Selamat bertemu kembali pembaca dengan saya, Faisol Riza. Pada kesempatan ini kita akan berbincang tentang hal-hal yang berbau sejarah karena tamu kita seorang sejarawan, yaitu Hilmar Farid.Dia sejarawan yang masih muda, alumnus Universitas Indonesia dan saya kira pelan-pelan orang akan mengetahui ternyata banyak orang muda mempunyai perspektif dan pandangan sejarah yang jauh ke depan dan patut dijadikan pegangan buat bangsa ini. Anda bisa menemukan banyak pandangan-pandangannya baik di media massa maupun di beberapa terbitan buku dan juga media online. Sekarang dia bekerja di Jaringan Kerja Budaya (JKB) dan sukarelawan di ELSAM (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat).

Farid meminta kita jangan takut pada sejarah. Kita harus berani melihat hal yang tidak mengenakkan sekalipun di dalam kehidupan atau masa lalu bangsa ini. Hanya dengan begitu orang akan bisa bangga. Kalau sekarang kebanggaannya betul-betul semu, dibungkus dengan kata-kata bagus, pakaian kehormatan, dan segala macam upacara kehormatan. Tetapi pada saat bersamaan kita sebetulnya mengetahui itu kosong.

Berikut wawancara Faisol Riza dengan Hilmar Farid.

Bung Farid, beberapa waktu lalu ada polemik mengenai buku Habibie yang baru terbit. Dalam kasus ini orang menjadi bingung, mana yang lebih benar atau akurat. Menurut Anda sebagai sejarawan, bagaimana kita harus menempatkan setiap peristiwa dan segala macam terbitan buku baik dari Habibie atau Wiranto maupun Prabowo yang akan menulis buku?

Kalau kemelut politik 1998-1999 seperti dibicarakan dalam buku Habibie itu masih terlalu dekat untuk ditaksir, dianalisis, dan dipahami secara menyeluruh. Masih begitu banyak orang yang berkepentingan agar kebenaran tidak muncul. Perdebatan antara Habibie, Prabowo, dan kemudian Wiranto sebetulnya mencerminkan dalam masalah. Masing-masing merasa memiliki versi yang benar dan ingin versinya itulah yang menjadi kesadaran publik atau menjadi pengetahuan masyarakat. Sebagai orang yang menekuni sejarah, saya kira perlu dibedakan antara penulisan sejarah dan kesaksian mengenai masa lalu. Buku seperti buku Habibie dan juga buku Prabowo kalau nanti dibuat sebetulnya merupakan kesaksian dari pelaku sejarah. Jadi orang yang mengalami itu ingin menceritakan apa yang dia dengar, lihat, dan seterusnya. Kita mesti menyadari sejak awal mengenai keterbatasan dari penulisan seperti ini karena dia tidak bisa melihat semuanya. Dia melihat hal-hal yang langsung dialami atau mungkin didengar. Kadang-kadang dia hanya mau menulis hal-hal yang ingin diingat saja. Ada hal-hal yang dia tidak ingin ingat maka diabaikan.

Jadi untuk satu penilaian sejarah yang lebih utuh barangkali butuh waktu untuk dianalisis lebih mendalam. Tetapi ada juga orang yang mengatakan ini hanya versi para pelaku, mungkin beberapa orang yang ada di puncak-puncak kekuasaan. Padahal peristiwa ini tidak menyangkut 3-4 orang saja. Apakah itu yang mungkin ingin Anda katakan juga?

Bagi saya, sebetulnya yang perlu dicatat adalah bukan hanya soal apakah pada saat itu akan terjadi kudeta atau tidak Itu satu masalah yang dialami oleh kalangan elit politik pada saat itu. Yang menarik dari buku Habibie itu adalah tidak ada keterangan mengenai apa yang terjadi pada mahasiswa-mahasiswa yang dibunuhnya atau rakyat yang dibunuh pada periode itu. Saya kira buku Prabowo nanti juga tidak akan menyinggung mengenai siapa sebetulnya yang terlibat dalam penembakan ini. Kalau berbicara mengenai sejarah yang ingin diungkap sebetulnya ada banyak dimensi yang sampai sekarang masih tertimbun. Bagi saya itu jelas menjadi prioritas cerita-cerita yang hilang versinya dari kalangan elit ini.

Tapi seolah-olah buku itu juga ingin mengatakan bahwa kudeta itu tidak boleh. Apakah memang tidak boleh kudeta?

Mengenai boleh atau tidak boleh pengambil-alihan kekuasaan di luar jalur hukum yang terjadi sepanjang sejarah, penilaian moral yang kita berikan mengenai hal tersebut sangat ditentukan oleh apa yang terjadi sesudahnya. Jadi ada kudeta yang positif dan ada kudeta yang negatif. Bagi saya, kemelut politik 1998-1999 yang mungkin pada saat itu mengarah kepada kudeta sebetulnya lebih seperti topan dalam gelas saja, hanya keributan di kalangan elit. Jadi bagi rakyat banyak, saya kira tidak ada manfaatnya terjadi kudeta ataupun tidak.

Apakah pada saat itu kira-kira akan terjadi kudeta atau tidak?

Saya kira pengambilan perebutan kekuasaan itu terjadi walaupun kalau kita membaca versinya Habibie ini juga terlalu dramatis. Artinya, dia menggambarkan seolah-olah betul-betul ada rencana yang lengkap untuk menyingkirkan dia dan munculnya beberapa orang yang ingin mengambil alih kekuasaan. Sebetulnya kalau dilihat pada saat itu siapapun berkesempatan dan Habibie jelas bukan orang yang disetujui oleh semua pihak. Saya kira orang yang ingin mengambil kesempatan untuk merebut kekuasaan bukan satu-dua orang saja.

Sejarah di Indonesia memang seringkali berwarna agak kabur, baik peristiwa yang baru saja terjadi atau peristiwa masa lalu. Misalnya peristiwa 1965, sekarang Kejaksaan Agung meneliti buku sejarah untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) mengenai peristiwa 1965 yang dianggap salah dari kurikulum. Nah itu membuat kita jadi bertanya sebenarnya apakah betul atau tidak sejarah kita agak kabur?

Sejarah sebetulnya sangat terbuka bagi tafsir yang berbeda. Saya kira kekaburan itu muncul ketika tafsir beradu dengan tafsir sehingga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang belum terjawab, atau dalam bahasa sehari-hari itu menjadi tidak jelas. Misal, ada orang mengatakan A, yang satunya mengatakan B, dan pembaca atau orang yang mengikuti berbagai versi ini kemudian seperti kehilangan jejak mana yang benar. Saya kira itu bukan sesuatu yang negatif karena memang sudah semestinya orang bertanya-tanya secara kritis mengenai masa lalu.

Untuk kasus 1965 yang tadi disebut, saya kira itu ada persoalan yang lebih serius. Perdebatannya adalah apakah istilah kata Partai Komunis Indonesia (PKI) itu harus ditambahkan atau tidak pada Gerakan 30 September (G 30 S). Apakah kita cukup menyebutnya G 30 S saja atau G 30 S/PKI? Itu perdebatannya. Sebetulnya persoalannya di situ bukan kekaburan perbedaan tafsir, tapi antara benar dan salah. Menurut saya, menyebut G 30 S/PKI adalah salah. Ini sama seperti kita menyebut sebuah gerakan atau memberi nama baru pada sebuah gerakan yang tidak digunakan oleh si pembuat gerakan itu sendiri. Kita ingat waktu gerakan itu diumumkan, Letnan Kolonel Untung yang menandatangani pernyataan itu menyebut diri mereka itu Gerakan 30 September yang disingkat G 30 S. Kok, tiba-tiba dikasih garis miring PKI. Ibaratnya, saya bernama Amin terus orang memanggilnya dengan Aminulah. Nama saya Amin ya panggil Amin, jangan ditambah dengan ‘ulah’ di belakangnya hanya karena kamu pikir itu kebiasaan. Yang dilakukan sekarang oleh pemerintah itu begitu. Menurut saya tidak ada yang kabur sebetulnya. Seharusnya disebut G 30 S saja tanpa PKI. Bahwa kemudian ada orang yang berpikir bahwa PKI sebagai pelakunya, silakan saja karena itu urusan dia. Silakan kamu membuat buku, analisis, dan mengambil kesimpulan itu tapi jangan mengganti nama.

Tapi ada fenomena-fenomena sejarah yang kabur, bukan hanya mengenai 1965. Saya hanya ingin menyampaikan uneg-uneg karena dari zaman dulu kelihatannya kabur-kabur saja sampai sekarang. Apa yang terjadi dalam hal ini?

Sebetulnya kekaburan ini juga karena banyak orang yang berkepentingan mengontrol masa lalu. Ini menjadi soal yang sangat serius bagi Indonesia. Orde Baru selama 32 tahun bisa tegak dan dianggap sah karena dia berdiri di atas keterangan palsu mengenai sejarah atau memanipulasi. Kalau manipulasi ini digugat dengan begitu banyak manipulasi lain yang juga dilakukan, maka rezimnya ambruk. Di Indonesia, kekuasaan politik seringkali bertopang atas manipulasi semacam ini. Itu bukan hanya dilakukan Orde Baru. Nanti akan banyak yang juga mengaku keturunan siapa atau macam-macam lah. Tapi intinya ingin memperkuat keberadaannya sekarang dengan membuat bermacam-macam mitos, termasuk mitos mengenai masa lalu.

Kalau begitu mungkin tidak hanya kekuasaan. Maksudnya, kepentingan tadi mungkin juga berbasis atau barangkali bisa disebut juga tradisi atau budaya memanipulasi. Jadi seperti sebuah kultur yang kita katakan, “Pokoknya gua lah yang atur semuanya.” Apakah bisa dikatakan demikian sehingga itu membuat kita lambat laun berpikir bahwa sejarah itu merupakan manipulasi dari kekaburan yang satu kekaburan yang lain?

Ya, bisa dikatakan begitu. Tapi sebetulnya saya cenderung menyebutnya medan pertempuran yang tidak ada habisnya karena orang memberi makna terus menerus kepada masa lalu itu. Karena itu orang terus saja berdebat mengenai sejarah. Apakah ini berarti kita tidak ada habisnya atau tidak pernah selesai berdebat soal sejarah? Itu betul di satu sisi, tapi di sisi lain mesti diingat bahwa di dalam proses perdebatan itu sebetulnya pemahaman kita mengenai masyarakat atau boleh disebut manusia sebetulnya juga menjadi semakin dalam. Itu karena kita terus-menerus memikirkan bagaimana kita bisa sampai pada keadaan sekarang. Kegunaan belajar sejarah buat saya sebetulnya itu untuk memahami mengapa kita bisa sampai pada situasi yang kita hidupi sekarang.

Untuk ke depan dalam belajar dari sejarah tadi, apa kira-kira yang bisa membuat kita menjadi satu bangsa yang mungkin jujur pada sejarahnya sehingga masyarakat sebagai bangsa bisa bangga dengan yang mereka punya dan menjadikan orang menghargai yang kita lakukan?

Pertama, saya kira sejarah Indonesia harus dibebaskan dari berbagai mitos. Itu langkah yang paling mendasar. Jadi semua mitos itu mesti dibongkar dengan fakta-fakta. Ya, dengan fakta-fakta dan berani untuk melihat masa lalu secara lebih jujur. Kalau Soekarno dulu dalam pidatonya yang terkenal pernah mengatakan, “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah.” Sekarang saya mau mengatakan, “Jangan takut pada sejarah”. Kita harus berani melihat hal yang tidak mengenakkan sekalipun di dalam kehidupan atau masa lalu bangsa ini. Hanya dengan begitu orang akan bisa bangga. Kalau sekarang kebanggaannya betul-betul semu, dibungkus dengan kata-kata bagus, pakaian kehormatan, dan segala macam upacara kehormatan. Tetapi pada saat bersamaan kita sebetulnya mengetahui itu kosong. Anak-anak tidak lagi terharu melihat segala macam ritual yang dibuat oleh negara. Kalau sekarang ada lagu kebangsaan di televisi seperti saat ada pertandingan bulu tangkis, orang-orang bernyanyi seenaknya saja. Rasa itu sudah tidak ada lagi. Ini tidak lain karena simbol-simbol yang penting sudah dimanipulasi sedemikian rupa selama berpuluh tahun. Jadi boleh dikatakan orang sudah muak. Cara untuk mengembalikan kebanggaan, kehormatan, martabat, dan lain-lain dengan berani memeriksa semua simbol itu dan menempatkannya kembali di tempat yang semestinya. Saya bisa memberikan banyak contoh, tapi kira-kira idenya yaitu hal-hal yang dianggap hebat dan segala macamnya memang mesti diperiksa kembali.

Bagaimana perasaan Anda saat pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono mengumumkan Raden Mas Tirto Adhi Soerjo yang kita sering lupakan diberi penghargaan sebagai pahlawan nasional?

Reaksi pertama kagum karena Tirto Adhi Soerjo digelapkan mulai dari zaman kolonial dan seterusnya. Dia betul-betul dipendam dalam sejarah. Saya kira Pramoedya Ananta Toer adalah orang pertama yang mulai coba melihat kembali peran Tirto Adhi Suryo dalam sejarah. Seperti kita ketahui sebelumnya buku Pramudya dilarang. Jadi kalau sekarang pemerintah kemudian mengambil keputusan mengangkat pahlawan yang tadinya disingkirkan oleh pemerintah kolonial dan juga penguasa Order Baru, saya kira ini suatu kejutan namun mungkin terlalu pagi untuk dikatakan kemajuan.

Siapa sebenarnya Tirto Adhi Soerjo?

Orang ini unik. Saya kira Pramoedya menggambarkannya dengan baik sebagai sang pemula. Dia pemula dalam banyak hal. Dia satu dari sedikit orang yang menerbitkan surat kabar, satu alat yang sangat penting dalam mengembangkan kesadaran nasional masyarakat di zaman kolonial. Dia juga salah satu orang pertama yang mendirikan organisasi modern yang menjadi alat penting juga di dalam perjuangan kemerdekaan. Lebih dari itu, dia menangani hal yang biasanya merupakan kelemahan aktivis zaman sekarang, yaitu menghidupi gerakan dengan cara membiayai korannya kemudian membayar staff. Pokoknya betul-betul seperti suatu perusahaan modern. Dalam hal ini dia patut dipuji karena tidak mempunyai mentor, tidak ada yang menjadi contoh. Dia betul-betul orang pertama yang mencoba mengotak-atik dengan caranya sendiri, walau tentu saja belajar dari beberapa orang Belanda yang dia kenal dan juga membaca.

Apa motif penguasa zaman dulu menggelapkan sejarah Tirto Adhi Soerjo?

Sebetulnya ini suatu hal yang mengherankan karena orang ini tidak berbahaya bagi sejarah versi Orde Baru. Tapi juga mesti dikoreksi karena di makamnya ditulis bahwa dia pelopor pers nasional dan seterusnya. Jadi ada semacam pengakuan tetapi tidak mau dirayakan. Satu-satunya alasan saya kira karena orang yang pertama kali mengemukakan arti penting dari Tirto Adhi Soerjo ini adalah Pramoedya, seorang pengarang terkutuk di masa Orde Baru. Jadi kebencian atau katakanlah lebih tepatnya ketakutan rezim kepada Pramoedya, membuat apapun yang ditulis oleh orang ini atau melalui tangan orang ini menjadi berbahaya, termasuk satu novel Pramoedya, yang ditulis pada masa tanam paksa yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan ajaran Marxisme – Leninisme yang begitu mereka takuti.

Jadi kadang-kadang sejarah itu hanya untuk satu orang saja bisa berubah. Satu orang seperti Pramoedya, bisa mengubah wajah seseorang atau satu kelompok ketika berhadapan dengan kekuasaan.

Saya kira itu salah kekuasaan yang paling besar sehingga sampai begitu takut terhadap sejarah, begitu obsesif, ingin menguasai segala aspek kehidupan. Jadi ketika ada satu saja kontra punk, yaitu satu titik balik terhadap apa yang mereka lakukan akan menjadi berantakan semuanya, maka tidak ada cara lain kecuali secara brutal menutupi munculnya kontra punk-kontra punk seperti Pramoedya,.

Jadi sebenarnya masih banyak orang-orang yang mempunyai peran besar pada masa meraih kemerdekaan dan juga setelah kemerdekaan yang karena kekuasaan tadi tidak diberi pengakuan.

Ya, saya kira itu sudah jelas. Banyak sekali tokoh perempuan yang lenyap. Kalau melihat daftar pahlawan nasional sekarang dari perimbangan gendernya, laki-laki sangat dominan. Tentunya kalau orang melihat daftar itu akan bisa membuat orang berpikir, “Oh kalau begitu yang berperan dalam sejarah Indonesia hanya laki-laki.” Itu salah total, tetapi ada masalah besar dengan banyak tokoh perempuan hilang di dalam penulisan sejarah. Ini akan membuat orang tidak lagi mengenalnya, atau melihat sejarah secara timpang.

Apakah Anda bisa menyebutkan satu-dua nama yang kira-kira pemerintah semestinya mencantumkannya dalam kesempatan mendatang?

Kalau saya dapat kesempatan menominasikan pahlawan nasional, pertama saya mengusulkan ibu-ibu yang tak bernama yang membuat dapur umum pada masa revolusi. Tanpa mereka tidak akan ada republik ini. Nama ratusan dan mungkin ribuan tapi menurut saya secara kolektif mereka adalah satu. Jadi pengakuan terhadap ini saja akan menjadi satu langkah baru bagi kita untuk betul-betul bangga pada tradisi yang dimiliki oleh bangsa ini

Sejarah kita bisa berbeda kalau kita mempunyai pengakuan secara berbeda juga dari apa yang dilakukan Orde Baru terhadap mereka yang punya peran pada masa lalu. Apa yang kira-kira bisa anda sampaikan untuk menjadi pegangan bangsa ini terutama tentang nilai kepahlawanan dan juga tentang sejarah di masa yang akan datang?

Yang mendesak sekarang ini adalah memahami kembali secara mendalam tentang asal usul dan perkembangan bangsa ini. Apa sebetulnya Indonesia itu? Kita sekarang hidup di suatu zaman dimana keberadaan Indonesia yang dipertaruhkan. Bukan lagi nama baik maupun sistem politik yang dipertaruhkan, tapi jauh mendasar dari itu adalah keberadaan dari negeri yaitu nation yang bernama Indonesia ini. Jadi sekaranglah saatnya bagi semua orang untuk memikirkan kembali elemen-elemen, ikatan-ikatan yang membentuk negeri ini yang disebut Indonesia. Saya kira ada banyak aspek dan satu yang bisa saya sebut dan saya kira itu adalah agenda yang mendesak yaitu soal pengertian kita mengenai mayoritas dan minoritas. Ada salah kaprah yang luar biasa. Misalnya, mayoritas dalam sisi agama. Sekarang ada pengertian yang salah ketika praktek keagamaan tertentu kemudian dilihat sebagai berlaku mutlak bagi semua orang yang berlaku nominal dan memiliki agama sama. Padahal kita ketahui praktek keagamaan itu sangat berbeda-beda. Jadi hampir mustahil untuk mengklaim diri sebagai mayoritas di dalam pengertian mempraktekkan agama. Tapi sekarang ini seperti dibiarkan sehingga dengan mudahnya orang menyingkirkan minoritas atas nama praktek keagamaan tertentu yang sebetulnya secara historis kita tahu itu sangat beragam. Ini untuk mengembalikan pengertian tentang nation. Karena itu soal-soal seperti ini harus dipikirkan secara serius.

Sumber perspektifbaru.com