itoe; dengan oemoemnja bahasa Indonesia sedjak dari zaman lama dan zaman pertengahan sampai zaman baroe soedah mendjadi bahasa pertemoean ataoe persamaan antara pendoedoek Austronesia. Oleh keinsjafan akan persatoean Indonesia sebagai teras kebangsaan Indonesia, maka Bahasa Indonesia pertengahan sebagai bahasa persamaan ataoe bahasa pertemoean mendjadi bahasa persatoean.”(29)

Dari sini bisa dilihat usaha “bangsa” mencari masa lalunya. Asal usul yang pasti tidak terlalu jadi soal, walau banyak penulis dari masa sebelumnya — seperti Sutan Takdir Alisjahbana — tahu bahwa perkembangan bahasa Indonesia tidak berjalan semulus itu. Keinginan mempertahankan pandangan bahwa bahasa Indonesia berjalan dengan logika sendiri yang “tidaklah dimoelai oleh pengaroeh Kompeni Eropa” menghadapi tantangan ketika Fokker — seorang sarjana Belanda — menyusun buku tata bahasa Indonesia yang pertama.(30) Bagaimanapun teks di atas memang lebih tepat dibaca sebagai pernyataan politik tentang bagaimana “bangsa ” menentukan “bahasa”.

Hilmar Farid, 1994

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Kalam edisi 3-1994, Nasionalisme: Antara Kenangan dan Tindakan. Pada Mei 1996, Penerbit Mizan menerbitkannya lagi dalam kumpulan tulisan berjudul Bahasa dan Kekuasaan: Politik Wacana di Panggung Orde Baru, Yudi Latif & Idi Subandy Ibrahim (ed).

Catatan Kaki

  1. Sutan Takdir Alisjahbana, “The Indonesian Language – By-product of Nationalism”, Pacific Affairs (Vol. XXII, No. 1, 1949), hlm, 388-392. Sebagai orang yang mengalami zaman, tersebut, Sutan Takdir menarik garis yang jelas antara bahasa Melayu dan bahasa Indonesia. Namun selanjutnya ia menarik kesimpulan yang agak terburu-buru bahwa seketika bahasa Indonesia diterima, yang lebih lanjut diartikannya sebagai “general acceptance of an ideal of national unity“.
  2. Benedict Anderson, Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (London: Verso, 1983)hlm. 109.
  3. “Betapakah Boemipoetra” si Djawi “bisa dapat harga yang bagoes?”, Doenia Bergerak (No. 3, 1914).
  4. Sekadar contoh, Tjokroaminoto pada 1914 mengatakan bahwa Sarekat Islam mendjoendjoeng martabat kita kaoem Boemipoetra dengan jalan jang “sah” dan ‘menetepi dengan baik-baik dan setia wet wet dan pengatoeran Ollanda..” lihat Sinar Djawa, 18 Maret 1914.
  5. “Keliroe ichtiar”. Sinar Hindia, 9 Desember I919
  6. Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 (Ithaca: Cornell University Press, 1990).
  7. Ibid.
  8. Untuk perjalanan gerakan buruh di Hindia Belanda, lihat John Ingleson, In Search of Justice; Workers and Unions in Colonial Java. 1908-1926 (Singapore: Oxford University Press, 1986).
  9. Padoman Persarekatan Kommunist India (Semarang: Hoofdbestuur PKl, 1923).
  10. Dalam salah satu edisi Bintang Hindia tahun 1906, ada sebuah surat pembaca yang menyatakan bahwa ia tidak begitu mengerti artikel-artikel yang kebanyakan ditulis dalam bahasa Melayu Tinggi lihat Claudine Salmon, Sastra Cina Peranakan dalam Bahasa Melayu (Jakarta: Balai Pustaka, 1985), hlm. 222.
  11. Ariel Heryanto, “Berjangkitnya Bahasa-Bangsa di Indonesia”, Prisma (No. 1, 1989), hal. 6-13. Untuk uraian yang lebih mendalam, lihat Raymond William, Marxism and Literature (Oxford University Press, 1977), hlm. 21-45.
  12. “Tjis, tra’ maloe!” Doenia Bergerak (No. 2,1914).
  13. Satu istilah yang populer di kalangan pergerakan saat itu. lihat Daulat Ka’jat, 30 Oktober 1933-
  14. Produk-produk masa pemerintahan de Jonge yang cukup penting untuk disebutkan di sini adalah Persbreidel Ordonnantie 1931 tentang pelarangan pers dan penerbitan, Toezicht Ordonnantie 1932 tentang pembatasan pengajaran, Wilde Scholen Ordonnantie 1933 yang melarang pembentukan sekolah-sekolah “liar”. Lihat J.M. Pluvier, Overzicht van de Ontwikkeling der Nationalistische Beweging in Indonesie in de Jaren 1930 tot 1942 (The Hague: Nijhoff, 1953).
  15. Biografi dari kebanyakan orang ini dapat dilihat dalam Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa, 1944-1946 (Jakarta: Sinar Harapan, 1988, hal. 447-498.
  16. Ben Anderson, “Language of Indonesian Politics”. Indonesia (No.1, 1966).
  17. Persoalan bahasa ini sebenarnya baru di tahun-tahun selanjutnya menjadi persoalan, tapi juga terbatas di kalangan sekelompok orang saja. Seperti akan diperlihatkan di bawah, arus pergerakan dalam beberapa hal masih mewarisi artikulasi politik radikal pada tahun-tahun pertama setelah pemberontakan. Sumpah Pemuda bagaimanapun menjadi penting karena bahasa secara terbuka dinyatakan sebagai elemen dalam identifikasi “bangsa”.
  18. Lihat antara lain H.B. Jassin, Bahasa Indonesia dalam Perkembangannya, dalam Kesusastraan Indonesia Modem dalam Kritik dan Esei, jilid I (Jakarta: Gramedia, 1985), hlm. 2-3; Adolf A. Bodenstedt, “Sprache und Politik in Indonesien”, disertasi pada Westfaelischen Wilhems-Univers itaet zu Muenster. 1966; Khaidir Anwar, Indonesia: The Development and Use of National language (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985).
  19. Eric J. Hobsbawm, Nations and Nationalism Since 1780 (Cambridge: Cambridge University Press, 1990), hal. 54-63 Bandingkan dengan Benedict Anderson. Imagined Communities (London: Verso, 1983), khususnya bab 5 dan 7.
  20. Pada 1930 di Hindia Belanda hanya ada 6,4% orang yang dapat membaca aksara latin, lihat Volkstelling 1930.
  21. Eric Hobsbawm, hal. 117
  22. Lihat, Takashi Shiraishi, 1990, op cit
  23. M. Husni Thamrin. “Sama Rata, Sama Rasa, Sama Bahasa: Gerakan Djawa Dipa di Hindia Belanda”, Skripsi Sarjana, FS-UI, 1992
  24. Hal itu antara lain tampak dari kenyataan bahwa Tjipto tidak pernah menuliskan konsepnya dalam bahasa Melayu (Hindia). Ki Hadjar Dewatara pernah mengungkapkan pentingnya bahasa dalam hubungannya dengan bangsa. Dalam tulisan yang terbit tahun 1916 dengan judul “Bahasa dm Bangsa” ia antara lain mengkritik TJipto dalam hal penggunaan bahasa, tapi tanpa menetapkan bahasa apa yang harus digunakan. Tentang pemikiran “nasionalisme Hindia” oleh tokoh-tokoh Indische Partij. Lihat Savitri Scherer, Keselarasan dan Kejanggalan (Jakarta: Sinar Harapan, 1984).
  25. Tentang perkembangan politik dalam kurun ini, lihat berbagai studi dari Susan Abeyasekere, seperti “One Hand Clapping: Indonesian Nationalists and The Dutch”. Monash Southeast Asia No. 5(Monash University. 1976); “The Indonesian Political Scene, 1936-42”, Review of Indonesian and Malayan Affairs (Vol, 8, No, 1, 1974).
  26. Menjala, 1 Desember 1932.
  27. Lihat dua tulisan Harimurti Kridalaksana dalam Bunga Rampai Sejarah Studi Bahasa Indonesia, Seri Penerbitan linguistik, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1982. Ia misalnya mencatat bahwa tradisi linguistik Sansekerta tidak ada bekasnya sama sekali, begitu pula dengan tradisi Arab dalam pembagian kelas kata. Lebih jauh dikatakannya, “…bahasa dan pengajaran bahasa dikuasai deh orang Eropa yang menghidupkan tradisi Eropa…”
  28. H.B.jassin, loc. cit, hlm. 8.
  29. “Pertandingan Hasil Kongres Bahasa Indonesia” dalam Riga Adiwoso S., “Perubahan Sosial dan Perkembangan Bahasa: Pandangan Sosiolinguistik”. Prisma (No. I, 1989). hlm, 78.
  30. A.A. Fokker, Beknopte Maleische Grammatica (Batavia: Balai Poestaka, 1941). Buku tatabahasa pertama tentang bahasa Melayu ditulis oleh Joannes Roman pada 1653 atas perintah VOC S.MZain pada 1942 menulis pandangannya tentang bahasa Indonesia di bawah pemerintahan militer Jepang. Sutan Takdir adalah orang Indonesia pertama yang merumuskan tatabahasa Indonesia. Bukunya, Tata Bahasa Baru Babasa Indonesia terbit pertama kali tahun 1949.

Ilustrasi: rebanas.com