Pada 1 Maret 1942 pasukan Jepang mendarat di Jawa dan seminggu kemudian pemerintah Hindia Belanda menyerah kalah. Beberapa hari kemudian Gubernur jenderal yang terakhir, Tjarda van Starkenborch Stachouwer dan panglima tentara kolonial Jenderal Hein ter Poorten digiring masuk ke kamp tahanan. Pergantian kekuasaan itu terjadi begitu cepat sehingga banyak hal yang tertinggal tidak sempat ditangani, termasuk nasib lebih dari dua ratus tahanan politik beserta keluarga mereka di kamp Tanah Merah, Boven Digoel, Papua bagian selatan. Sejak 1930an sebenarnya beberapa pejabat pemerintah kolonial sudah menyarankan kepada gubernur jenderal untuk menutup kamp interniran itu karena tidak sesuai dengan perkembangan zaman. Tapi karena masalah di Eropa sendiri – Belanda diduduki pasukan Jerman pada Mei 1940 dan ratu Belanda beserta pemerintahan harus pindah ke Inggris – maka kamp itu seperti dilupakan oleh para pembuatnya. Baru pada 1942 ketika Jepang sudah berkuasa di Jawa dan mulai bergerak ke arah timur, masalah kamp interniran itu kembali mencuat ke permukaan.

Ada dua kelompok pendapat di kalangan penguasa kolonial yang tersisa waktu itu. Pertama, mereka yang khawatir bahwa para tahanan, karena kebencian mereka terhadap kolonialisme Belanda, akan melancarkan pemberontakan dan dengan begitu menyulitkan kedudukan pasukan Belanda dan Sekutu yang semakin terancam oleh pasukan Jepang. Kedua, mereka yang melihat bahwa para tahanan ini, karena latar belakang politik mereka sebagai pemberontak komunis, akan mendukung Sekutu melawan fasisme Jerman dan Jepang. Dua pendapat berbeda dengan kesimpulan yang sama: para tahanan harus segera dipindahkan dari Boven Digoel. Adalah Charles van der Plas yang kemudian memutuskan untuk mengevakuasi para tahanan ke Australia.[1]
Pada Juni 1943 sekitar 500 orang penghuni kamp, termasuk di antaranya perempuan dan anak-anak mendarat di Australia untuk selanjutnya ditahan di kamp Cowra, sekitar dua ratus kilometer di timur kota Sydney.

Dengan langkah itu pemerintah kolonial berhasil menghalangi apa yang dikhawatirkan oleh kelompok pendapat pertama. Dan sesuai harapan kelompok pendapat kedua, beberapa tahanan akhirnya bisa dipekerjakan oleh dinas intelijen Belanda untuk membantu usaha sekutu menghadapi Jepang, khususnya dengan memproduksi propaganda anti-Jepang untuk disebarkan kepada penduduk bekas Hindia Belanda. Tapi yang tidak mereka duga adalah bahwa para bekas tahanan ini kemudian mengorganisasi kekuatan pro-Indonesia di Australia sendiri. Segera setelah lebih leluasa bergerak mereka membentuk sejumlah organisasi politik, membangun hubungan dengan serikat buruh setempat, dan menghimpun dukungan untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. Ketika berita tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia mencapai Sydney para tahanan bekerjasama dengan serikat buruh dan aktivis politik Australia membentuk Committee for Indonesian Independence.

Para bekas tahanan dari Boven Digoel aktif dalam komite ini yang antara lain mengorganisasi aksi boikot terhadap kapal perang dan kapal angkut Belanda yang akan membawa pasukan KNIL dan peralatan tempur mereka ke Indonesia. Aksi boikot itu dimulai September 1945, melibatkan ribuan pelaut, buruh pelabuhan, dan aktivis serikat buruh, dan menjadi salah satu aksi boikot politik terbesar dalam sejarah maritim dunia.[2] Pemerintah kolonial sama sekali tidak mengira bahwa pemindahan tahanan itu akan menjadi pukulan balik dengan akibat yang justru menyerang tepat di jantung mesin perang kolonial dengan kerugian yang jauh lebih besar.

Perlawanan dari para tahanan politik ini menjadi salah satu episode penting dalam sejarah pengasingan politik di masa kolonial. Pengasingan politik yang sedianya menjadi senjata untuk meredam perlawanan akhirnya justru berbalik menyerang tuannya sendiri. Dalam tulisan ini saya akan menguraikan sekelumit sejarah pembuangan politik dan pengaruhnya terhadap pergerakan politik yang kemudian melahirkan Indonesia.

Memisah Ikan Dari Air

Strategi pengasingan politik dalam arti membuang seseorang ke tempat yang jauh dari tanah asalnya karena alasan politik sudah dilakukan sejak lama jauh sebelum kedatangan orang Eropa. Para raja dan pangeran sering menculik lawan politik atau anggota keluarganya untuk mencapai tujuan mereka. Kedatangan VOC pada abad ketujuhbelas membuat praktek semacam itu semakin marak dan sistematis. Dengan kekuatan militernya VOC lebih efektif menangkap, menahan lalu membuang orang yang tidak dikehendaki ke salah satu kantong kekuasaannya yang tersebar dari Afrika Selatan sampai Ambon. Di antara semua pelabuhan yang dikuasai oleh VOC, atau setidaknya berada di bawah pengaruh perusahaan multinasional itu, Colombo di Srilanka menjadi salah satu pilihan utama. Raja Amangkurat III dari Mataram termasuk yang dibuang ke sana karena perebutan tahta dengan Pangeran Puger yang didukung VOC. Ia meninggal di pengasingan pada 1734.

Di masa kekuasaan Hindia Belanda strategi pengasingan ini justru semakin gencar diterapkan terhadap para ‘pemberontak’. Jika di masa VOC praktek semacam itu dilakukan sekehendak penguasa maka setelah berdirinya negara kolonial ada beberapa perkembangan administrasi yang penting. Pada 1848 Eropa dilanda revolusi yang membawa perubahan signifikan dalam konstelasi politik dan juga kehidupan bernegara. Kerajaan Belanda yang tidak luput dari gelombang perubahan tersebut mengadopsi sebuah konstitusi baru yang menempatkan tanah jajahan Hindia Belanda di bawah kontrol parlemen, sehingga perilaku birokrasi kolonial pun bisa diawasi oleh wakil partai politik yang duduk di sana. Pada 1854 terjadi perubahan konstitusional sekali lagi dan untuk pertama kalinya di Hindia Belanda ada pemisahan antara lembaga yudisial dan pemerintah eksekutif. Di atas kertas ini berarti hukuman seperti pengasingan politik harus terlebih dulu mengikuti prosedur pengadilan.

Tepat di sini penguasa kolonial memperkenalkan sebuah mekanisme yang akan terus berpengaruh terhadap sistem hukum, bahkan sesudah Indonesia merdeka, khususnya di masa Orde Baru, yang dikenal sebagai exorbitante rechten atau hak-hak istimewa dari Gubernur Jenderal. Dengan hak-hak istimewa ini Gubernur Jenderal bisa mengambil tindakan terhadap orang yang dinilainya berbahaya untuk keamanan dan keselamatan tanah jajahan, termasuk mengasingkan seseorang di dalam wilayah kolonial (interneering) maupun membuang seseorang ke luar wilayah (externeering). Tindakan pertama dialami oleh Samin Soerontiko yang dibuang ke Padang bersama delapan orang pengikutnya pada Desember 1907, Tirto Adhisoerjo yang dibuang ke Maluku pada 1912, , sementara tindakan kedua dialami tokoh sosialis Henk Sneevliet yang dieksternir dari Hindia Belanda pada Desember 1918.

Dengan exorbitante rechten ini maka pengasingan atau pembuangan politik tidak lagi menjadi masalah hukum tapi semata-mata masalah administratif yang tidak bisa dicampuri lembaga peradilan. Keputusan Gubernur Jenderal dengan begitu lebih tinggi dari hukum pidana jika menyangkut keamanan dan keselamatan tanah jajahan. Bahkan dalam beberapa kasus keputusan pengadilan menyangkut status hukum seseorang dapat dibatalkan dan diubah oleh Gubernur Jenderal. Seseorang yang sudah diputuskan tidak bersalah tetap dapat dibuang atau diasingkan oleh Gubernur Jenderal jika yang bersangkutan menilai bahwa orang tersebut berbahaya untuk ketertiban umum. Orang yang sudah dijatuhi hukuman penjara bisa juga dipindahkan ke pengasingan atau ke luar negeri jika Gubernur Jenderal menghendaki demikian.

Nasib mereka yang diasingkan atau dibuang oleh Gubernur Jenderal dengan exorbitante rechten ini sepenuhnya berada di tangan penguasa kolonial. Adalah Gubernur Jenderal sendiri yang menentukan segala ketentuan menyangkut nasib orang yang diasingkan, mulai dari lokasi, apa yang boleh dilakukan dan apayang tidak, serta lamanya pengasingan itu diberlakukan. Tidak ada dasar hukum yang bisa memperkirakan berapa lama seseorang akan diasingkan. Dalam kasus Tjipto Mangunkusumo misalnya, yang diasingkan ke Banda pada 1927, masa pengasingan berlangsung sangat lama. Tapi dalam kasus lain pengasingan bisa berlangsung singkat. Sebelum dikirim ke pengasingan seseorang juga bisa ditahan di penjara selama waktu yang tidak ditentukan sebelumnya berdasarkan keputusan Gubernur Jenderal.

Semua praktek ini dan terutama kekuasaan Gubernur Jenderal yang tidak terbatas berulang kembali pada masa Orde Baru. Kekuasaan exorbitante rechten waktu itu berada di tangan Kopkamtib – kemudian Bakorstanas – yang bisa menangkap, menahan dan mengasingkan orang tanpa melalui prosedur pengadilan. Jenderal Soeharto sebagai pemimpin tertinggi Kopkamtib kedudukan dan fungsinya mirip dengan Gubernur Jenderal dalam menangani keamanan dan keselamatan negeri. Korban pertama dari mekanisme ini adalah para tahanan politik dalam kasus G-30-S. Puluhan ribu orang ditahan tanpa proses pengadilan selama beberapa tahun untuk selanjutnya diasingkan di Pulau Buru selama sepuluh tahun.[3] Semua orang yang dibuang tidak mendapat kesempatan membela diri di hadapan pengadilan dan tidak pernah diberitahu kesalahan yang dituduhkan. Keputusan Kopkamtib yang dipimpin Soeharto juga berada di luar jangkauan pengadilan, dan sama seperti di masa kolonial, pemerintah Orde Baru menganggap tindakannya sebagai langkah administratif penyelesaian masalah G-30-S.

Kembali ke masa kolonial. Kekuasaan Gubernur Jenderal yang seperti tidak terbatas dengan adanya exorbitante rechten ini mengundang reaksi dari berbagai kalangan. Sejumlah organisasi politik di dalam dan luar negeri menuntut agar hak-hak istimewa itu dihapuskan dan negara kolonial taat pada proses hukum dan prinsip pemisahan kekuasaan. Pada 1919 di parlemen Belanda sudah ada mosi yang menuntut penghapusan hak-hak tersebut, tapi gagal karena kurang pendukung. Di Hindia Belanda sendiri ada perdebatan di Volksraad tapi juga kandas. Para pengkritik ini dengan tepat menempatkan exorbitante rechten dalam paket hukum yang sama seperti “pasal-pasal karet” 153 bis, 153 ter, 161 bis, dan 171 dalam kitab hukum pidana kolonial yang tujuan akhirnya adalah memberangus kritik dan perlawanan terhadap pemerintah. Kalangan intelektual, terutama ahli hukum, berulangkali membuat argumentasi ilmiah dengan tujuan serupa, tapi semuanya dianggap angin lalu saja, dan hak-hak tersebut terus melekat pada Gubernur Jenderal sampai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia.[4]

Orang Buangan: Dari Raja Sampai Petani

Sejarawan Robert Cribb menyebut ada 1150 kasus penggunaan exorbitante rechten oleh Gubernur Jenderal antara 1855 dan 1920.[5] Mereka yang dibuang termasuk Pangeran Kusumanegara dari Kalimantan Selatan yang diasingkan ke Bondowoso, Potjut Meurah Intan dari Aceh yang diasingkan ke Blora, dan Belae Seraka dari Lamahala yang dibuang ke Pekalongan. Pengasingan mereka terkait dengan ekspansi kekuasaan kolonial pada paruh kedua abad kesembilanbelas yang melibatkan operasi militer ke Sumatera, Kalimantan dan Nusa Tenggara. Para raja yang melakukan perlawanan hampir seluruhnya dibunuh atau diasingkan dari para pendukung mereka, biasanya sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Sebagian dari mereka yang cukup dikenal muncul dalam berita suratkabar Belanda, tapi tidak sedikit yang hanya disebut sebagai ‘een banneling’ (orang buangan) dalam berita penumpang kapal laut yang datang dan pergi.

Penting tidaknya seorang banneling biasanya terlihat dari pengawalan yang diberikan. Para raja yang memimpin pemberontakan bersenjata biasanya mendapat pengawalan ketat, kadang langsung oleh seorang inspektur polisi, atau bahkan pejabat gubernur sendiri.[6] Kadang suratkabar menyebut para raja yang melawan ini sebagai banneling saja, tapi kadang juga sebagai politieke banneling, yang artinya mengakui bahwa tindakan pengasingan dilakukan dengan alasan politik dan bukan yang lain. Tapi tetap saja perbedaan ini juga bukan indikator yang akurat karena kriteria politik atau bukan politik sendiri tidak jelas seperti terlihat dari penggunaan istilah communist. Sejak abad kesembilanbelas, artinya beberapa puluh tahun sebelum partai komunis berdiri di Hindia Belanda, suratkabar Belanda sudah ramai memberitakan penangkapan terhadap communisten di Jawa. Tapi jika diteliti maka communisten ini tidak lain dari rampok atau maling yang beroperasi di pemukiman penduduk.

Pemerintah kolonial sendiri enggan mengakui pengasingan para raja atau tokoh yang melakukan perlawanan sebagai masalah politik karena dua alasan berbeda. Pertama, karena dengan mengakui perlawanan terhadap kekuasaan sebagai tindakan politik maka pemerintah kolonial justru memberi legitimasi pada para raja dan tokoh yang melakukan perlawanan. Sebaliknya jika mereka disebut sebagai pemberontak dan pengacau keamanan maka statusnya akan setara dengan penjahat biasa. Orde Baru mengidap dilema yang sama ketika berhadapan dengan aktivis pro-demokrasi atau gerakan pembebasan di Timor Leste, Papua atau Aceh. Untuk mengecilkan perlawanan penguasa menggunakan istilah generic ‘gerakan pengacau keamanan’, sementara dalam dokumen resmi dan proses pengadilan semua aktivis ini dihukum karena tuduhan makar atau subversi politik.

Alasan kedua, pemerintah kolonial pada dasarnya berpikiran rasis dan menganggap orang pribumi terlalu bodoh untuk berpolitik. Gerakan perlawanan di mata para pejabat kolonial biasanya dipicu oleh orang dari luar seperti guru agama, ahli propaganda, dan bukan sesuatu yang memang tumbuh dalam masyarakar pribumi sendiri. Massa yang terlibat perlawanan atau pemberontakan dianggap tidak tahu apa yang mereka lakukan. Karena itu jalan keluar yang dipilih adalah menangkap dan mengasingkan pimpinan dengan harapan massa pengikutnya akan surut dengan sendirinya karena kehilangan pimpinan. Pengasingan juga diharapkan dapat mengubah watak dan perilaku para pemimpin ini agar kembali “normal” (bodoh dan tidak berpolitik) seperti orang pada umumnya.

Cara pandang ini mulai berubah pada awal abad keduapuluh dengan munculnya gerakan nasionalis dari kalangan terpelajar yang tidak lain adalah produk pendidikan Belanda di tanah jajahan. Pemerintah kolonial awalnya gagap menghadapi perkembangan ini. Di satu sisi mereka tentu tidak akan merendahkan proses pendidikan kolonial dengan menyebut kaum terpelajar ini sebagai orang bodoh yang tidak paham masalah. Tapi di sisi lain kaum terpelajar ini juga tidak dapat dibiarkan merangsang apalagi memimpin perlawanan terhadap kekuasaan kolonial. Hal itu yang menjelaskan sikap mendua dari pemerintah kolonial saat Gubernur Jenderal kembali menggunakan exorbitante rechten terhadap pemimpin pergerakan dari kalangan terpelajar.[7] Tidak sedikit dari kalangan terpelajar yang dibuang ini dikenal baik oleh para pejabat kolonial, dan bahkan di antaranya ada yang memiliki hubungan dekat seperti patron dan klien.

Tirto Adhisoerjo termasuk orang buangan pertama dari kalangan terpelajar ini. Walau resminya ia didakwa melakukan pelanggaran pajak, alasan sesungguhnya adalah karena tulisan-tulisannya dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial. Sebelumnya ia beberapa kali keluar-masuk penjara karena perkara yang sama walau hanya untuk beberapa waktu. Pada 1913 ia akhirnya diantar oleh seorang inspektur polisi ke Batjan di Maluku. Ia baru kembali ke Hindia Belanda pada 1918 dalam keadaan lemah dan terasing dari pergerakan yang ikut dibangunnya di masa awal. Ia meninggal tidak lama setelah kembali ke Jawa. Tidak lama setelah Tirto Adhisoerjo dibuang, menyusul ‘Tiga Serangkai’ Tjipto Mangunkusumo, Suwardi Surjaningrat, dan Douwes Dekker. Mereka didakwa karena aksi mereka menyambut seratus tahun peringatan kemerdekaan Belanda dari cengkeraman Prancis. Kritik mereka terhadap acara itu – karena merayakan kemerdekaan di tengah masyarakat jajahan – dianggap meresahkan dan mereka dipaksa meninggalkan Hindia Belanda menuju Belanda.

Tindakan tegas tidak hanya diambil terhadap orang pribumi dan Indo-Eropa tapi juga orang Eropa sendiri. Pada Desember 1918 giliran pemimpin ISDV Henk Sneevliet yang menjadi sasaran pengusiran oleh Gubernur Jenderal. Ia didakwa menghasut orang melalui tulisannya di suratkabar. Setahun kemudian giliran pemimpin sosialis Jacob Brandsteder yang diusir dari Hindia Belanda karena kegiatannya menghimpun para buruh dan pelaut untuk melawan pemerintah kolonial. Salah satu gerakan yang dipimpinnya adalah peringatan 1 Mei 1918 yang pertama di Surabaya, melibatkan pelaut dan tentara berpangkat rendah. Setelah itu berturut-turut terjadi penangkapan dan pengasingan terhadap tokoh kiri seperti Tan Malaka dan Semaun yang dibuang ke luar negeri (Belanda) karena kegiatan politik mereka.

Pada 12 November 1926 gerakan kiri, terutama PKI dan Sarekat Rakyat, melancarkan pemberontakan besar di beberapa kota di Jawa, terutama Batavia dan Banten. Beberapa orang polisi tewas dalam peristiwa tersebut. Di Banten para pemberontak bahkan sempat menguasai kota selama beberapa hari yang membuat pemerintah kolonial mengerahkan tentara untuk menindas mereka. Pada Januari 1927 pemberontakan serupa terjadi di Silungkang, Sumatera Barat, di bawah pimpinan sejumlah ulama dan tokoh komunis setempat. Pemerintah kolonial menghadapi pemberontakan secara represif. Belasan ribu orang ditangkap di Jawa Barat dan Sumatera Barat. Beberapa orang langsung dieksekusi sementara ribuan lainnya disekap dalam tahanan. Seminggu setelah pemberontakan di Banten pemerintah kolonial sudah menyiapkan tanah pengasingan di Boven Digoel, sebuah tempat terpencil di hulu Sungai Digoel, sekitar 400 kilometer di sebelah utara Merauke, Papua bagian selatan.

Kamp ini merupakan tempat tahanan politik paling besar dalam sejarah kolonial. Sekitar 1.300 orang dibuang ke sana secara bertahap. Dari data-data yang tersedia diketahui bahwa banyak dari orang buangan ini adalah guru sekolah, petani dan kepala kampung. Sedikit di antaranya adalah buruh karena memang jumlah buruh industri masih sangat terbatas saat itu. Mereka tergabung dalam PKI dan/atau Sarekat Rakyat. Pengalaman pembuangan secara massal ini juga merupakan sesuatu yang baru bagi orang pribumi. Sebelumnya hanya para pemimpin yang diasingkan ke tempat yang jauh tapi sekarang lebih dari seribu orang yang sebelumnya belum tentu saling mengenal ditempatkan di kamp yang sama untuk alasan yang sama pula. Pengalaman ini justru membentuk identitas baru sebagai ‘Digulis’ yang cukup populer dan berpengaruh dalam perkembangan politik selanjutnya. Pengasingan politik dengan kata lain justru memberikan identitas politik baru kepada mereka yang mengalaminya.

Efek yang Tidak Diharapkan

Sejak masa VOC pengasingan politik dimaksudkan untuk memisah seorang tokoh, entah raja atau guru agama, dari para pendukung dan masyarakat luas. Hal yang tidak dibayangkan oleh penguasa adalah bahwa para tokoh ini juga bisa membangun komunitas baru di tempat mereka diasingkan. Dan hal ini terbukti berulangkali terjadi. Syekh Yusuf al-Makassari misalnya pada pertengahan abad ketujuhbelas dibuang ke Cape Town di Afrika Selatan. Awalnya ia membentuk sebuah komunitas kecil bersama keluarga dan sejumlah pengikut yang mengiringinya ke sana. Secara perlahan ia mulai mendapat perhatian dan dukungan dari orang setempat dan juga para pendatang yang beragama sama, dan dalam beberapa tahun ia berhasil membangun komunitas orang Melayu dan Islam yang cukup bsear. Dengan bekal kekuatan baru ini ia membangun kontak dengan tanah asalnya dan membangun jaringan transnasional yang cukup besar pengaruhnya dalam politik dan kehidupan sosial. Hal serupa juga dilakukan Kyai Maja saat dibuang ke Manado pada 1828. Bersama pendukungnya ia membentuk komunitas Jawa yang keturunannya masih bermukim di tempat yang sama sampai saat ini.[8]

Tapi hasil yang paling tidak diharapkan oleh penguasa kolonial adalah bahwa tempat pengasingan dan praktek pengasingan politik itu sendiri menjadi simbol perlawanan. Boven Digoel awalnya adalah momok yang menakutkan bagi orang pergerakan baik karena jaraknya yang jauh dan kondisinya yang menurut laporan suratkabar sangat menyeramkan. Memang para Digulis bukan orang pertama yang dibuang ke Papua. Sebelumnya Ali Archam dan Haji Misbach, keduanya tokoh komunis dari Jawa yang terkemuka, dibuang ke Manokwari. Tapi dibandingkan Boven Digoel tempat pengasingan mereka masih tergolong baik betapapun fasilitas dan kondisinya berbeda dari Jawa. Bovel Digoel sendiri baru dibuka beberapa saat sebelum Gubernur Jenderal membuat keputusan untuk membuang para tahanan politik ke sana. Kondisi alamnya berat, bukan hanya bagi para tahanan, tapi juga pasukan militer yang ditugaskan mengawal para tahanan. Jarak yang begitu jauh membuat banyak orang khawatir bahwa mereka tidak akan pernah kembali lagi ke tempat asal mereka seandainya sempat dikirim ke sana.

Tapi dalam beberapa tahun setelah cukup banyak orang yang dikirim ke sana, dan beberapa di antaranya kembali dalam keadaan selamat, pandangan ini mulai berubah. Gelombang demi gelombang tahanan dari kalangan PKI, PNI Baru dan Partindo, PARI dan Partai Sarekat Islam – dengan kata lain, wakil dari semua golongan non-kooperatif dalam pergerakan nasional – dikirim ke sana. Boven Digoel pun berubah dari momok yang menyeramkan menjadi simbol perlawanan terhadap penguasa kolonial. Ketika para pemimpin nasionalis seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, Iwa Kusumasumantri dan lainnya ditangkap, pengasingan politik sudah berubah maknanya menjadi ‘medali kehormatan’ bagi kaum pergerakan, yang menunjukkan bahwa perjuangan mereka memang sungguh-sungguh berarti sehingga mendapat respons keras dari penguasa kolonial.[9] Di Belanda sendiri Boven Digoel menjadi simbol penindasan kolonial. Para aktivis kiri menyebut Hindia Belanda sebagai sebuah politiestaat yang dalam politik Eropa di masa itu sama buruknya seperti fasisme.

Bagi masyarakat pribumi pandangan terhadap orang buangan juga perlahan berubah. Dalam suratkabar nasionalis Boven Digoel bahkan disebut sebagai kiblat kaum pergerakan dan para aktivis bersemangat menunggu ditangkap dan dikirim ke sana karena merasa sama pentingnya seperti menunaikan ibadah haji. Di kalangan sastrawan Boven Digoel juga mendapat tempat tersendiri. Para penulis Tionghoa peranakan seperti Kwee Tek Hoay bahkan membuat cerita bersambung yang tebalnya ratusan halaman, Drama di Boven Digoel. Oen Bo Tik sementara itu menulis Darah dan Air Mata di Boven Digoel dan Wiranta menulis Antara Idoep dan Mati, Atawa Air Boeron dari Digoel, yang terbit pada 1931.[10] Walau tidak sepenuhnya merupakan sastra perjuangan karya-karya tersebut membantu menghilangkan kekhawatiran publik terhadap  Boven Digoel dan para Digulis yang dibuang ke sana, berlawanan dengan keinginan penguasa kolonial yang ingin menampilkan mereka sebagai penjahat.

Pada akhir 1930an penguasa kolonial mulai sadar bahwa pembuangan politik bukan lagi strategi ampuh untuk meredam perlawanan. Pengasingan massal ke Boven Digoel mungkin berhasil meredam gerakan kiri radikal, tapi sebagai gantinya muncul gerakan nasionalis yang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta. Ketika kedua tokoh ini juga diasingkan bersama ratusan orang lainnya muncul tokoh baru seperti Amir Sjarifuddin. Dengan kata lain pengasingan politik malah memperlihatkan efek yang tidak diharapkan, yakni menambah barisan perlawanan dengan tokoh-tokoh baru yang datang menggantikan posisi para tokoh yang diasingkan.

Mereka yang diasingkan sementara itu juga tidak kembali “normal” seperti yang diharapkan penguasa kolonial. Justru sebaliknya hidup di pengasingan memberi ruang pada seseorang untuk memperdalam pengertian dan menempa komitmen pada perjuangan. Banyak tokoh yang diasingkan menuliskan pemikiran dan pengalaman mereka, baik yang bersifat teoretik maupun lebih strategis dan praktis sewaktu di pengasingan. Bentuknya bisa berupa buku yang utuh, kumpulan surat, atau himpunan tulisan lepas yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku.[11] Kehidupan yang sepi di pengasingan memungkinkan orang membaca secara teliti, membuat studi khusus mengenai subyek tertentu, mulai dari filsafat, sastra sampai agama, dan memperluas pemikiran melalui dialog dengan sesama orang buangan. Hatta misalnya selama diasingkan di Boven Digoel memberikan pelajaran tentang bermacam bidang ilmu kepada orang buangan yang lain. Bahan-bahan ceramahnya kemudian diterbitkan dalam bentuk buku seperti Alam Pikiran Yunani dan Pengantar ke Jalan Ilmu dan Pengetahuan.

Sebagian lain bergerak lebih jauh dengan cara mengorganisasi kekuatan dan perlawanan di tempat pengasingan. Dalam kasus Tjipto, Douwes Dekker, dan Suwardi Surjaningrat yang dibuang pada Oktober 1913 ke Belanda, kecenderungan ini nampak jelas. Ketika tiba di Belanda mereka disambut oleh anggota SDAP, partai buruh sosial demokrat, yang kritis terhadap kekuasaan kolonial Belanda. Ketiganya diberi kesempatan berbicara dalam kampanye politik menentang kebijakan kolonial dan menyampaikan gagasan politik mereka kepada publik Belanda serta mahasiswa dan pelajar Indonesia di sana. Tjipto bahkan kemudian secara khusus menulis seruan kepada mahasiswa Indonesia untuk hadir dalam pertemuan politik mendengarkan ceramah mereka.[12] Kegiatan mereka kemudian semakin berkembang dan memberi jalan bagi munculnya organisasi pemuda Indonesia di Belanda seperti Perhimpunan Indonesia satu dekade kemudian.

Di Ende, Soekarno yang pada awalnya kesepian karena jarak kultural dan politiknya dengan masyarakat setempat cukup besar akhirnya berhasil juga menggalang dukungan melalui teater. Ia mementaskan beberapa karyanya sendiri dengan menggunakan pemain setempat dan juga membina hubungan baik dengan gereja. Ia memang tidak berhasil membentuk cabang PNI atau Partindo selama di sana tapi ingatan masyarakat tentang masa tinggalnya yang relatif singkat, sekitar empat tahun, rupanya sangat kuat. Pada 1950an tumbuh gerakan nasionalis yang kuat di wilayah itu yang masih dapat dirasakan gemanya sampai 1990an. Ketika pindah ke Bengkulu, Soekarno bahkan lebih aktif lagi dalam politik, membina hubungan dengan tokoh Muhammadiyah dan juga kaum nasionalis setempat, yang juga berperan penting dalam perkembangan selanjutnya.

Alexander J. Patty, pendiri Sarekat Ambon dan juga tokoh nasionalis yang dibuang ke Palembang karena kegiatan politiknya dalam Partindo pada 1930an juga semakin aktif berpolitik. Seperti diberitakan suratkabar Belanda di masa itu, “ia hidup seolah ia bukan seorang buangan politik. Ia saat itu notabene anggota dan propagandis PNI! Dalam setiap pertemuan rakyat ia naik ke podium dan dengan leluasa berbicara tentang “Indonesia merdika…”[13] Berlainan dengan keinginan pemerintah kolonial untuk memisahkan para pemimpin dari pendukungnya, dalam beberapa kasus para pemimpin justru berhasil menggalang pendukung baru ke dalam gerakan. Strategi pemerintah kolonial untuk menempatkan para pemimpin ke wilayah yang berbahasa ibu berbeda justru menjadi pukulan balik karena para pemimpin dan pendukungnya justru menggunakan bahasa Melayu dan mengukuhkan kedudukannya sebagai bahasa pergerakan politik.

Sebaliknya pengaruh para pelarian politik dari luar negeri ke Hindia Belanda terkadang punya dampak yang signifikan, seperti para pengikut Sun Yat-sen yang melarikan diri ke Jawa pada awal abad keduapuluh dan kemudian mempengaruhi gerakan nasionalis Indonesia dengan gagasan kesetaraan, nasionalisme, dan perbaikan sosial. Tidak semuanya berkembang menjadi kisah sukses memang. Pada awal 1915 seorang aktivis anarkis dari India pernah diasingkan ke Jawa oleh pemerintah kolonial Inggris, yang bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda. Walau dalam pengasingan ia terus “berbuat onar” tapi tidak berhasil menggalang dukungan bagi perjuangannya di kalangan orang pribumi yang juga tengah bangkit. Hanya suratkabar Belanda yang memuat berita tentang dirinya, yang melihatnya juga sebagai masalah keamanan lebih daripada ancaman politik atau subversi. Karena terus menunjukkan perlawanan ia akhirnya dipindah ke Kupang dan untuk selanjutnya tidak pernah terdengar lagi.[14]

Tapi dari semua cerita tentang menggalang perlawanan di pengasingan, kasus yang paling spektakuler adalah aksi mogok dan boikot yang dilancarkan pelaut Indonesia dan Australia di Sydney pada September 1945 yang disebutkan di awal tulisan. Peristiwa itu menjadi mimpi buruk bagi elite penguasa di Belanda yang baru saja menikmati kemenangan setelah Jerman dan Jepang menyerah dalam Perang Dunia II. Bayangan bahwa mereka akan kembali menguasai Indonesia dengan mudah, kandas karena aksi ini. Aksi itu sekaligus menjadi tembakan pembuka bagi gelombang dekolonisasi yang melanda seluruh Asia setelah Perang Dunia Kedua, dan menempatkan para pejuang kemerdekaan Indonesia di barisan terdepan melawan kolonialisme dan imperialisme dunia.

Kesimpulan

Di masa lalu yang jauh pengasingan politik oleh penguasa kolonial masih merupakan strategi yang efektif karena bisa memisahkan para pemimpin dengan pendukung gerakan perlawanan. Tapi dalam perkembangannya strategi itu tidak lagi efektif dan bahkan menjadi pukulan balik bagi penguasa kolonial. Ada semacam paradoks di sini, karena ekspansi kekuasaan kolonial dimungkinkan justru dengan cara meredam perlawanan antara lain dengan membuang para pemimpinnya ke tempat yang jauh. Semakin meluas kekuasaan kolonial maka semakin merata pula geografi penindasan sehingga penderitaan di satu tempat – yang melahirkan perlawanan dan pemberontakan – juga dirasakan di tempat lain, termasuk di tempat para pemimpin itu diasingkan.

Exorbitante rechten yang awalnya menjadi senjata teramat efektif, pada akhirnya malah menimbulkan masalah karena membuat para gubernur jenderal mengambil langkah administratif untuk masalah yang hanya bisa diselesaikan secara politik. Dengan mengasingkan seseorang dan menganggapnya sebagai interniran maka pemerintah kolonial menciptakan kategori administratif yang sesungguhnya mengabaikan kenyataan dan justru memungkinkan orang pergerakan untuk memberi makna politik yang baru. Akar kesalahan strategi, atau lebih tepatnya kebodohan, ini adalah rasisme, yakni keyakinan bahwa orang pribumi pada dasarnya tidak mengerti apa yang sedang mereka perjuangkan. Pengasingan, terutama dalam kasus Boven Digoel, justru bertujuan untuk mengintegrasikan mereka ke dalam tatanan kolonial yang dianggap lebih unggul. Tidak disadari bahwa di kalangan pergerakan pengasingan itu menjadi semacam ‘medali kepahlawanan’ yang justru memperkuat persatuan di kalangan mereka.

Pada Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Jawa dan dalam waktu seminggu pemerintah kolonial angkat tangan. Gubernur Jenderal bersama pemimpin tinggi digelandang ke kamp tawanan perang bersama ribuan orang Belanda yang semula menjadi bagian dari elite penguasa di tanah jajahan. Setiap pagi mereka harus membungkukkan badan menghadap ke Tokyo, dan menjadi tontotan ribuan orang pribumi yang dulu bekerja sebagai pembantu, tukang kebun, supir, dan pesuruh. Tidak ada simpati dan dukungan dari mereka dan ingatan akan interniran di masa Perang Dunia Kedua menjadi kenangan paling buruk dalam sejarah. Di mata orang pribumi kekalahan telak itu menjadi bukti bahwa kolonialisme Eropa bisa dikalahkan dan kemerdekaan itu mungkin.

Hilmar Farid, 2013

Tulisan ini pernah dimuat dalam Jurnal Prisma  edisi SOEKARNO: Membongkar Sisi-sisi Hidup Putra Sang Fajar 
2 & 3, 2013.

Catatan Kaki

[1] Harry Poeze, “From Foe to Partner to Foe Again: The Strange Alliance of the Dutch Authorities and Digoel Exiles in Australia, 1943-1945,” Indonesia, Vol. 94, October 2012, hlm. 57-84.

[2] Rupert Lockwood, “Indonesian Exiles in Australia, 1942-47,” Indonesia, Vol. 10, October 1970, hlm. 48.

[3] I. G. Krisnadi, Tahanan Politik Pulau Buru, 1969-1979, Jakarta: LP3ES, 2001. Lihat juga Pramoedya Ananta Toer, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Jakarta: Lentera, 1995.

[4] Pada 1920 Hassan Djajadiningrat menuntut agar ada perubahan konstitusi yang menghapus hak-hak istimewa tersebut. Dua tahun kemudian, Kusumah Atmadja, salah satu ahli hukum pertama, menyatakan hal yang sama dalam disertasinya. Lihat Sebastian Pompe, The Indonesian Supreme Court: A Study of Constitutional Collapse (Ithaca: Southeast Asia Program Publications, Cornell University, 2005), hlm. 36.

[5] Robert Cribb, Historical Dictionary of Indonesia. Lanham: Scarecrow Press, 2004, hlm. 140.

[6] Pada 15 April 1896 diberitakan Gubernur Makassar mengantar seorang politieke banneling yang tidak disebutkan namanya dengan kapal bersama 50 orang prajurit infantri ke penjara di Selayar. Lihat Soerabaijasch Handelsblad, 15 April 1896

[7] Pramoedya Ananta Toer dalam novel Rumah Kaca menggambarkan kegelisahan Jacques Pangemanann saat harus menyingkirkan Tirto Adhisoerjo ke pengasingan. Di satu sisi Pangemanann tahu bahwa yang bersangkutan adalah ancaman terhadap keamanan dan keselamatan tanah jajahan, tapi di sisi lain ia terkagum padanya sebagai wakil kaum terpelajar dari bangsanya. Perlakuan terhadap kaum terpelajar yang dibuang ini juga sangat berbeda dengan perlakuan terhadap pemberontak bersenjata.

[8] Tim G. Babcock, Kampung Jawa Tondano: Religion and Cultural Identity (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1989).

[9] Dalam masyarakat Jawa yang dipengaruhi wayang pengasingan politik sering ditafsirkan sebagai ujian bagi calon pemimpin di masa depan. Dalam Mahabharata dan Ramayana pengasingan adalah episode yang penting dalam keseluruhan cerita. Di masa itulah Pandawa menimba pengetahuan dan pengalaman yang sangat mereka perlukan saat berhadapan dengan Kurawa di Kurusetra. Dalam Ramayana cerita dimulai justru ketika Rama diusir dari istana oleh ayahnya yang telah berjanji akan menyerahkan tahta kepada anak selirnya.

[10] Liang Liji, “Sastra Peranakan Tionghoa dan Kehadirannya dalam Sastra Sunda,” Archipel, Vol 34, 1987, p. 167

[11] Ketika dibuang ke Ende, Soekarno berulangkali menyurati Ahmad Hassan, pemimpin Persatuan Islam (Persis). Sebagian surat itu kemudian diterbitkan dalam Dibawah Bendera Revolusi, jilid 1 (Jakarta: Penerbit Di Bawah Bendera Revolusi, 1963). Surat-surat Sjahrir kepada Maria Duchateau dari pengasingan juga diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen (Amsterdam: De Bezige Bij, 1945).

[12] Poeze, Di Negeri Penjajah, p 90-91

[13] Het Nieuws van den Daag voor Nederlandsch-Indië, 23 Juli 1930.

[14] De Sumatra Post, 24 April 1915, Nieuwe Rotterdamsche Courant, 15 Oktober 1915

Sumber ilustrasi: Istimewa.