Istilah ‘globalisasi’ mungkin tidak terlalu asing lagi buat kita sekarang. Hampir setiap hari istilah itu kita baca atau dengar di media massa maupun percakapan sesama teman. Sayangnya dalam media massa istilah itu tidak pernah dijelaskan tuntas. Yang kita tahu hanya bahwa globalisasi itu di satu sisi positif bagi pengusaha dan pedagang karena memberi kesempatan masuk ke wilayah manapun di dunia. Di sisi lain globalisasi juga dilihat sebagai tantangan yang menuntut persaingan lebih tajam di antara pengusaha. Di tingkat internasional, pemimpin-pemimpin negara bertemu, seperti pertemuan APEC (Asia-Pacific Economic Cooperation) di Bogor tahun 1994, mengatur segala hal yang berkaitan dengan pembukaan negara masing-masing terhadap barang dagangan dan investasi dari negara lain. Di wilayah lain tegadi pertemuan serupa yang diberi nama AFTA (ASEAN Free Trade Area untuk Asia Tenggara), NAFTA (North American Free Trade Agreement untuk Wilayah Lautan Atlantik bagian utara). Sementara itu sejak tahun 1970-an sudah berlangsung perundingan yang diberi nama GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), yang akhirnya pada tahun 1995 menjadi WTO (World Trade Organisation atau Organisasi Perdagangan Dunia).

Dalam perundingan, kesepakatan dan organisasi itu semua hal yang berkaitan dengan penanaman modal dan perdagangan internasional, paling tidak yang menyangkut kepentingan para pengusaha dan pedagangnya. Kepentingan buruh juga dibicarakan serba sedikit, di sana-sini, tapi bukan untuk membela kepentingan buruh itu sendiri. Sebaliknya, masalah buruh sering dibicarakan oleh negara-negara maju untuk menekan negara Dunia Ketiga agar mengikuti skenario yang mereka atur. Hal ini pernah terjadi di Indonesia, saat Amerika Serikat mengancam akan memberhentikan fasilitas GSP bagi Indonesia jika tidak menghormati hak-hak buruh untuk berorganisasi.1) Banyak aktivis perburuhan dart berbagai kalangan ‘termakan’ oleh ‘sikap baik’ pemerintah Amerika Serikat, yang mereka pikir benar-benar membela kepentingan buruh. Nyatanya, ‘sikap baik’ itu hanya ada jika Amerika Serikat sedang punya persoalan dengan kebijaksanaan dagang yang tidak menguntungkan bagi mereka.

Risalah singkat ini akan membahas beberapa masalah di atas. Pertama, tentunya soal globalisasi itu sendiri. Apa yang sebetulnya terjadi dalam proses globalisasi itu? Apa bedanya dengan era industnalisasi substitusi impor, orientasi ekspor, yang sering kita dengar sebelumnya? Dari sini kita membahas bagaimana Indonesia masuk ke dalam proses globalisasi tersebut. Bagaimana sikap dan kebijaksanaan pemerintah terhadap globalisasi perdagangan. Pihak mana saja yang diuntungkan oleh sikap pemerintah itu? Terakhir, yang terpenting, apa anti globalisasi bagi buruh di Indonesia. Dan bagaimana seharusnya sikap kita terhadap globalisasi?

Globalisasi Ekonomi

Istilah ‘globalisasi’ sebenarnya mengacu kepada makin menyatunya unit-unit ekonomi di dunia ke dalam satu unit ekonomi dunia. Secara kongkret bisa digambarkan begini. Celana yang kita pakai itu bisa jadi kainnya dibuat oleh buruh tekstil di Thailand, kancingnya di Korea Selatan, resleting-nya di Mexico, lambangnya di India dan penjahitannya sampai jadi celana di pabrik tempat kita kerja. Setelah jadi, barangnya dibawa dan dijual di Inggris dan Eropa Barat, dan dibeli oleh turis dari Amerika Latin. Atau ambil contoh lain, komputer yang dipakai mengetik makalah ini. Layar monitornya mungkin dirakit di Singapura, tapi banyak komponennya yang dibikin di Jepang, Taiwan atau Korea Selatan, sementara kabel listriknya dibikin di Amerika Serikat. CPU-nya lebih remit lagi. Tempat disketnya dibikin di Jerman, tombol-tombolnya di Malaysia, dan komponen lainnya di Argentina. Ini semua belum tentu benar, narnanya juga contoh, tapi dalam kenyataan kurang lebih begitulah.

Nah, buat kita yang daya jelajahnya paling-paling keliling Jawa, kenyataan seperti itu terasa aneh. Bagaimana mungkin mengatur produksi barang yang dibikin di tempat yang berjauhan. Di sinilah peran perusahaan raksasa yang disebut perusahaan multinasional (multinational corporations atau MNC). Perusahaan semacam ini yang mengatur arus barang dan menjaga produksi agar selesai tepat pada waktunya, dan agar terus bisa bikin keuntungan.2) Karena jaringannya tersebar di mana-mana, maka bukan masalah untuk mendatangkan komponen dari segala penjuru dunia dan dirakit di tempat lain. Makin remit barangnya, makin besar modal yang diperlukan untuk mengatur produksinya dan makin besar perusahaan yang mengelolanya.

Kalau melihat hasil akhimya mungkin kita tetap saja bingung. Mari kita lihat proses sampai terciptanya keadaan seperti itu. Pada abad ke-19, sekitar 150 tahun yang lalu, produksi barang dagangan belum sehebat sekarang. Kebanyakan pengusaha baru mulai mengumpulkan modal, dan juga belum malang melintang di seluruh dunia. Pengusaha-pengusaha di apa yang kemudian disebut negara maju (Eropa dan Amerika Utara) dapat keuntungan besar dari kolomalisme di negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin. Keuntungan ini kemudian dipakai untuk mulai memproduksi barang-barang lain. Jadilah mereka berkembang menjadi pengusaha yang punya banyak perusahaan di berbagai bidang.3) Di tanah jajahan itu juga mereka membangun perusahaan baru, atau bekerjasama dengan perusahaan setempat. Kerjasamanva ada yang sebagai ‘mitra sejajar’ artinya saling memberi keuntungan, ada yang hanya memperlakukan sebagai boneka karena orang asing dilarang bekerja di negeri itu misalnya. Bentuk perusahaannya bisa macam-macam juga, misalnya joint-venture, investasi langsung, dan lainnya, tapi intinya adalah semua kegiatan produksi dan distribusi barang yang dihasilkan diatur oleh pemilik modal.

Untuk menyebarkan barangnya, perusahaan raksasa ini perlu tempat-tempat yang pasti. Mereka lalu mendekati pemerintah yang berkuasa di satu negeri, dan meminta jaminan bahwa hanya produk perusahaan mereka yang boleh dijual di negeri tersebut. Praktek ini namanya monopoli dan berlaku juga untuk impor barang tertentu dari luar negeri. Karena praktek monopoli dan pencaplokan perusahaan ini maka lama-lama muncul perusahaan multinasional raksasa. Cabangnya ada di seluruh dunia, belum lagi jaringan bisnisnya. Perusahaan raksasa seperti ini paling banyak ada di Amerika Serikat pada awalnya. Negara ini hampir tidak tersentuh Perang Dunia I maupun II sehingga dengan tenang bisa terus membangun dirinya menjadi kekuatan ekonomi dunia. Jepang sempat luluh lantak pada Perang Dunia lI, tapi kemudian bangkit menjadi kekuatan yang amat penting. Di beberapa negara lain di Eropa Utara, ada juga perusahaan raksasa semacam itu, tapi jumlahnya tidak terlalu banyak.

Dalam globalisasi sekarang ini ada tiga hal dasar: (1) penghapusan hambatan dagang dan penanaman modal yang menciptakan gerak modal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Keputusan menghapus batas-batas itu memungkinkan perusahaan Jepang menanam modalnva di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia dan begitu juga sebaliknya (kalau mampu); (2) pembentukan blok-blok perdagangan regional seperti AFTA, NAFTA, CIS, MERCOSUR, APEC, dan lainnya yang punya komitmen memajukan perdagangan bebas. Di tingkat dunia, para pemimpin dunia sepakat untuk membentuk GATT dan kemudian WTO. Perkembangan ini kemudian memaksa pemerintah anggota blok perdagangan untuk mengeluarkan (3) peraturan dan undang-undang yang sesuai dengan kenyataan integrasi ekonomi yang baru, perdagangan bebas dan liberalisasi ekonomi.

Banyak pengamat menilai bahwa di dalam situasi seperti ini peran negara sebagai pembuat kebijaksanaan tidak lagi penting, dan hanya sekadar menjadi pelayan kepentingan pasar bebas. Sepintas memang benar, karena keputusan di bidang ekonomi makin lama makin bergantung pada negosiasi dan kebijaksanaan di tingkat internasional, dalam forum APEC dan sejenisnya. Tapi di sisi lain, negara masih berkuasa penuh terhadap wilayahnya, terutama dalam hal menjaga keamanan dan ketertiban, sekaligus mengatur kepatuhan buruh. Hal ini akan kita bicarakan lebih lanjut di bagian belakang.

Di Asia Pasifik, ada dua kekuatan besar yang berkuasa, yakni Amerika Serikat dan Jepang. Amerika Serikat berkuasa terutama secara militer, terbukti dari keterlibatannya dalam politik dalam negeri sejumlah besar negara. Di Filipina, saat masih ada pangkalan perang Subic Bay dan Clark, pemenntah Amerika Serikat menjadi unsur yang menentukan, terutama saat penggulingan Marcos dari jabatan presiden dan kehidupan politik secara umum. Pemerintah Indonesia saat ini juga sedang menghadapi tekanan dari pihak Amerika Serikat, yang mengecam tindakan keras militer dalam menghadapi masalah 27 Juli 1996. Secara ekonomi Amerika Serikat juga memiliki kepentingan yang luas di wilayah ini. Di Indonesia khususnya dalam bidang eksplorasi minyak dan hasil-hasil tambang. Jepang sementara itu dalam ekonomi Asia-Pasifik adalah kekuatan tekno-ekonomi yang paling besar dan kuat. Jaringan TNC-nya di wilayah ini sudah jauh melebihi kekuatan Amerika Serikat, khususnya dalam sektor manufaktur. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya produk Jepang di pasaran Indonesia, khususnya barang-barang elektronik atau listrik. Perlu diketahui, karena kelebihan Jepang dalam pengembangan teknologi, ia menciptakan ketergantungan baru–dari segi industri–dalam hubungannya dengan negara-negara industri baru (newly industrialized countries).

Bagaimana Indonesia menghadapi Globalisasi?

Dalam diskusi-diskusi kita sering mendengar istilah industrialisasi substitusi impor (ISI) dan industrialisasi orientasi ekspor (I0E). Keduanya digambarkan sebagai strategi industrialisasi yang dikembangkan oleh negara. Strategi pertama (substitusi impor) berlangsung sejak tahun 1970-an, saat pemerintah menggarap habis-habisan sumber daya mmyak dan gas bumi. Pendapatan dari sektor ini begitu besar sehingga pemerintah dapat menghidupkan banyak kegiatannya tanpa perlu pinjam uang (hutang) atau dapat bantuan dari negara lain. Bagi yang sudah besar di tahun 1970-an mungkin masih ingat betapa susahnya menemukan barang-barang impor untuk kebutuhan sehan-hari seperti sepatu, baju dan sebagainya. Sekarang sepatu Nike bukan barang langka lagi di pasaran, walau tetap tidak terjangkau oleh kebanyakan teman-teman. Nah, strategi ini berubah di tahun 1980-an, saat pendapatan dari minyak dan gas bumi ini jauh menurun. Hal ini terlihat dari ramai-ramamya pejabat pemerintah (sampai Presiden Soeharto sendiri) bicara soal perlunya ekspor non-migas.

Ketika menyusun strategi industnalisasi itu, pemerintah tidak sendirian. Ada banyak penasehat, terutama yang berasal dari negara dan lembaga donor, seperti Amerika Serikat dan Jepang serta Bank Duma dan IMF. Saat dicanangkannya strategi ekspor, pemerintah tidak punya banyak pilihan. Selama ini andalan ekonominya adalah minyak dan gas bumi. Industri manufaktur hanya sedikit saja, dan infrastrukturnya terlalu lemah untuk menjadi sebuah wilayah industri baru. Karena itu pemenntah lalu membuka Indonesia bagi penanaman modal asing, yang diharapkan dapat membantu mengembangkan dunia industri. Sejak tahun 1980-an mulailah dibangun pabrik dan kemudian wilayah industri (Tangerang, Bogor dan Bekasi di Jawa bagian Barat; Gerbangkertasusila di Jawa Timur, dan lainnya) di seluruh Indonesia yang mencapai puncaknya pada tahun 1990an ini. Kembali ke contoh sepatu, bersamaan dengan itu kita juga melihat banjirnya pasaran dengan barang-barang ‘luar negen’ seperti Nike, Reebok, dan merk-merk lainnya.

Perubahan strategi ini semula dianggap sangat berhasil karena pendapatan negara dan angka pertumbuhan melonjak tinggi. Secara bertahap pemerintah mengeluarkan aturan-aturan baru yang menjamin penanaman modal asing secara langsung, dan memudahkan fasilitas dagang dan investasi di Indonesia. Pada tahun 1994 dikeluarkan PP20/1994 yang mengembalikan status investasi asing di Indonesia seperti pada masa awal berdirinya Orde Baru, yaitu bahwa investasi bisa 100% dimiliki orang asing (semula harus kerjasama dengan pengusaha dalam negeri). Kalau kita-kita berhenti pada angka-angka pertumbuhan dan devisa mungkin kita sudah puas dan ikut manggut-manggut. Tapi industrialisasi ini punya sisi lain.

Sejak 1990 kita mencatat gelombang pemogokan yang makin besar di seluruh Indonesia. Sekarang ini pemogokan sudah bukan barang aneh bagi buruh di Indonesia. Hampir setiap hari ada berita di media massa tentang buruh mogok di berbagai pabrik dan daerah. Tuntutan umumnya kenaikan upah dan kesejahteraan. Ada beberapa yang bahkan menuntut perubahan politik yang lebih menjamin kehidupan buruh. Pemerintah bilang bahwa gelombang pemogokan ini terjadi karena ada ‘pihak ketiga’ yang menunggangi tapi pengalaman kita mengatakan bahwa pemogokan itu terjadi karena buruh-buruhnya sudah tidak puas dengan keadaan mereka, baik dari segi upah maupun kesejahteraan secara umum. Di sisi lain terjadi juga protes di kalangan petani, dan sektor-sektor masyarakat lainnya, yang umumnya memprotes pemerintah karena kebijaksanaannya atau bahkan menuntut agar pemerintah menyediakan penghidupan yang lebih baik (membagi rezeki yang didapat selama ini kepada rakyat).

Kenyataan ini juga perlu dipertanyakan: mengapa saat adanya peningkatan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi (katanya) justru buruh-buruh protes karena upahnya tidak cukup dan merasa hidupnya tidak sejahtera? Di sini juga ada kontradiksi, di satu sisi makmur; di sisi lain menderita. Untuk mengerti persoalan ini, kita perlu melihat industri macam apa yang dibangun di Indonesia selama ini, dan bagaimana pengelolaannya. Setelah rezeki minyak berlalu, pemerintah–dengan dukungan pengusaha, lembaga dan negara donor–untuk membangun mdustri yang berorientasi ekspor. Tujuannya tidak lain agar ada pemasukan dari sektor lain yang bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Para pemilik modal tentunya bertanya-tanya: “apa yang bisa you tawarkan, kok berani-beraninya mengundang kita menanam modal?”

Dalam industri ada tiga hal penting: modal, bahan mentah dan tenaga kerja. Kalau modal jelas Indonesia tidak punya. Di tahun 1980-an belum ada pengusaha-pengusaha mentereng (konglomerat) seperti Liem Sioe Liong, kelompok Bimantara, Bakrie Brothers, Lamtoro Gung Persada, Sudwikatmono, dan sebagainya. Mereka sudah mulai bisnis tapi ukurannya masih kecil, dan (sampai sekarang) belum ada apa-apanya dibandingkan TNC dari Amerika Serikat (Exxon, Caltex, Freeport) atau Jepang (Toyota, Mitsubishi). Yang berduit di zaman itu adalah pemerintah sebagai pengelola Pertamina, beberapa orang yang sudah lama jadi pengusaha dan orang-orang yang pegang lisensi menggarap sumber daya alam, seperti hutan dan lainnya. Jadi, belum terbentuk kumpulan pemilik modal yang kuat. Bahan mentah, Indonesia cukup kaya, tapi industri yang mengolah bahan itu belum banyak berdiri. Bahan mentah itu juga kebanyakan hasil tambang dan hutan, itupun terbatas. Sementara itu industri berorientasi ekspor itu membutuhkan bahan mentah yang beragam, bukan hanya hasil tambang dan hutan. Jadi, dari segi bahan mentah pun belum cukup. Nah, kalau tenaga kerja, jumlahnya seabrek-abrek. Penduduk Indonesia jumlahnva saat itu 175 juta orang dan 70% berada dalam usia angkatan kerja. Banyak di antara penduduk ini menganggur karena tidak ada lowongan kerja. Dan ini oleh ahli-ahli ekonomi disebut sebagai ‘keunggulan komparatif’ karena tenaga kerja di negara-negara lain, harganya sudah sangat mahal. Pada tahun1970-an juga tidak ada serikat atau organisasi buruh yang mengurus upah, jadi tingkat upah (sampai sekarang) ditentukan sepihak oleh pemerintah. Kalaupun ada pihak lain yang didengar maka itu adalah pengusaha yang berkepentingan sekali mendapat tenaga kerja murah.

Nah, berdirilah industri Indonesia yang bersandar pada buruh murah dan sedikit bahan mentah. Sejak itu beramai-ramai pengusaha internasional datang ke Indonesia, menanam modalnya, mendinkan pabrik dan merekrut buruh. Beberapa pengusaha dalam negeri ikut memanfaatkan kesempatan ini dengan mendirikan perusahaannya sendiri atau kalau modalnya tidak cukup mendirikan perusahaan patungan (joint-venture). Ini khususnya berlaku untuk industri manufaktur yang belum banyak dikembangkan pada masa itu. Industri tambang, seperti Freeport di Irian Jaya, dan pengeboran minyak, sudah lama dipegang oleh perusahaan asing. Mereka bahkan mendapat fasilitas khusus dengan sistem bagi hasil yang mirip dengan sistem produksi di zaman kolonial. Di samping itu ada beberapa sektor industri yang dilindungi oleh negara, karena sifatnya strategis dan penting bagi masyarakat. Dalam pembicaraan sehari-hari sektor itu kita kenal dengan ‘sektor monopoli’.

Setelah berjalan selama beberapa tahun, muncul isyu globalisasi. Indonesia terlibat aktif di dalamnya, dan bahkan menjadi penyelenggara konperensi APEC di Bogor pada tahun 1994. Terlibatnya Indonesia dalam forum perdagangan bebas membawa pengaruh besar bagi kalangan pengusaha. Sebelumnya pemerintah sering memberikan lisensi atau hak monopoli kepada pengusaha tertentu. Hak itu melindungi si pengusaha dari serbuan modal asing yang dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan yang sama di Indonesia. Misalnya HPH hanya diberikan kepada pengusaha dalam negeri walaupun banyak pengusaha asing yang punya kemampuan dan ingin memanfaatkan kesempatan itu. Belakangan ini kita dengar berita tentang mobil nasional, Timor yang dikelola oleh Tommy Soeharto. Perusahaannya mendapat fasilitas khusus dari pemerintah untuk mengimpor komponen dan unsur produksi lainnya, agar dapat menjual mobil nasional lebih murah ke pasaran (dan sekaligus menguasai pasar). Dalam sektor petrokimia hak istimewa diberikan kepada PT Chandra Asri yang sempat menciptakan perdebatan hangat di kalangan pengusaha, karena merasa praktek monopoli seperti itu tidak fair. Sebelumnya ada kasus BPPC yang memberikan hak monopoli dalam perdagangan cengkeh. Dalam era perdagangan bebas, praktek semacam itu tidak dibenarkan, karena prinsipnya “semua orang mendapat kesempatan yang sama”. Sekarang ini tengah terjadi perdebatan dan pergeseran kebijakan yang harus mendukung prinsip perdagangan bebas dan penghapusan segala macam hambatan untuk menanam modal di Indonesia.

Di atas kertas, pemerintah Indonesia akan ikut dalam arus perdagangan bebas, dengan menyesuaikan kebijaksanaan ekonominya dengan prinsip-prinsip yang dicanangkan oleh forum perdagangan regional dan internasional itu. Dalam kenyataan masih terus terjadi praktek monopoli dan pemberian hak istimewa kepada pengusaha tertentu. Ini tentunya menciptakan kontradiksi. Di satu pihak punya komitmen pada perdagangan bebas, tapi di sisi lain tetap ada praktek monopoli. Dalam kasus mobil Timor misalnya, pemerintah Amerika Senkat dan Jepang mengecam kebijakan memberikan hak impor bebas bea itu karena dinilai bertentangan dengan prinsip-prinsip perdagangan bebas yang dicanangkai dalam WTO dan APEC. Dan sampai sekarang masalah itu tetap masuk dalam agenda pembahasan ekonomi internasional tentang Indonesia.

Di sampmg kontradiksi itu yang menonjol juga masalah pengembangan sektor industri dalam kehidupan ekonomi nasional. Seperti kita lihat, industri Indonesia bersandar pada tenaga kerja murah dan sedikit bahan mentah. Terlalu banyak uang yang harus dikeluarkan untuk menciptakan industri hulu semacam baja atau logam, olefin dan lainnya, dan panjang sekali waktu yang diperlukan untuk mendapatkan keuntungan (akumulasi modal). Para penanam modal asing dari Jepang, negara-negara Asia Timur lainnya (Korea Selatan, Taiwan) juga punya kerangka berpikir seperti ini. Saat ini arus modal mereka mulai masuk ke Indonesia dalam jumlah yang sangat besar, tapi hanya pada sektor manufaktur ringan, dan kadang-kadang bekerjasama dengan pengusaha dalam negeri. Pabrik-pabrik yang mereka dirikan sudah dihitung dapat memberikan keuntungan dalam waktu singkat, karena pada dasarnya hanya merupakan ‘pindahan’ (relokasi) dari negara-negara yang tenaga kerjanya sudah mahal. Upah buruh di Indonesia sekarang ini termasuk yang paling rendah di Asia dan juga di dunia.

Semua ini punya akibat yang serius bagi buruh yang menjadi tulang punggung industrialisasi ini.

Lantas, Apa Arti Semua itu Bagi Buruh?

Berkembangnya industrialisasi, terutama dengan masuknya gelombang modal asing ke Indonesia pada tahun 1980-an pertama-tama berarti terjadinya pemusatan penduduk di daerah perkotaan. Pedesaan atau basis kegiatan pertanian, yang tidak begitu terurus, makin terbengkalai saja. Di dalam konsep perdagangan bebas sektor pertanian akan lebih sengsara lagi karena harus membuka pasar dalam negeri bagi barang-barang pertanian dari luar. Pemusatan penduduk di daerah perkotaan ini makin memperlemah sektor pertanian dari segi tenaga kerja, dan juga makin banyaknya orang yang terserap ke dalam sektor industri (tidak harus sebagai buruh).

Dari penjelasan di atas kita lihat bahwa tenaga kerja adalah unsur penting dalam pembangunan industri. Para perencana pembangunan, baik dari dalam negeri maupun lembaga-lembaga ekonomi seperti IMF dan World Bank yang didominasi Amerika Serikat sadar betul akan kenyataan itu. Adalah mereka yang juga ‘membantu’ menyusun konsep industrialisasi onentasi ekspor yang mengandalkan buruh murah dan sedikit bahan mentah. Memang secara statistik, strategi mdustrialisasi untuk ekspor ini menghasilkan pertumbuhan yang mengesankan, tapi pertumbuhan itu dibangun dengan menekan buruh sedemikian rupa secara ekonomi maupun politik. Secara ekonomi, upah buruh ditentukan sepihak oleh pemerintah berdasarkan standar-standar tanpa melibatkan buruh. Berdatangannya orang dalam jumlah besar ke kota-kota (urbanisasi) juga menghasilkan wilayah pemukiman yang amburadul dan jauh dari standar kesejahteraan. Sebagian kita mungkin terima jadi saja, ‘memang sudah nasibnya begitu’. Tapi perlu diingat bahwa keadaan itu sebenarnya terjadi karena adanya proses globalisasi yang didukung oleh policy pemerintah. Karena tidak adanya akses buruh ke meja perundingan ekonomi internasional, regional, nasional, lokal maupun tingkat pabrik, maka masalah-masalah itu terbengkalai begitu saja. Perhatian dari pengusaha maupun pemerintah baru ada kalau protes sudah terjadi, dan korban sudah berjatuhan.

Perundingan APEC, WTO dan sebagainya memang tidak pernah memperhitungkan unsur buruh di dalamnya, karena para pemikirnya berangkat dari pemikiran bahwa buruh hanyalah faktor tenaga kerja yang statis dan diperlakukan sebagai salah satu deret statistik saja. Secara politik pemerintah menjamin ketidakterlibatan buruh dengan menutup kemungkinan berorganisasi. Jika kita lihat di negara-negara lain, seperti Afrika Selatan, buruh memainkan peranan penting dalam menentukan kebijaksanaan ekonomi nasional dan juga berpengaruh dalam pembentukan forum regional tentang perdagangan bebas.

Dari uraian di atas kita lihat ada kontradiksi kepentingan di antara rezim perdagangan bebas dan industri nasional (monopoli versus liberalisasi). Praktek merkantilisme seperti BPPC clan tata niaga jeruk juga ditentang karena tidak sesuai dengan prinsip pasar bebas. Kelihatannya dalam beberapa tahun mendatang Indonesia akan mendapat masalah dengan praktek-praktek itu. Amerika Serikat dan Jepang adalah pihak-pihak yang sangat berkepentingan untuk menghapus praktek monopoli itu, dan sekarang sudah terus melancarkan kecaman. Dalam kasus ini Amerika Serikat juga ‘memakai’ isyu perburuhan dan hak asasi manusia untuk menekan Indonesia menjadi lebih terbuka dan liberal dalam kebijaksanaannya. Sepintas lalu, tampak ada kesesuaian kepentingan, karena dua-duanya (Amenka Senkat maupun buruh) giat memperjuangkan kebebasan organisasi, tapi kepentingan dasarnya sangat berbeda. Organisasi buruh sekarang menghadapi masalah ini. Di satu sisi mendesaknya kebutuhan berorganisasi ini ditopang oleh ‘dukungan’ Amerika Serikat yang juga menghendaki berkurangnya kekuatan terpusat yang lebih sulit mereka kontrol. Kalau ada serikat-serikat buruh dan organisasi masyarakat yang kuat mengimbangi pemerintah, maka kekuasaan tidak lagi ada di satu institusi saja, dan dalam keadaan seperti itu lebih mudah pula dilakukan negosiasi dan sebagainya.

Catatan:

1) Generalized System of Preferences (GSP) adalah aturan pemerintah Amerika 5erikat tentang perdagangan mereka dengan negara-negara lain. Aturan itu menyediakan berbagai kemudahan dagang (yang memberi keuntungan) bagi negara lain, yang sewaktu-waktu bisa dicabut jika pemerintah negara lain itu tidak memenuhi bermacam tuntutan pemerintah Amerika Serikat.

2) Sekarang ini seperempat dari seluruh aset produktif di dunia (alat produksi seperti mesin, gedung, tanah dan sebagainya) dikuasai sekitar 300 perusahaan raksasa semacam itu. Jaringan perusahaan semacam itu tersebar di seluruh dunia, juga di Indonesia. Pendapatan perusahaan raksasa ini juga luar biasa. Pada tahun 1980, penjualan tiap 10 perusahaan multinasional terbesar di dunia mencapai $28 milyar dolar, lebih besar dari pendapatan nasional banyak negara di dunia. Penjualan perusahaan Exxon misalnya lebih besar dari pendapatan nasional Denmark, Austria dan Norwegia. General Motors kalau dianggap sebagai negara, maka namanya akan masuk ke dalam jajaran 20 negara terkaya di dunia.

3) Ada juga uangnya yang tidak langsung ditanam ke pabrik atau tempat produksi tertentu. Uang itu mereka kumpulkan di satu tempat yang namanya bank. Simpanan itu kemudian mereka pinjamkan kepada orang atau pengusaha lain (kredit) yang harus dibayar kembali dengan bunga. Kalau tidak sanggup bayar bunga, maka orang itu harus menyerahkan barang miliknya (tanah atau perusahaan) sebagai gantinya. Itu sebabnya banyak konglomerat yang bisa punya ratusan perusahaan dalam waktu sekejap.

Hilmar Farid, 1996