Kebudayaan untuk Pangan Berkelanjutan*
Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan berbicara soal ancaman krisis pangan yang dihadapi dunia dan langkah yang perlu kita ambil untuk mengantisipasi.
Mengamankan pasokan pangan dan membangun infrastruktur untuk meningkatkan kapasitas produksi dan memperlancar distribusi jelas masuk dalam agenda. Namun, Presiden juga menekankan pentingnya diversifikasi pangan agar Indonesia mempunyai banyak alternatif pilihan, sekaligus mengurangi ketergantungan pada industri pangan global.
Melepaskan ketergantungan ini sangat penting bukan hanya karena dampak negatif industri pangan global pada kelestarian lingkungan dan ekonomi lokal, melainkan juga karena sistem global yang ada sesungguhnya sangat rentan. Krisis iklim dalam bentuk banjir, kekeringan, dan badai tak hanya merusak panen, tetapi juga mengganggu sistem logistik dan distribusi pangan dunia. Sekali terjadi gangguan di rantai nilai ini, puluhan juta orang jadi korban kelaparan.
Perang di Ukraina yang sudah berlangsung beberapa bulan berdampak langsung pada jalur persediaan gandum dunia. Jika perang terus berlanjut, diperkirakan dalam waktu dekat akan terjadi krisis pangan global, terutama di wilayah yang sangat bergantung pada pasokan gandum.
Jalan utama
Dalam situasi seperti ini, diversifikasi pangan bukan sekadar pilihan alternatif, melainkan jalan utama yang harus ditempuh untuk memastikan keamanan pangan di masa mendatang.
Dari mana kita harus mulai? Mengubah sistem pangan nasional tentu bukan hal yang mudah. Sudah banyak usulan dan kebijakan dibuat, tetapi tak jalan di lapangan.
Masalahnya, karena kita cenderung mengabaikan hal yang sangat krusial dalam pembicaraan soal sistem pangan, yakni kebudayaan. Dalam perjalanan panjangnya di bumi ini, manusia mengembangkan beragam cara untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Dalam ekosistem yang berbeda, manusia melahirkan kebiasaan berbeda dan tentu pola pangan yang berbeda.
Beragam kebiasaan ini lalu membentuk pola dan diwariskan ke generasi selanjutnya dalam berbagai bentuk ekspresi budaya, dari pengetahuan lokal tentang tanaman dan hewan sampai ritual dan kesenian untuk menyambut panen. Banyak sistem pangan tradisional ini sudah berumur ratusan tahun.
Artinya, sudah melalui ujian waktu, seperti subak di Bali atau sasi di Maluku dan Papua. Kita perlu mempelajari kembali berbagai sistem ini untuk menangkap nilai dan hubungan pemikiran dan praktik tradisi itu dengan ekosistem yang spesifik. Pengetahuan ini lalu dikombinasikan dengan sains dan teknologi untuk memberi arah dan jadi landasan solid bagi diversifikasi pangan berkelanjutan.
Produksi hingga konsumsi
Di tingkat produksi kita perlu perluasan basis yang signifikan, baik dari segi lahan produksi, tenaga produksi, maupun pengetahuan dan teknologi.
Pengertian lahan produktif saat ini terpusat pada tanah pertanian untuk tanaman pangan tertentu. Hutan bakau atau rawa sagu, misalnya, tak masuk perhitungan. SDM juga terfokus ke pertanian sawah dan kebun, sementara ada banyak ekosistem dengan puluhan tipe vegetasi butuh jenis keahlian berbeda.
Di tingkat distribusi pun kebudayaan berperan penting. Di banyak tempat di Nusantara dikenal sistem lumbung yang mengatur distribusi hasil panen ke seluruh warga. Fokus utamanya adalah pemenuhan kebutuhan masyarakat dan bukan pada pencarian keuntungan.
Di masa yang tak menentu dan penuh ketidakpastian seperti sekarang, fokus pada penguatan institusi lokal seperti koperasi, dan mekanisme sosial, seperti lumbung, adalah pilihan yang lebih menjamin keamanan pangan ketimbang pasar.
Namun, tantangan terbesar justru ada di tingkat konsumsi. Ketergantungan pada beras dan gandum di Indonesia terjadi karena kekuasaan industri global atas rantai nilai pangan dari hulu ke hilir. Tradisi pangan yang beragam di tingkat lokal digerus dengan tersedianya produk instan yang berlimpah dalam jumlah dan terjangkau.
Pemiskinan lanskap pangan ini terjadi secara cepat dan dalam waktu satu generasi sudah terjadi perubahan pola konsumsi pangan yang signifikan.
Seiring dengan itu terjadi perubahan budaya yang sangat signifikan. Masyarakat perkotaan yang kian berjarak dari sistem pangan lokal mulai menganggap makanan lokal bagian dari masa lalu yang inferior di- bandingkan makanan modern dari beras dan gandum. Kampanye masif melalui media cetak dan elektronik berlangsung selama puluhan tahun, untuk mengonfirmasi bahwa perubahan budaya pangan yang terjadi ini bagian dari kehidupan modern yang tak terelakkan.
Pentingnya gerakan
Dengan tantangan seperti ini, kita perlu gerakan masif yang bisa mengangkat kembali sistem pangan lokal. Perangkat kebijakan perlu diarahkan untuk memperkuat kapasitas produksi dan distribusi di tingkat lokal.
Warga perlu diperkenalkan kembali pada praktik dan pengetahuan tentang pangan lokal, baik melalui jalur pendidikan formal maupun aksi kebudayaan. Keterlibatan pelaku usaha juga diperlukan untuk memastikan sistem ini mencapai skala ekonomis di pelaksanaannya.
Beberapa agenda ini sudah mulai dijalankan pemerintah, dunia usaha, dan komunitas. Gerakan produk lokal dengan jenama lokal sedang bertumbuh di banyak tempat. Pelakunya berhimpun dalam usaha kecil dan menengah, bekerja sama dengan produsen dan masyarakat lokal. Dengan jaringan pemasaran digital, mereka bisa menjelajahi pasar internasional dan memangkas jalur distribusi rumit dan berbiaya tinggi.
Gerakan gastronomi juga kian menaruh perhatian ke pangan lokal. Masih banyak yang perlu dan bisa dilakukan guna memperluas dan memperkuat gerakan diversifikasi pangan berbasis kekuatan lokal ini.
Direktorat Jenderal Kebudayaan tahun depan akan menggelar program Kampus Merdeka dengan tajuk kedaulatan pangan. Sekitar 500 mahasiswa akan turun ke desa di NTT, Maluku, dan Papua Barat. Selama lima bulan mereka akan bekerja sama dengan masyarakat setempat untuk membuat potret yang utuh mengenai tradisi pangan lokal dengan berbagai tantangan yang dihadapi.
Dari berbagai diskusi di tingkat pembuat kebijakan, pelaku usaha, dan masyarakat lokal di tingkat akar rumput, cukup jelas bahwa diversifikasi pangan dan keberagaman budaya bukan sekadar pilihan alternatif.
Diversifikasi pangan yang berbasis tradisi serta sumber daya lokal adalah jalan utama yang harus ditempuh untuk keselamatan bersama. Pintu kesempatan itu masih terbuka, tapi dengan latar krisis iklim dan gejolak geopolitik yang semakin serius. Perlu ada langkah nyata yang segera.
Hilmar Farid, 2022
*Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas pada 26 November 2022
Kita lama hidup di bawah sistem yang pada dasarnya mengatakan: urusan publik itu ditangani negara saja, entah itu politik, kebebasan, dll. Jadinya, masyarakat ikut sistem karena takut, bukan karena mengerti dan merasa penting. (HF, 2014)