Sumber dan cara mengumpulkan informasi merupakan masalah penting dalam studi sosial. Seseorang tidak akan dapat merumuskan persoalan atau  mengambil kesimpulan yang kuat jika informasinya sangat terbatas dan sumber-sumbernya tidak dapat diandalkan. Sebaliknya, seseorang yang memiliki cukup informasi dari berbagai segi dan pihak besar, kemungkinan dapat menembus ‘permukaan masalah’ dan mengembangkan argumentasi serta mencapai kesimpulan yang kuat. Sebuah studi tentang pemogokan buruh, misalnya, akan sangat ditentukan oleh jumlah dan kualitas informasi yang dikumpulkan oleh penelitinya. Peneliti yang hanya membaca laporan manajer pabrik, catatan polisi yang melumpuhkan pemogokan, atau kantor Depnaker yang mencatat kejadian tersebut, tentunya akan mencapai kesimpulan berbeda dari peneliti yang, disamping menggunakan bahan-bahan tersebut, juga berbicara kepada buruh yang terlibat dalam aksi mogok itu, pemimpin serikat buruh setempat, dan LSM atau lembaga bantuan hukum yang mendampingi mereka.

Studi tentang masalah perburuhan di Indonesia yang mulai berkembang awal 1990-an umumnya masih mengandalkan cara-cara lama dalam mengumpulkan informasi. Sandaran utamanya adalah bahan-bahan tertulis yang dibuat oleh Depnaker, statistik pemerintah, dan dokumen tertulis yang dibuat Serikat Buruh atau LSM yang bergerak di bidang perburuhan. Hanya beberapa di antaranya yang melakukan penelitian lapangan dan  menggunakan catatan pengamatan sebagai basis argumentasinya. Metode ini, disadari maupun tidak, terkait dengan tujuan yang lebih besar, yakni advokasi masalah perburuhan yang memusatkan perhatian pada pelaksanaan atau pengabaian hukum perburuhan. Beberapa di antaranya mencoba mengembangkan penelitian untuk membantu kegiatan pengorganisasian, tetapi ini pun terbatas pada masalah-masalah yang sangat spesifik, seperti pembentukan kelompok dan manajemen organisasi.

Dalam tulisan ini saya ingin memperlihatkan bahwa studi sejarah lisan (oral history) di samping melengkapi pemahaman mengenai komunitas buruh, juga membuka ruang untuk memikirkan strategi pengorganisasian buruh lebih lanjut. Bagian pertama akan secara ringkas menguraikan perkembangan sejarah lisan sebagai metode dan pendekatan sekaligus. Bagian kedua adalah tinjauan umum terhadap studi perburuhan dan beberapa masalah konseptual dan teoretis yang muncul karena pendekatan dan metode ‘konvensional’ yang digunakan selama ini. Bagian ketiga akan menguraikan sebuah agenda penelitian yang berpijak pada metode sejarah lisan, beserta beberapa implikasinya baik secara teoretis maupun politis bagi studi perburuhan.

Argumentasi tulisan ini berpijak pada pemahaman bahwa buruh, atau lebih tepatnya kelas pekerja (working class), adalah kekuatan yang dapat bergerak otonom dan tidak selalu bergantung pada kekuatan moda maupun negara seperti yang dicitrakan selama ini. Kategorisasi yang dibuat para peneliti mengenai buruh seringkali membatasi penglihatan sehingga gagal menjangkau dinamika sosial dan ekspresi politik kelas pekerja ini (Farid, 2003). Alih-alih menjadi sumbangan bagi gerakan buruh, penglihatan yang terbatas ini justru bisa mencapai kesimpulan dan menganjurkan strategi yang keliru. Globalisasi neoliberal sekarang ini menuntut adanya diskusi berkelanjutan untuk memikirkan kembali strategi perburuhan, dan studi yang mendalam mengenai sejarah integrasi buruh ke dalam sistem produksi global tersebut adalah landasan penting bagi diskusi semacam ini.

Sejarah Lisan, Sejarah dari Bawah

Pengumpulan keterangan lisan untuk keperluan menulis sejarah mulai dilakukan secara luas setelah Perang Dunia II. Proyek-proyek sejarah lisan pada awalnya diarahkan untuk ‘mengisi informasi’ yang tidak dapat diperoleh dalam bahan tertulis, seperti wawancara dengan sejumlah pejabat pemerintah mengenai peristiwa tertentu yang dianggap penting. Dalam perkembangannya, sejumlah peneliti melihat bahwa sejarah lisan sebenarnya dapat berbuat lebih, yakni (a) memberi penglihatan baru terhadap peristiwa tertentu, (b) mendalami masalah-masalah yang tidak pernah dibicarakan dalam bahan-bahan tertulis, dan (c) mengedepankan perspektif dari pihak yang selama ini tidak terwakili dalam penulisan sejarah. Sejak 1960an, studi sejarah lisan mulai digunakan secara luas untuk merekam pandangan dan pengalaman kalangan yang tidak terwakili dalam penulisan sejarah konvensional karena hanya bersandar pada bahan-bahan tertulis. Sejarah lisan dianggap sebagai cara yang tepat untuk menggali informasi mengenai perikehidupan kelas-kelas rendahan dalam masyarakat dari perspektif mereka sendiri. Gagasan menyusun ‘sejarah dari bawah’ (history from below) bertolak dari kritik bahwa pemahaman orang mengenai masa lalu cenderung dikendalikan ‘dari atas’, yakni kelas penguasa yang menguasai produksi pengetahuan, termasuk penulisan sejarah. Dalam konteks ini sejarah lisan bukan hanya metode mengumpulkan informasi, tapi sudah berkembang menjadi sebuah perspektif baru dalam studi sejarah.

Sementara di Eropa dan Amerika Serikat sejarah lisan telah menjadi salah satu cabang studi sejarah yang penting, di Indonesia studi seperti itu tidak terlalu populer. Hanya sedikit proyek yang secara tekun mengumpulkan keterangan lisan, dan itu pun terbatas pada mereka yang dianggap sebagai ‘tokoh masyarakat’ atau ‘pelaku sejarah’, dalam arti terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang dianggap penting dalam penulisan sejarah yang dominan. Perkecualian yang terpenting menurut saya adalah karya Pramoedya Ananta Toer mengenai perempuan jugun ianfu yang terdampar di Pulau Buru. Bersama rekan sesama tahanan Pramoedya berhasil mewawancarai sejumlah perempuan asal Jawa yang dibawa ke pulau tersebut oleh tentara pendudukan Jepang dan tidak pernah kembali ke kampung halamannya.(1) Baru dalam beberapa tahun belakangan minat pada sejarah lisan mulai berkembang, antara lain mengenai korban kekerasan peristiwa 1965-66, perempuan buruh dan gerakan buruh di Jawa, serta masyarakat petani di beberapa wilayah.

Studi Perburuhan di Indonesia

Studi mengenai kehidupan buruh dan sejarah perburuhan di Indonesia mulai berkembang sejak akhir 1980an. Awalnya perhatian studi-studi ini sangat terbatas pada kondisi kehidupan buruh –yang memang tidak banyak dikenal atau dibicarakan di masa itu– serta proses proletarianisasi yang berlangsung pada masa Orde Baru (Mather, 1983; Wolf, 1992; Saptari, 1995). Perhatian terhadap serikat buruh dan politik perburuhan secara umum mulai berkembang pertengahan 1990an saat gelombang pemogokan mulai melanda daerah-daerah industri di Jawa dan sebagian Sumatra (Hadiz, 1993, 1997; Kusyuniati, 1998). Di samping studi akademik seperti ini beberapa LSM yang bergerak di bidang advokasi hukum juga mulai menjalankan studi yang berkaitan dengan pemenuhan hak-hak buruh di tingkat pabrik.

Secara umum studi-studi ini terarah pada buruh industri (industrial labour) yang dianggap sebagai elemen terpenting dari kelas pekerja di Indonesia. Hanya sedikit studi yang berbicara tentang sektor-sektor lain seperti buruh perkebunan, kerja domestik, atau sektor pekerjaan lainnya. Orang yang bekerja di industri rumah tangga atau usaha kecil biasanya dibedakan dari kelas pekerja dengan sebutan sektor informal atau sektor usaha kecil, yang dalam retorika politik disebut sebagai ‘borjuis kecil’ atau ‘miskin kota’. Konseptualisasi ‘kelas pekerja’ semacam ini biasanya bertolak dari pemikiran yang ahistoris (sekalipun mencatat kejadian sejarah sebagai latar belakang dalam studi mereka) mengenai masyarakat.

Dalam jurnal ini (Michele Ford, 2002) sudah mengungkapkan pentingnya perspektif sejarah ‘baru’ dalam studi perburuhan. Ia mencatat bahwa studi-studi perburuhan selama ini umumnya mengandalkan perspektif ‘barat’ mengenai masalah perburuhan dan serikat buruh dan tidak banyak menyelidiki sejarah Indonesia sendiri. Pengalaman buruh dan sejarah ‘baru’ menurutnya dapat menjadi landasan untuk merumuskan konsep-konsep baru yang lebih sesuai dengan konteks Indonesia. Di satu pihak, saya setuju dengan pikirannya bahwa konsep-konsep yang dipungut begitu saja dari pengalaman sejarah di tempat lain dapat menyesatkan pengamatan dan menghasilkan argumentasi serta kesimpulan yang rentan. Tapi di sisi lain, keinginan untuk ‘pribumisasi’ ilmu sosial adalah obsesi yang berlebihan mengingat Indonesia seperti negeri Dunia Ketiga pada umumnya bukan entitas yang sama sekali unik dan sangat dipengaruhi oleh sistem produksi yang sama seperti di Eropa, yakni kapitalisme.

Untuk melihat persoalan ini secara lebih jelas, saya mencoba memusatkan perhatian pada dua masalah yang mendapat perhatian besar dalam studi perburuhan di Indonesia, yakni (a) pembentukan kelas dan (b) politik perburuhan. Dalam studi tentang pembentukan kelas pekerja atau proletarianisasi, para peneliti umumnya menyoroti proses terbentuknya kategori ‘buruh industri’ di Indonesia ketimbang pengalaman konkret buruh membentuk kelas pekerja, yang salah satu bagiannya adalah buruh industri. Perhatian umumnya diarahkan pada kondisi kerja di pabrik, kehidupan di luar pabrik, tapi sedikit yang diketahui tentang asal-usul buruh industri ini dan pengalaman hidup yang membuat mereka terpaksa (secara sadar maupun tidak) bekerja dalam kondisi yang buruk seperti digambarkan oleh studi- studi tersebut. Sedikit pula informasi mengenai apa yang terjadi pada buruh yang dipecat atau meninggalkan pekerjaannya untuk mencari penghidupan lain; dengan kata lain dinamika kelas pekerja itu sendiri.

Sementara itu, studi tentang politik perburuhan biasanya terarah pada lembaga-lembaga seperti Serikat Buruh atau LSM yang bergerak di bidang perburuhan. Sumber informasi yang digunakan tidak lain adalah laporan dari organisasi semacam ini atau wawancara dan diskusi dengan sejumlah aktivis dan pemimpin organisasinya. Sedikit yang diketahui mengenai pengalaman buruh rank-and-file dan bentuk-bentuk pengorganisasian lain yang tidak termasuk dalam kategori ‘Serikat Buruh’ atau ‘LSM Perburuhan’. Dalam analisis mengenai gejolak perburuhan pun para peneliti cenderung bersandar pada informasi yang dikeluarkan pemerintah, perusahaan, atau organisasi yang menghimpun buruh untuk mogok. Akibatnya, ukuran-ukuran yang digunakan untuk membahas perkembangan dengan sendirinya menjadi sangat terbatas, seperti keberhasilan atau kegagalan meraih tuntutan serta peningkatan jumlah serikat buruh beserta anggotanya.

Cukup jelas bahwa keterbatasan dalam analisis adalah akibat dari sedikitnya informasi yang dimiliki. Beberapa peneliti mencoba mengatasi masalah ini dengan penelitian lapangan yang mencakup pengamatan dan wawancara mengenai perikehidupan buruh di tempat kerja maupun di permukiman. Dalam proses itu peneliti dapat mengumpulkan banyak informasi yang tidak dapat ditemukan dalam dokumen tertulis, baik yang dikeluarkan pemerintah, perusahaan, atau pun organisasi buruh. Pada tataran metode, sesungguhnya tidak ada perbedaan berarti antara penelitian lapangan yang lazim digunakan dalam studi sosiologi atau antropologi dengan sejarah lisan. Keduanya sama-sama melakukan wawancara mendalam, memberi ruang kepada buruh atau subyek yang diteliti untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaan mereka, dan selanjutnya membuat analisis serta kesimpulan terhadap apa yang diamati. Bagaimanapun, dalam penelitian sosial, minat utama para peneliti adalah menggambarkan keadaan yang dapat memperkuat argumentasi teoretis maupun pengembangan konseptualisasi. Sejarah, seperti dikatakan Ford (2002), umumnya hanya menjadi tempelan belaka dalam latar belakang yang memberi bobot waktu pada analisis mereka. Sementara itu, sejarah lisan, seperti penulisan sejarah pada umumnya, tertarik pada sejarah.

Dalam studi tentang pembentukan kelas, peneliti sosial biasanya tertarik untuk melihat bermacam kategori kelas yang ada dalam masyarakat. Mereka berusaha merumuskan unsur-unsur terpenting untuk menjelaskan batas dan kategorisasi kelas, seperti keterlibatan seseorang dalam proses produksi, tingkat pendapatan, dan seterusnya. Studi sejarah sementara itu coba mengamati kelas secara konkret. Edward Thompson (1968), yang menulis tentang pembentukan kelas di Inggris mengatakan bahwa kelas harus dipelajari secara konkret; kelas adalah hubungan yang dialami orang dalam kehidupan nyata, bukan kategori abstrak yang bisa ditempelkan kepada salah satu kelompok dalam masyarakat yang memiliki karakteristik sama. Pembentukan kelas, dengan demikian, harus dipelajari secara mendalam, termasuk dengan mencatat pengalaman orang sebagai kelas.(2)

Sumber terbaik untuk memeriksa pengalaman orang sebagai kelas ini tidak lain adalah keterangan lisan. Dokumen pemerintah atau perusahaan hanya menjelaskan keadaan dari perspektif penguasa dan pengusaha. Keterangan dari organisasi atau serikat buruh kadang hanya menjadi santiran (mirrorimage) dari perspektif pemerintah dengan memberikan pendapat berbeda terhadap hal yang sama: pendapatan, hubungan kerja, kondisi kerja, dan seterusnya. Keduanya sama-sama tidak merekam apa yang dipikirkan dan dirasakan oleh buruh, hubungan mereka dengan komunitas, dan pandangan mereka tentang masa lalu dan masa depan. Sejarah lisan dalam hal ini dapat menjelaskan banyak hal yang tidak mungkin dicapai dengan pemeriksaan dokumen apa pun: pengalaman seseorang secara konkret memasuki (dan keluar lagi dari) hubungan kerja di pabrik yang mempengaruhi perikehidupannya secara menyeluruh. Sejarah lisan akan memungkinkan studi tentang kelas pekerja keluar dari tembok-tembok pabrik, melihat hubungannya dengan “sektor-sektor lain” (yang dianggap sebagai sesuatu yang berbeda secara kategoris dalam studi sosial).

Salah satu teknik penyajian yang sering digunakan dalam sejarah lisan adalah biografi atau life-history. Dengan penggambaran yang utuh tentang pengalaman hidup seorang atau beberapa orang buruh, sejarah lisan dapat mengungkap dinamika pembentukan kelas dan melihat saling-hubungan antarkonsep dan dalam taraf tertentu bahkan memperlihatkan bahwa kategorisasi yang dibuat seringkali tidak relevan. Sebagai contoh, banyak buruh di Indonesia sekarang adalah angkatan pertama dalam keluarga mereka yang bekerja menjual tenaga di pabrik. Orang tua mereka adalah petani kecil pemilik sepotong tanah atau guru di desa yang tidak cukup penghasilannya untuk memberi modal atau menyekolahkan anak-anak mereka ke jenjang perguruan tinggi sehingga bisa mencari kerja kantoran. Setelah bekerja dua-tiga tahun, banyak dari mereka yang merasa lelah dan “tidak maju-maju,” sehingga berpindah menyambung hidup sebagai pedagang asongan (yang dalam kategori ILO disebut ‘sektor informal’) atau kerja serabutan termasuk ‘ngobyek’ sebagai pedagang perantara yang mendapat kontrak kecil-kecilan dari badan pemerintah atau swasta. Sebaliknya, ada banyak orang yang semula menjadi ‘pedagang kecil’ (sektor informal) yang kemudian bangkrut semasa krisis. Badan statistik dan peneliti sosial kadang hanya mencatat penurunan jumlah orang yang termasuk kategori tersebut tetapi tidak menjelaskan apa yang terjadi pada mereka yang jatuh bangkrut sesudahnya. Banyak dari mereka kemudian terpaksa menjual tenaga (menjadi buruh) di sektor transportasi maupun manufaktur. Setelah beberapa tahun bekerja dan berhasil mengumpulkan modal –yang kadang dibantu oleh saudara atau orang tua yang masih punya simpanan cukup– mereka kembali menjadi ‘wiraswasta’.

Pengalaman kelas pekerja di masa krisis sangat bervariasi. Jika mengikuti kategorisasi ketat dari birokrasi maupun ilmu sosial, maka yang didapat adalah pencabikan pengalaman hidup yang begitu kompleks menjadi satuan-satuan yang digunakan untuk mempermudah analisis. Cara pandang seperti ini juga memiliki implikasi politik yang serius. Pengorganisasian kelas pekerja selama ini umumnya –mengikuti tradisi trade unionism di Barat–dilakukan melalui serikat-serikat buruh. Setelah Soeharto jatuh, diperkirakan ada ribuan serikat buruh baru yang dibentuk di tingkat pabrik dan ratusan federasi serikat buruh. Bersamaan dengan itu ada ratusan ribu –jika bukan jutaan– orang yang dipecat dari pekerjaaannya dan tidak lagi menjadi buruh karena krisis ekonomi. Alih-alih menjawab masalah tersebut, serikat-serikat buruh kemudian justru secara tidak kritis mengadopsi tuntutan tradisional serikat buruh: kepastian kerja. Di satu pihak, dapat dimengerti bahwa buruh yang masih bekerja tidak ingin mengalami nasib seperti rekan-rekan mereka yang dipecat, tetapi di sisi lain, hal itu melahirkan masalah karena memperketat persaingan dalam ‘pasar tenaga kerja’ yang semakin padat sejak krisis.

Studi tentang politik perburuhan yang hanya mengamati masalah kelembagaan (terutama serikat buruh) biasanya gagal memahami ketegangan yang ada di kalangan kelas pekerja sendiri. Perspektif ‘serikat buruh melawan pengusaha dan negara’ di satu sisi kadang bisa menghasilkan pemikiran kritis dan kesimpulan yang tajam, tetapi di sisi lain justru mengamini strategi pecah-belah yang sejak ratusan tahun digunakan dalam tatanan kapitalis.

Studi sejarah lisan biasanya memberi tempat luas bagi pengalaman konkret kelas pekerja, termasuk subyektivitas yang sulit sekali ditemukan dalam studi ekonomi politik atau pendekatan konvensional lainnya. Sementara aktivis LSM sering buru-buru menyimpulkan rendahnya tingkat keterlibatan buruh dalam organisasi sebagai cermin rendahnya kesadaran atau kelemahan dalam manajemen serikat, sejarah lisan akan membawa persoalan itu dalam tataran lebih luas. Masalah kesadaran buruh tidak dapat diukur semata-mata dari minat untuk terlibat dalam organisasi tertentu. Subyektivitas mencakup pengalaman hidup yang sangat kompleks. Penetapan serikat buruh sebagai satu-satunya organisasi yang mewakili ‘kepentingan’ buruh dalam hal ini adalah turunan dari upaya kategorisasi yang dibuat oleh peneliti sosial dan birokrasi. Pengalaman hidup buruh (dan kelas pekerja secara umum) yang sangat kompleks kemudian direduksi menjadi ‘kerja di pabrik’ dan semua upaya membela ‘kepentingan’ kemudian terarah pada perbaikan keadaan kerja tersebut. Akibat yang paling nyata adalah ketidakpedulian serikat dan organisasi buruh pada kelas pekerja yang tidak bekerja secara formal di pabrik.

Studi sejarah lisan lebih jauh berusaha memaparkan perkembangan kelas pekerja secara menyeluruh, dan dengan begitu mendesak para peneliti untuk memikirkan ulang banyak kategori yang telah menjadi mapan dalam penelitian sosial: sektor informal, usaha mandiri, buruh industri, pekerja rumah tangga, dan seterusnya. Dengan sejarah lisan, bermacam ‘sektor’ atau ‘kategori’ ini pada dasarnya akan terlihat sebagai bagian-bagian dari kelas pekerja yang sama, karena orang yang mengalami berbagai kategori ini pun adalah orang yang sama. Masuk akal pula jika agenda pengorganisasian kemudian terarah pada kelas pekerja secara menyeluruh ketimbang menghimpun orang yang sama dalam kategori berbeda-beda dari waktu ke waktu. Dalam gerakan buruh saat ini, ada banyak upaya mengembangkan gagasan social movement unionism yang berpijak pada pengorganisasian komunitas kelas pekerja ketimbang serikat buruh tradisional. Sejarah lisan dapat berperan besar menyediakan informasi bagi strategi semacam ini dengan mengungkapkan pengalaman konkret kelas pekerja sebagai dasar pengorganisasian, sebagai alternatif dari gerakan serikat buruh yang membatasi diri pada pengalaman konkret di tempat kerja saja.

Kesimpulan

Sumbangan sejarah lisan bagi pengorganisasian atau praksis politik secara luas tidak terbatas pada pemahaman baru mengenai perikehidupan kelas pekerja sematamata. Salah satu sumbangan lain yang terpenting adalah pembukaan ruang bagi kelas pekerja untuk menulis sejarahnya sendiri. Penulisan sejarah dan juga penelitian sosial selama ini cenderung memperlakukan kelas pekerja sebagai obyek dari penindasan kapital atau kebijakan yang tidak adil, dan jarang melihat peran aktif mereka dalam membuat sejarah. Seperti diuraikan Paul Thompson, seorang sejarawan lisan terkemuka,

“… dengan menampilkan bukti-bukti baru dari bawah, dengan memindahkan fokus [penyelidikan sejarah] dan membuka wilayah penyelidikan baru, dengan menantang sejumlah asumsi dan penilaian yang selama ini dipegang oleh sejarawan, dengan memperhatikan kelompok-kelompok orang yang selama ini diabaikan…ruang lingkup penulisan sejarah sendiri telah diperluas dan diperkaya; dan pada saat bersamaan pesan sosialnya pun berubah. Sejarah, dengan kata lain, menjadi lebih demokratik.”

Sejarah lisan dalam hal ini memberi sumbangan pada proses pembentukan kesadaran yang bertolak dari pengalaman buruh sendiri. Dalam gerakan LSM atau organisasi buruh di Indonesia sekarang, ada kecenderungan untuk membuat ‘penyadaran’ yang bersifat instant, dengan menjejalkan bermacam informasi tentang masalah perburuhan, kajian ekonomi politik, teori sosial ke dalam benak buruh dengan harapan mendatangkan ‘pencerahan’. Dalam tradisi pendidikan yang tidak demokratik, pengetahuan ‘kritis’ ini pun dicerna dengan cara sama seperti saat menerima wejangan dari tokoh masyarakat: lihai dalam mengulang ‘kata-kata ajaib’ atau ‘mantra politik’, tetapi tidak menjadikannya alat untuk memaknai pengalaman hidupnya sendiri. Sejarah lisan tentu saja tidak mungkin mengganti proses pendidikan semacam itu, tetapi jelas dapat mengurai ruang kesadaran dan pengalaman dari kelas pekerja, serta membantu menerangi tempat gagasan-gagasan baru mengenai perubahan dan perbaikan nasib itu berkembang.

Hilmar Farid, 2003

Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Analisis Sosial, Vol. 8 No. 3 Desember 2003

Catatan Kaki

  1. Penelitian sejarah lisan ini menjadi istimewa baik karena topik yang dipilih, orang yang mengerjakan, dan cara pembuatannya. Sampai saat ini pun penelitian mengenai sejarah perempuan (atau penulisan sejarah dari perspektif perempuan) masih sangat terbatas, apalagi mengenai perempuan korban kekerasan seperti jugun ianfu. Fakta bahwa penelitian itu dikerjakan Pramoedya dan sejumlah rekan sesama tahanan politik memperlihatkan bahwa sejarah lisan sebenarnya dapat dikerjakan siapa pun juga dalam situasi apa pun, dan dengan begitu mencerminkan sifat asasinya: membuat wacana sejarah menjadi lebih demokratik.
  2. Paul Thompson, The Voice of the Past. (Oxford, 1988)