Saya kira anggapan bahwa Indonesia tidak mengalami perubahan sejak jatuhnya Soeharto itu keliru. Ada banyak perubahan yang terjadi dalam dua belas tahun terakhir. Tidak semuanya menuju arah yang lebih baik tentunya, tapi juga tidak semuanya buruk. Bagi gerakan sosial yang paling penting adalah memahami apa yang berubah dan apa yang tidak, dan mengapa semua itu mungkin terjadi. Teori dan analisis yang hanya berhenti dengan memberi label atau cap pada sebuah periode atau pemerintahan tidak banyak gunanya secara politik dan pasti sulit diterjemahkan ke dalam strategi yang sanggup menjawab tantangan yang lebih spesifik, apalagi ke dalam rencana aksi yang lebih konkret sifatnya. Karena itu ada baiknya pembicaraan bertolak dari penilaian situasi yang teliti dari perspektif gerakan sosial. Artinya perubahan dilihat sebagai pencapaian atau kegagalan gerakan sosial dan status quo yang berada di tengah keduanya.

Kita bisa mulai dengan beberapa perubahan yang arah yang lebih baik, dan yang paling menonjol di antaranya adalah tiga kebebasan dasar, yakni kebebasan berserikat, kebebasan berkumpul dan kebebasan berekspresi atau berpendapat. Setelah tiga puluh dua tahun di bawah Orde Baru yang otoriter dan represif, ada kebebasan mendirikan partai politik, serikat buruh dan organisasi rakyat, mengadakan kegiatan politik terbuka, dan mengungkapkan pikiran melalui berbagai media. Di bidang hukum ada perubahan signifikan seperti masuknya prinsip hak asasi manusia secara eksplisit dalam UUD 1945, dicabutnya UU Anti-Subversi dan lahirnya UU tentang kekerasan dalam rumah tangga. Birokrasi juga mengalami perubahan. Penempatan personel militer dan polisi pada posisi penting dalam pemerintahan sipil jauh berkurang dan kepala pemerintahan, mulai dari presiden sampai bupati dan kepala desa, kini dipilih secara langsung.

Orang yang sinis mungkin akan mengatakan bahwa semua ini terjadi tidak lain karena penguasa baru ingin menyelamatkan posisi mereka. Dan memang begitulah adanya. Tapi itu bukan berarti bahwa seluruh perubahan itu datang karena kebaikan hati atau semacam hadiah dari penguasa. Perubahan itu terjadi karena kelas yang berkuasa tidak bisa lagi memerintah dengan cara-cara lama dan karena itu terpaksa membuat sejumlah konsesi dan perubahan. Memang benar bahwa proses pengambilan keputusan didominasi oleh penguasa, tapi hal penting yang perlu digarisbawahi adalah bahwa perubahan tidak akan dilakukan seandainya saja kelas yang berkuasa masih bisa jalan terus dengan sistem yang ada. Cara pandang ini saya kira langkah awal untuk memahami bahwa perubahan itu tidak datang sepuluh atau dua puluh tahun lagi, tapi sesungguhnya sudah dimulai hari ini, dan karena itu kita sebaiknya memikirkan langkah-langkah berikut yang harus diambil.

Dengan cara pandang ini kita tentu tidak mengabaikan berbagai kemacetan, masalah dan kemunduran. Kita tahu bahwa korupsi terus berlanjut dan bahkan menggila. Skandal demi skandal terungkap – yang sesungguhnya merupakan pencapaian tersendiri – dan tidak ada tanda-tanda bahwa praktek itu akan berkurang apalagi berakhir dalam waktu dekat. Kita tahu bahwa untuk mendapatkan kursi di DPR, jabatan dalam birokrasi sipil dan bahkan untuk menjadi tentara atau polisi, orang memerlukan investasi yang tidak kecil, sehingga saat jabatan atau posisi diperoleh maka hal pertama yang dilakukannya adalah memperoleh investasi itu kembali. Korupsi bukan sekadar penyimpangan yang bisa dicegah dan pengawasan atau gaji tinggi karena sudah merasuk ke dalam birokrasi, dan akan selamanya begitu jika jabatan dan posisi masih menjadi alat akumulasi kekayaan. Hal ini juga yang membuat pemilihan anggota DPR dan kepala pemerintah mulai dari presiden sampai lurah, menjadi ajang persaingan politisi predator, kalangan bisnis, preman dan semua kekuatan yang menjadikan birokrasi negara sebagai sumber pendapatan resmi maupun tidak resmi.

Jika ditimbang dengan neraca, saya kira kemacetan, masalah dan kemunduran reformasi masih lebih besar daripada pencapaiannya. Kekecewaan publik terhadap pemerintah dan lembaga negara semakin meluas. Hampir setiap malam media menyiarkan bentrokan antara warga dan aparat keamanan karena politik ekspansi modal yang agresif dan rakus tanah bermuara pada penggusuran paksa ribuan orang setiap minggu. Menguatnya rezim pajak dalam dua-tiga tahun terakhir sudah disikapi dengan pembangkangan yang bisa meluas menjadi pemberontakan pajak (tax revolt) seperti sering terjadi di masa kolonial: rakyat berontak menentang pemberlakuan pajak yang terlalu memberatkan. Krisis ekonomi menjadi pukulan berat dan ‘titik api’ yang bisa memicu munculnya gerakan sosial yang lebih luas. Kumpulan tulisan dalam buku ini merupakan representasi dari gerakan sosial di berbagai wilayah dan sektor dengan segala dinamikanya.

Gerakan Sosial Menghadapi Krisis

Kapitalisme adalah sistem yang senantiasa berada dalam krisis, tapi yang membedakan krisis dalam sepuluh tahun terakhir ini dengan masa sebelumnya adalah jarak antara slump yang satu dengan yang lain semakin dekat. Semakin sering pasar finansial dan bursa saham anjlok dan berakibat serius pada perikehidupan orang banyak. Saling-kait antara krisis finansial dan moneter, dengan sektor riil seperti perumahan dan industri energi semakin sulit dipisahkan. ‘Flu’ dalam sistem perbankan di Amerika karena para rentenir rumah gagal dengan spekulasi mereka, berdampak langsung terhadap pasar uang di seluruh dunia dan juga kelangsungan bisnis di negeri-negeri lain, tidak terkecuali Indonesia. Ada ahli yang berpendapat bahwa krisis belakangan ini sudah pantas disebut ‘krisis peradaban’ karena seluruh peradaban manusia menjadi bergantung dan dikacaukan pada kebijakan neoliberal dan praktek ekonomi judi (casino economy). Sementara bandar judi togel di kampung dikejar oleh polisi, para bandar judi mata uang, saham dan perangkat bisnis finansial lainnya – yang notabene ikut menciptakan kemiskinan dan kemudian mendorong orang mempertaruhkan gaji kecil mereka di bandar togel – menjadi bagian dari sistem dengan perlindungan penuh.

Akibat dari krisis yang menghebat ini dirasakan langsung dalam kehidupan sehari-hari. Angka bunuh diri semakin meningkat, begitu pula dengan orang yang terganggu kesehatan jiwanya. Keluarga dan ikatan komunal yang selama berabad menjadi safety belt bagi banyak orang semakin berkurang kekuatannya. Di tempat publik seperti jalan raya tidak ada lagi solidaritas sosial dan pengertian – atau gotong royong – yang konon menjadi ciri Indonesia. Konflik berdarah karena sengketa tanah yang sering disiarkan televisi seringkali terjadi antara saudara sedarah dan kerabat dekat yang di masa krisis semakin ketat menghitung aset milik mereka. Kisah orang tua menjual anaknya ke jaringan perdagangan perempuan dan anak semakin sering terjadi sehingga publik tidak lagi menganggapnya skandal.

Perbedaan besar antara krisis hari ini dengan masa sebelumnya adalah dampaknya terhadap lingkungan hidup. Sekalipun pemanasan global sering diklaim sebagai alat negara kapitalis maju untuk sekali lagi memperkuat dominasinya pada belahan dunia lain, akibat dari krisis ekonomi terhadap eksploitasi sumber daya alam tidak dapat dipungkiri. Sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui semakin menipis sementara akumulasi modal yang berpijak pada eksploitasi sumber daya alam itu semakin tidak terbatas. Kekuasaan perusahaan tambang sudah lama melampaui banyak negara berdaulat di dunia dan kebijakan pengelolaan sumber daya alam di negara-negara itu ikut ditentukan langsung oleh para pemimpin perusahaan tambang itu dari kantor mereka. Dalam banyak kasus, parlemen dan pemerintah negara tempat beroperasinya perusahaan itu hanya menjadi tukang stempel. Bukti kerusakan lingkungan hidup akibat akumulasi tanpa batas ini juga dirasakan dalam kehidupan sehari-hari, dalam bentuk longsor, banjir dan kekeringan. Di Indonesia, situs yang paling telak memperlihatkan masalah ini tidak lain dari danau lumpur Lapindo di Porong, Jawa Timur.

Sistem demokrasi elektoral yang ada sekarang ini tidak sanggup menjawab berbagai krisis di atas dan belakangan bahkan mengalami krisisnya sendiri. Tidak ada kekuatan politik yang bisa menciptakan stabilitas sebagai prasyarat untuk mengatasi krisis tanpa mengorbankan berbagai kebebasan dan demokrasi. Masyarakat sepertinya dihadapkan pada pilihan ‘kekacauan yang bebas’ atau ‘penindasan (otoriter) yang teratur’. Para penguasa lembaga negara juga terlibat dalam sengketa dan persaingan sehingga sulit menetapkan di mana wewenang dan kuasa itu berpusat. Pengerahan massa dan opini publik yang pernah menjadi senjata gerakan sosial dan pro-demokrasi di masa lalu sekarang juga digunakan oleh politisi predator, kalangan bisnis dan preman untuk mencapai tujuan mereka. Dalam banyak kasus terlihat bahwa kekuatan ini bisa mengabaikan aturan hukum dan juga menganulir berbagai keputusan penting yang sudah dibuat sebelumnya. Pertarungan antara KPK dan kepolisian serta kejaksaan di seputar skandal Bank Century adalah perwujudan krisis politik yang belum menemukan kesimpulan.

Tentu dari perspektif gerakan sosial krisis tidak bisa dilihat hanya segi negatifnya. Krisis adalah peluang karena menunjukkan dengan tegas bahwa sistem yang ada sudah tidak bisa bertahan dengan cara-cara lama dan memerlukan pembaruan. Di sinilah teori dan analisis yang tepat diperlukan agar tidak keliru misalnya melihat semua kecenderungan yang bergesekan dengan rezim sebagai perlawanan, dan sebaliknya keliru melihat reaksi spontan dari masyarakat sebagai kekacauan.

Menjelang kejatuhan Soeharto ada kepercayaan kuat di kalangan pengamat bahwa lawan terbesar bagi kekuasaan otoriter Orde Baru yang korup adalah modal internasional yang membawa agenda liberalisasi. Masih segar dalam ingatan banyak orang bagaimana Soeharto membungkuk menandatangani letter of intent yang sedianya memangkas berbagai hak-hak istimewa diri dan keluarganya di hadapan presiden IMF Michel Camdessus dengan tangan terlipat di dada. Saat itu dibayangkan ada kesesuaian agenda antara gerakan sosial dan lembaga keuangan dan modal internasional untuk mengakhiri kekuasaan Orde Baru, yang pada 1965-66 ikut mereka dukung untuk berkuasa dan terus mereka dukung selama lebih dari tiga dekade. ‘Persekutuan aneh’ ini berkembang-biak menjadi ratusan lembaga internasional dan domestik yang sejak 1998 menjalankan bermacam proyek demokratisasi, pemberdayaan civil society dan juga pendidikan bagi para politisi. Tapi cukup jelas dalam perkembangan kemudian bahwa kekuatan liberal ini tidak punya komitmen untuk membangun demokrasi sepenuhnya dan tidak mencegah tegaknya demokrasi yang tidak liberal (illiberal democracy) di Indonesia.

Setelah Soeharto jatuh gerakan sosial termasuk lamban menyesuaikan diri dengan keadaan baru. Dalam pemilihan umum 1999 kekuatan gerakan sosial praktis tidak terlihat. Kebanyakan tokoh dan pemimpin organisasi memilih bekerja di luar sistem politik. Politik uang dan kekerasan membuat para pemimpin gerakan sosial yang sangat menjunjung keutamaan moral menjauh dari urusan politik elektoral dan dengan begitu membiarkan lahan tersebut dikuasai oleh politisi lama yang sudah sempat mengganti atau sekadar mencuci baju yang kotor. Rekonfigurasi politik terjadi dan menghadirkan aktor baru di pentas politik. Desentralisasi yang merupakan bagian penting dari paket reformasi lebih lanjut menyebar kekuasaan ke tingkat kabupaten dan melahirkan aktor penting baru yang sangat menentukan di tingkat itu. Para penguasa Orde Baru yang sebelumnya tidak tertandingi kini harus berbagi dengan aktor baru atau aktor lama yang memakai baju baru, dan membentuk jaringan oligarki baru pula dari pusat sampai ke daerah. Pemilihan umum dalam hal ini tidak lain dari peresmian kekuasaan oligarki baru dengan label ‘demokrasi’.

Dalam dua pemilihan umum gerakan sosial semakin terasing dari proses di atas. Partai politik yang dibentuk oleh aktivis gerakan petani dan lingkungan hidup tidak berhasil lolos seleksi. Beberapa individu yang memilih bergabung dengan partai politik yang sudah mapan praktis tidak mendapat dukungan dan bahkan dikritik sudah meninggalkan nilai dan prinsip gerakan sosial yang menekankan ketidakberpihakan secara politik. Pengalaman konkret dari jalur ini juga muncul dalam beberapa tulisan di buku ini. Beberapa organisasi lain memilih tidak terlibat dalam pemilihan umum walau belum cukup kekuatan untuk menawarkan alternatif yang memang efektif mengimbangi politik elektoral itu. Alhasil secara keseluruhan gerakan sosial masih menjalankan fungsi tradisionalnya sebagai penyuara aspirasi yang gigih berkampanye dan mengangkat masalah melalui media tapi tidak dapat mempengaruhi proses politik secara efektif.

Apa yang Harus Dilakukan?

Susan George, seorang peneliti-aktivis kawakan mengeluh bahwa gerakan kiri seringkali menghabiskan waktu memperdebatkan imajinasi masing-masing tentang masyarakat di masa mendatang, yang saking abstrak dan idealnya, tidak pernah bisa diterjemahkan menjadi strategi politik dan agenda aksi yang konkret. Di Indonesia juga gerakan sosial produktif menghasilkan manifesto, program dan agenda umum, yang cukup sebagai bahan untuk menjawab pertanyaan klasik di atas. Ada banyak kemiripan antara agenda satu dengan yang lain sehingga seringkali terlihat seperti pengulangan, dan dalam tulisan ini saya hanya akan menyinggung beberapa di antaranya yang juga direfleksikan oleh tulisan-tulisan dalam buku ini. Saya kira kerja intelektual yang sangat diperlukan adalah membuat sintesis dari berbagai temuan, pengalaman dan usulan yang diajukan oleh elemen-elemen gerakan sosial dan memadunya dalam putaran diskusi dan debat untuk menuju agenda yang lebih solid. Masalah bagi gerakan sosial bukan semata kekayaan imajinasi tapi bahwa setiap gagasan memang memiliki bobot dukungan cukup untuk digerakkan sebagai agenda aksi.

Di jantung agenda gerakan sosial ini mestilah kritik terhadap kapitalisme sebagai sistem usang penuh kontradiksi dan menciptakan ketimpangan yang hebat karena prinsip beroperasinya adalah ‘kemakmuran yang satu berpijak pada kesengsaraan yang lain.’ Kritik ini juga bukan hanya untuk mencari hal-hal yang perlu diperbaiki (reformasi), tapi bertujuan melawan dan mengatasi kapitalisme sebagai sistem. Pikiran untuk menciptakan kapitalisme berwajah manusia jelas keliru karena kapitalisme tidak bisa punya wajah lain dari yang ditampilkannya sekarang. Dan sekian agenda memperbaiki kapitalisme yang coba diterapkan, seperti negara kesejahteraan di Eropa Barat dan Utara pada 1970-an, selalu berakhir ketika sistem kapitalis memasuki krisis baru. Dan perlu diingat bahwa secara berkala kelas kapitalis yang berkuasa terus memperbaiki sistem dengan memasukkan elemen ‘pembaruan’ dan ‘perbaikan’ dalam pemikiran, kebijakan dan praktek mereka guna meredam perlawanan dan melanggengkan kekuasaan, yang menuntut gerakan sosial mencari bahasa baru ketika merumuskan agendanya.

Ambil contoh lingkungan hidup yang dalam beberapa tahun terakhir mengemuka karena masalah perubahan iklim. Di masa lalu lingkungan hidup dianggap sebagai salah satu dari sekian isu penting yang harus diangkat gerakan sosial. Jika melihat kehancuran lingkungan akibat ekspansi kapitalis yang agresif, kita tidak bisa lagi melihatnya sebagai salah satu dari sekian agenda, tapi harus menempatkan masalah lingkungan hidup di jantung kritik terhadap kapitalisme, dan mengatakan misalnya bahwa akumulasi kapital tidak mungkin hidup berdampingan dengan kelestarian lingkungan hidup. Sistem kapitalis tidak sekadar merusak lingkungan dengan mengubah gunung dengan kandungan emas dan besi menjadi danau dan mengaliri sungai-sungai dengan limbahnya, tapi seluruh sistem produksi dan konsumsinya mengancam keselamatan umat manusia karena ditopang oleh energi yang tidak dapat diperbarui. Melepaskan diri dari ketergantungan energi fosil dan mengembangkan energi berbasis tenaga matahari tidak mungkin dilakukan dalam sistem yang menjadikan kelangsungan hidup manusia sebagai lahan cari untung. Pengembangan energi alternatif yang menyelamatkan lingkungan hidup memerlukan tatanan sosial baru yang mengedepankan nilai pakai dibandingkan nilai tukar. Banyak aspek kehidupan yang harus dilepaskan dari logika cari untung agar dapat hidup berkelanjutan.

Terobosan seperti itu tentunya menuntut demokratisasi yang jauh lebih radikal dari yang tersedia sekarang. Demokrasi perlu diperluas dan dilembagakan bukan hanya di lapangan politik tapi juga di tempat kerja dan tempat berlangsungnya transaksi ekonomi. Hanya dengan partisipasi yang aktif dari seluruh lapisan penduduk kita bisa membayangkan gerakan yang mengalihkan sumber energi secara efektif. Jaringan kepentingan bisnis raksasa yang mengendalikan semua kebijakan mengenai pengelolaan sumber daya alam dan produksi energi hanya mungkin dibatasi jika kekuasaan untuk mengambil keputusan tidak lagi terpusat di satu-dua lembaga yang rentan terhadap intervensi. Menyadari bahwa masalahnya tidak selalu ada pada ‘pihak sana’ tapi juga pada pola konsumsi masyarakat, maka demokratisasi juga berarti pengaturan pola konsumsi dan tumbuhnya kesadaran tentang pertentangan antara sumber daya yang terbatas dengan daya dan hasrat konsumsi yang tak terbatas. Pendidikan umum mengenai keterbatasan sumber daya alam seharusnya menjadi topik dasar yang diajarkan di setiap lembaga pendidikan sebelum keragaman hayati di planet ini hanya bisa diajarkan sebagai sejarah.

Dari masalah lingkungan hidup kita bisa beranjak ke berbagai sektor dan bidang kehidupan lain, dan memperlihatkan keterkaitannya satu sama lain. Tapi penting untuk disadari bahwa analisis yang menyeluruh tidak perlu terjebak dalam kecenderungan mencari jawaban tunggal terhadap semua masalah. Saya sendiri menganggap konsep ‘sosialisme’ tetap bisa menangkap imajinasi yang menjadi landasan agenda gerakan sosial. Tidak ada istilah lain yang punya pengaruh sedemikian besar untuk mewakili agenda radikal itu dan upaya mencari-cari istilah baru seperti ‘post-capitalist’ akhirnya hanya keisengan yang tidak mendapat sambutan luas. Tapi sosialisme ini tidak perlu dibayangkan sebagai obat mujarab bagi semua penyakit, karena kehidupan manusia jauh lebih kompleks dari kekuatan kata dan konsep untuk merangkumnya. Sosialisme digunakan karena gerakan sosial memperjuangkan sistem yang berbeda dari kapitalisme, dan tidak sekadar berniat memperbaiki kekurangan yang pada dasarnya tidak mungkin diperbaiki tanpa mengubah landasannya.

Dari mana kita mulai?

Gerakan sosial tidak punya kemewahan untuk memilih titik berangkatnya sendiri, tapi harus mulai dari apa yang tersedia dan tidak bertolak dari sesuatu yang khayali. Imajinasi tentu diperlukan – dan itu perlu dibedakan dengan tegas dari khayalan – tapi titik tolak yang nyata bagi gerakan sosial adalah sesuatu yang material. Kemenangan kecil tapi segera selalu diperlukan, misalnya pekerjaan dan upah layak, lingkungan tempat tinggal yang bersih dan sehat, pendidikan dan layanan kesehatan murah, dan seterusnya. Beberapa tulisan dalam buku ini mewakili perjuangan yang spesifik di berbagai wilayah dan sektor, dan bisa dibaca sebagai usaha meraih kemenangan kecil dan segera. Tapi berbeda dengan pandangan yang melihat soal-soal ekonomi ini sebagai sesuatu yang ‘normatif’ dan hanya titik pijak untuk menuju sesuatu yang ‘politis’, saya kira perjuangan peningkatan taraf hidup material dengan cara melawan logika cari untung, mengembalikan makna nilai pakai di atas nilai tukar, dan pembangunan solidaritas sosial atau prinsip gotong royong, seharusnya berada di jantung setiap gerakan sosial. Di skala yang lebih luas adalah perjuangan untuk memenangkan kekuasaan publik di atas yang privat atau swasta tentu dengan bentuk baru, dan bukan BUMN atau perusahaan negara yang terbukti korup. Tantangannya di sini adalah mengaitkan perjuangan yang spesifik dengan agenda yang luas untuk mengembalikan kekuasaan publik dan common dalam kehidupan ekonomi dan politik, serta sebaliknya menerjemahkan prinsip yang besar dan umum untuk mengembangkan strategi aksi yang spesifik.

Cara pikir ini tentu bertentangan dengan keyakinan bahwa politik gerakan sosial harus dimulai dari pembenahan di tingkat pemikiran. Sering dalam pertemuan politik kita mendengar tuntutan agar gerakan memiliki konsep yang jelas. Versi yang lebih canggih dari suara seperti ini mengatakan bahwa kita harus kembali kepada pengertian politik yang sejati, karena politik yang ada sekarang sudah dikacaukan dan mengalami pendangkalan sedemikian rupa. Para penganjur pemikiran ini juga mengatakan bahwa demokrasi yang ada sekarang tidak menunjukkan ciri-ciri demokrasi seperti yang dimengerti dalam filsafat Yunani kuno. Kebebasan berserikat, berkumpul dan berekspresi tidak melahirkan pengelompokan kepentingan dalam bentuk partai atau organisasi politik tapi hanya menimbulkan kegaduhan yang kacau. Apa yang dimengerti sebagai politik adalah persaingan untuk kepentingan yang sangat dangkal dan dalam bentuk yang lebih dangkal lagi. Banyak ketidakberesan dalam penyelenggaraan kehidupan negara terjadi karena ketidakmampuan aparatnya. Pendapat dan perilaku banyak anggota DPR dan pejabat pemerintah memang sepertinya mengkonfirmasi pemikiran seperti itu. Banyak dari mereka memperebutkan jabatan karena lembaga negara menjadi situs akumulasi kekayaan. Dan benar, bahwa bagi banyak pejabat perbaikan keadaan dan perubahan sosial tidak termasuk dalam agenda kerja mereka.

Saya kira penilaian bahwa politik yang ada sekarang semakin dangkal dan demokrasi yang ada sangat jauh dari prinsip dasarnya sebagaimana dijabarkan dalam tradisi pemikiran Eropa yang berabad lamanya, memang benar. Tapi bagi saya cukup jelas juga bahwa semua ini bukanlah problem filsafat yang bisa diselesaikan dengan adanya perubahan paradigma atau pergeseran cara pandang. Gagasan untuk kembali kepada ‘politik sejati’ sudah tidak mungkin di dunia yang carut-marut dengan begitu banyak kepentingan selama berabad-abad. Gagasan untuk kembali kepada sebuah titik asal, sebuah titik berangkat atau lembaran baru bukan hanya tidak mungkin dilakukan tapi juga berbahaya, karena kita tidak mungkin membayangkan masyarakat majemuk seperti Indonesia dengan sejarah politik yang kompleks bisa berangkat dari titik yang sama tanpa adanya pertarungan, penaklukan dan dominasi. Masalahnya bukan bahwa dominasi kekuatan yang satu terhadap yang lain itu niscaya buruk – tentu saja saya setuju bahwa kekuatan fasis harus ditekan agar tidak berkembang misalnya – tapi dalam keadaan sekarang elemen-elemen gerakan sosial anti-kapitalis tidak dalam posisi untuk mendesakkan agendanya sama sekali, sehingga ide tentang titik asal itu menjadi sesuatu yang khayali. Kita memerlukan alternatif, tapi terlebih penting lagi alternatif yang realistis secara politik, bisa membuka jalan bagi pengembangan di masa kemudian (bukan sesuatu yang sekali-jadi) dan memang dapat digerakkan dengan kekuatan yang ada sekarang.

Karena itu, seperti halnya kritik Marx terhadap Hegel yang “berjalan dengan kepala di bawah,” saya kira gerakan sosial semestinya juga mulai dengan kritik terhadap ide ‘titik asal’ seperti itu. Teori untuk perubahan tidak datang dari gugus pikiran abstrak yang tidak ada gemanya dalam dunia nyata, betapa pun indah dan merdunya, tapi justru dari pengalaman konkret menghadapi berbagai masalah, termasuk politik predator yang dangkal dengan segala kegaduhan dan kekacauan yang ditimbulkannya. Gerakan sosial mesti bekerja di tengah dan dengan segala kekacauan yang ada, dan menjadikan setiap langkah sebagai batu untuk bangunan teori-praktek selanjutnya. Seperti Rosa Luxemburg yang berbicara tentang revolutionäre Realpolitik kita memerlukan agenda yang bisa mengintervensi proses ekonomi atau politik secara efektif tapi pada saat bersamaan mengembangkan politik radikal yang realistis. Himpunan intervensi yang spesifik ini kemudian memperjelas pemahaman bersama mengenai krisis yang dihadapi dan jalan keluar yang diperlukan. Hanya dengan begitu gerakan sosial bisa keluar dari logika reformasi dan melihat keterkaitan antara berbagai sektor dan wilayah yang dibicarakan dalam kumpulan tulisan ini.

Uraian ini bukanlah seruan untuk memulai sesuatu yang baru. Kumpulan tulisan ini memperlihatkan bahwa sudah begitu banyak yang dilakukan, dan yang diperlukan sekarang adalah upaya mengkonsolidasi berbagai pencapaian yang ada. Sayangnya dalam kenyataan gerakan sosial tidak punya suara yang padu menghadapi keadaan sehingga membawa pertanyaan penting: apakah himpunan orang, kelompok dan organisasi yang beragam ini masih bisa disebut sebagai sebuah gerakan. Para aktivisnya tersebar di banyak tempat mulai dari partai politik, kantor pemerintah, lembaga internasional, kelompok studi dan organisasi non-pemerintah, dari kota sampai desa. Jangankan menyusun agenda bersama, untuk mempertemukan persepsi mengenai hal-hal yang sangat mendasar (dalam pengertian fundamental dan elementer) masih banyak kesulitan. Karena itu penerbitan kumpulan tulisan simpul belajar Praxis menjadi sangat berharga. Di dalamnya kita bisa melihat konfigurasi pemikiran dan praktek gerakan sosial di berbagai tingkat, sektor dan wilayah, mulai dari usaha membentuk partai politik sampai pada perjuangan serikat buruh di tingkat nasional, dari kelompok perempuan di Sulawesi Selatan, petani di Jawa Timur dan gerakan ekowisata di Bali, sampai perjuangan menegakkan hak-hak asasi manusia yang lintas benua.

Penerbitan kumpulan tulisan ini adalah langkah penting untuk memulai pembicaraan serius untuk menghimpun kekuatan yang bertolak dari perjuangan sosial yang konkret. Kita bisa berharap lebih banyak dari ‘putaran Praxis’ sebagai sarana untuk memperkuat gagasan dan ikatan sehingga bisa menuju bentuk yang lebih solid di masa mendatang. Dan sungguh penting dalam proses ini untuk meletakkan dasar bagi kebudayaan progresif yang bisa mengikat himpunan itu tidak hanya di tingkat akal tapi juga rasa. Jalan perubahan ini masih panjang dan diperlukan daya tahan kebudayaan yang kuat untuk mengarunginya.

Hilmar Farid, 2010

Tulisan ini adalah pengantar untuk buku Belajar Merebut Kekuasaan : Gerakan Rakyat Dalam Pusaran Krisis Ekonomi dan Politik Elektoral. Wilson, Mulyani Hasan (ed.), Perkumpulan Praxis dan Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat, 2010.