Setelah membaca kembali himpunan surat-surat Kartini saya sempat terpikir: apa yang kira-kira terjadi seandainya Kartini waktu itu akhirnya berangkat ke Eropa untuk melanjutkan sekolah? Apakah ia akan jadi terasing di negeri orang lain lalu kembali ke negerinya sebagai orang asing, seperti yang dikhawatirkan oleh Jacques Abendanon? Atau ia akan baik-baik saja seperti banyak perempuan lain dari negeri jajahan yang bersekolah di Eropa saat itu dan kembali ke negerinya untuk memimpin gerakan pendidikan seperti Suwardi Surjaningrat? Atau ia akhirnya memilih menetap di Eropa dan di bawah pengaruh sahabat penanya, Stella Zeehandelaar, kemudian bergabung dengan SDAP (Partai Buruh Sosial Demokrat) mewakili kaum imigran?

Pertanyaan ini muncul dalam benak saya sebagai reaksi terhadap perdebatan di sekitar kepahlawanan Kartini. Sejak dinobatkan menjadi ‘pahlawan nasional’ oleh Soekarno pada 1964. Kartini terus saja menjadi sasaran kritik. Harsja Bachtiar menyebutnya sebagai ‘pahlawan’ yang dibesarkan oleh Belanda. Menurutnya masih banyak tokoh lain yang lebih pantas diangkat sebagai pahlawan seperti Sultanah Safiatuddin di Aceh dan Siti Aisyah We Tenriolle di Sulawesi Selatan yang menjadi pemimpin pemerintahan di negeri masing-masing. Di bidang pendidikan pun masih ada Dewi Sartika dan Rohana Kudus yang bahkan lebih berhasil mewujudkan impian mereka dibandingkan Kartini.

Belum lagi keputusannya untuk menerima lamaran bupati Rembang yang sudah beristri tiga orang, padahal setahun sebelumnya ia gigih menentang pernikahan adiknya dengan R. M. Reksoharjono yang juga sudah beristri dan juga bolak-balik mengkritik praktek poligami di lingkungan keluarganya sendiri. Kesimpulannya, Kartini tidak bisa memenuhi apa yang diharapkan dari seorang pahlawan nasional. Bagi saya kesimpulan ini bertolak dari pemahaman yang sempit tentang pahlawan dan juga pengertian yang sempit tentang bangsa atau nasion. Untuk memahami Kartini dan arti pentingnya bagi kita hari ini saya kira sosoknya perlu ditempatkan dalam konteks ruang dan waktu hidupnya sendiri.

Kartini berasal dari keluarga priyayi tinggi di Jepara. Ayahnya, Sosroningrat, adalah bupati Jepara di masa itu. Ibunya, Ngasirah, adalah putri seorang kyai setempat, yang karena tidak berasal dari kalangan ningrat akhirnya menduduki posisi sebagai garwo ampil. Sosroningrat kemudian menikah lagi dengan Raden Ajeng Moerjam yang merupakan keturunan langsung Raja Madura. Dalam kesadaran umum para priyayi sering dilihat sebagai kaki tangan penguasa kolonial, terutama setelah berakhirnya Perang Jawa, tidak ada lagi perlawanan signifikan terhadap kolonialisme dari kalangan ini. Mereka malah berbondong-bondong menjadi bagian dari birokrasi kolonial sebagai pangreh praja dan terlibat dalam mobilisasi tenaga kerja semasa Tanam Paksa yang membuat taraf hidup masyarakat pribumi sangat merosot. Mereka juga dikenal sering bertindak sewenang-wenang seperti yang digambarkan Multatuli dalam novelnya, Max Havelaar.

Tapi keluarga ayah Kartini punya sejarah yang agak berbeda. Kakek Kartini adalah Pangeran Ario Tjondronegoro IV, keturunan dari keluarga priyayi pesisir yang sangat terkenal dan luas pengaruhnya. Sanak saudaranya menduduki jabatan penting dalam birokrasi pangreh praja di seluruh Jawa, dari Pandeglang sampai Sidoarjo. Ia sangat terkesan pada kemajuan Eropa dan fasih berbahasa Belanda dan Prancis. Penguasa kolonial pun terkesan pada dirinya dan pada 1836 ia diangkat menjadi bupati Kudus. Usianya belum genap 25 tahun waktu itu. Ia dikenal berpikiran maju dan menjadi generasi pertama priyayi yang mengalami ‘pencerahan’. Sewaktu anak-anaknya memasuki usia sekolah ia memanggil seorang guru Eropa untuk mendidik mereka. Setelah dewasa keempat anak laki-lakinya juga menjadi bupati dan meneruskan apa yang diperjuangkan ayah mereka.

Pada kurun yang kurang lebih sama di India juga muncul kalangan elite yang memperjuangkan perbaikan sosial. Sejarawan Partha Chatterjee dalam Nation and Its Fragments (1993) mencatat bahwa peran mereka dalam nasionalisme India sangat signifikan tapi cenderung diabaikan. Kaum elite ini membagi dunia menjadi ‘ruang luar’ yang berkaitan dengan dimensi material, publik, negara dan ekonomi, serta ‘ruang dalam’ yang spiritual, pribadi, keluarga dan kebudayaan. Ruang luar yang material dikendalikan oleh penguasa kolonial dengan teknologi dan pengetahuan mereka, sementara ruang dalam yang spiritual dikuasai oleh orang pribumi dengan kebijakan dan perasaan mereka. Kedaulatan atas ‘ruang dalam’ inilah yang menurut Chatterjee adalah basis dari nasionalisme India, sebelum pertempuran terbuka melawan penguasa kolonial dilakukan.

Kesejahteraan rakyat, terutama di bidang kesehatan dan pendidikan, yang diperjuangkan Tjondronegoro dan keempat anaknya, kemudian juga cucu-cucunya, saya kira termasuk ‘ruang dalam’ yang dibicarakan Chatterjee. Seperti sejawat mereka di India, para priyayi Jawa ini melihat ruang dalam sebagai domain yang tidak bisa dikuasai oleh kolonialisme. Walau menuntut pendidikan Eropa, bagi orang pribumi Tjondronegoro tidak ingin mereka menjadi seperti orang Eropa. Ia ingin agar pengetahuan Eropa dapat digunakan dan dikembangkan orang pribumi sesuai dengan keperluan mereka sendiri.

Tapi berbeda dengan kaum elite India yang kemudian mendorong apa yang disebut Indian Renaissance, dunia politik dan kebudayaan di Jawa mengalami krisis luar biasa yang oleh Ranggawarsita dimaknai sebagai zaman edan. Di tengah krisis, langkah pembaruan yang diambil keluarga Tjondronegoro justru mendapat reaksi negatif dari kalangan priyayi sendiri. Sosroningrat yang juga membesarkan anak-anaknya secara Eropa mendapat tekanan kuat dari sanak saudara yang menilai langkahnya sudah terlalu jauh. Keputusannya untuk membebaskan Kartini dari pingitan justru ketika Kartini memasuki usia menikah adalah langkah yang sangat kontroversial. Kartini bukan tidak tahu semua itu. Ia tekun mencatat perlakuan para pejabat priyayi lain terhadap ayahnya yang dianggap tidak sanggup mengurus anak.

Di titik inilah kehadiran Kartini menjadi penting. Jika ditempatkan dalam sejarah ‘pencerahan’ keluarganya, ia adalah generasi ketiga yang berbicara tentang pentingnya menaruh perhatian khusus pada pendidikan dan kesehatan orang pribumi. Dalam banyak hal ia melanjutkan saja apa yang sudah dikatakan para pendahulunya. “Kami tidak ingin membuat mereka menjadi setengah Eropa atau menjadi orang Jawa Eropa … Kami ingin memberi mereka hal-hal baik dari peradaban Eropa, bukan untuk memaksa mereka mengganti hal-hal baik yang sudah ada pada mereka, tapi untuk memperkaya mereka.” Demikian suratnya kepada Rosa Abendanon-Madri pada 10 Juni 1902. Sepeti kakeknya ia tidak ingin mencetak barisan “Belanda Hitam” tapi orang Jawa sejati yang mengerti persoalan dan perasaan rakyatnya.

Tapi ia sadar, lebih daripada para pendahulunya, bahwa pekerjaan merawat ‘ruang dalam’ itu terutama ada di tangan perempuan. “Perempuan sebagai pembawa peradaban! … Karena dari perempuanlah orang menerima pendidikan yang pertama – di pangkuan perempuan seorang anak belajar merasa, berpikir dan bicara – dan saya semakin lama semakin sadar bahwa pendidikan dini bukan tanpa arti penting dalam kehidupan seterusnya. Tapi bagaimana kaum ibu pribumi bisa mendidik anak-anak mereka jika mereka sendiri tidak terdidik?” tulis Kartini. Di sini perjuangan perempuan memasuki fase baru, yang tidak sekadar menuntut pengakuan tapi justru mengklaim keberadaannya dalam kehidupan bangsa.

Pembebasan perempuan selama ini sering dibayangkan sebagai kesetaraan dalam kesempatan untuk mendapat pekerjaan atau kebebasan dalam menentukan pasangan atau tidak berpasangan. Kartini memang memperjuangkan semua itu, walau gagal dalam urusan yang terakhir. Tetapi pembebasan yang dibayangkannya jauh lebih dari itu. Ia tidak menuntut diakui dalam penulisan sejarah yang ada, tapi dengan surat-suratnya ia menulis ulang sejarah dan mengarahkannya pada ruang dalam yang selama ini dianggap sekunder atau kurang penting. Persoalan baginya bukanlah agar urusan mendidik dan membesarkan anak ditanggung bersama oleh laki-laki dan perempuan, tapi agar masalah mendidik dan membesarkan anak tidak lagi dianggap sekunder. Jika membaca himpunan surat-suratnya kita menangkap bahwa politik Kartini adalah soal merawat ‘ruang dalam’ bangsa.

Kartini memang tidak angkat senjata atau memimpin pemerintahan seperti banyak ‘pahlawan nasional’ di luar sana. Ia tidak menggalang massa atau menyerukan pemberontakan. Tapi tulisannya menggambarkan perjuangan panjang di ‘ruang dalam’ yang belum selesai sekalipun kemerdekaan di ‘ruang luar’ sudah tercapai. Relevansi dari pemikiran dan perbuatannya sangat terasa sekarang saat politik semakin maskulin dan hanya berputar pada soal perebutan kuasa dan sumber daya, sementara ‘ruang dalam’ bangsa semakin porak poranda.

Kartini memang tunduk pada permintaan ayahnya untuk menerima lamaran bupati Rembang dan menabrak semua prinsip yang dipegangnya. Tapi tidak berarti ia kalah. Perjuangan tidak diukur dari beberapa kali seseorang jatuh, tapi keteguhannya untuk terus menapak jalan yang dirintisnya, sekalipun nyawa taruhannya. Dalam kesedihannya ia menulis: “Dan, seandainya aku terlahir kembali di dunia dan diberi kesempatan memilih, maka aku akan sekali lagi menjadi perempuan.”

Hilmar Farid, 2013

Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Tempo, Edisi Khusus Kartini, April 2013.