Sejak 5 Maret 2007, Kejaksaan Agung melarang 13 judul buku pelajaran sejarah. Alasannya, buku-buku tersebut tidak memuat peristiwa pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948 dan tidak menulis kata PKI dalam peristiwa G30S.

Keputusan pelarangan buku ini, kembali menjadi jejak langkah bangkrutnya gerakan reformasi. Keputusan ini mengukuhkan sejarah versi rejim orde baru, versi sejarah yang sarat manipulasi, yang berujung pembodohan. Mengapa keputusan aneh tapi nyata ini keluar? Berikut wawancara Coen Husain Pontoh dari IndoPROGRESS bersama Hilmar Farid, sejarawan-cum aktivis gerakan sosial.

IndoPROGRESS (IP): Apa makna pelarangan 13 judul buku sejarah oleh Kejaksaan Agung itu?

Hilmar Farid (HF): Saya kira pelarangan itu memperlihatkan kekacauan dalam sistem pendidikan kita, kalau masih pantas disebut sistem. Kalau apa yang dipelajari murid di sekolah pun masih harus disensor oleh Jaksa Agung, lantas untuk apa ada Departemen Pendidikan Nasional? Soal sejarah ini sudah dibicarakan terus-menerus, melalui mekanisme uji publik, menjadi perdebatan di suratkabar, mengundang ahli dari segala bidang. Lha, kok buntutnya masih minta Jaksa Agung yang buat keputusan akhir? Orang paling bersalah di sini adalah Menteri Pendidikan Nasional yang memberi wewenang kepada Kejaksaan Agung untuk menyelidiki buku-buku yang kemudian dilarang itu. Orang kedua bersalah tentu Jaksa Agung, karena mestinya tahu bahwa itu bukan wilayah kerjanya. Dan kalau kita ingat bahwa Jaksa Agung ini pernah lama di Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan bahkan menjadi pengacara salah satu terdakwa kasus G-30-S, sudah sepantasnya kita berharap sikap dan keputusannya terhadap pendidikan sejarah di negeri ini jauh lebih cerdas dari apa yang ditunjukkannya melalui pelarangan buku tersebut.

(IP): Kira-kira apa dasar pertimbangan Kejakgung terhadap keputusannya itu?

(HF): Saya pernah menulis buku tentang pelarangan buku di Indonesia (1995), dan tidak pernah bisa mengerti pertimbangan yang digunakan Kejaksaan Agung untuk melarang buku. Misalnya diktat kuliah dari Franz Magnis-Suseno, dosen STF Driyarkara, tentang Marxisme-Leninisme. Diktat ini juga dilarang oleh Jaksa Agung, padahal menurut saya isinya justru mengkritik habis Marxisme-Leninisme. Dalam kasus buku sejarah yang dilarang sekarang dikatakan antara lain, “tidak menyebutkan pemberontakan PKI di Madiun pada 1948 dan hanya menulis keterlibatan G-30-S tanpa menyebut PKI pada 1965.” Ini sungguh absurd, karena buku-buku yang dilarang itu termasuk buku untuk kelas I dan II SMP. Lha, semua anak sekolah juga tahu bahwa sejarah setelah 1945 baru diajar di kelas III, jadi jangan heran kalau dalam buku-buku untuk kelas I dan II tidak ada keterangan tentang Madiun 1948.

Sejarawan Asvi Warman Adam baru-baru ini menulis di Koran Tempo (15 Maret 2007) bahwa salah satu buku yang dilarang itu sebenarnya masih menggunakan versi Orde Baru, artinya peristiwa G-30-S masih dilengkapi dengan embel-embel PKI. Itu ada di jilid ketiga dari seri buku terbitan Grasindo. Nah, celakanya pertama dari seri itu pun dilarang! Ini kan hanya menunjukkan ketidaktahuan atau ignorance yang parah. Saya jadi ragu apa tim dari Kejaksaan Agung yang konon meneliti buku itu selama setahun benar-benar membaca dan tahu apa yang jadi masalah. Dan kalau kecerdasan umum dipertaruhkan atau berada di tangan segelintir orang yang tidak tahu apa-apa tentang sejarah, dan tidak peduli kalau mereka tidak tahu, apa ini bukan celaka namanya?

(IP): Apa yang ditakutkan oleh pemerintah, dalam hal ini diwakili Kejakgung, sehingga harus mengeluarkan keputusan itu?

(HF): Alasan resminya, “khawatir akan menimbulkan keresahan, kontroversi” dan seterusnya. Tapi saya kira justru dengan pelarangan itu orang jadi resah. Penerbit resah karena rugi ratusan juta, mungkin milyaran rupiah, penulis buku sejarah resah karena tidak tahu versi mana yang mesti mereka pakai, anak sekolah resah karena tidak ada kepastian, orang tua resah karena mesti beli buku baru untuk anak-anaknya. Jadi banyak yang jadi resah karena pelarangan buku ini. Tapi “keresahan” yang dibayangkan oleh Kejaksaan Agung dan pemerintah, sebenarnya hanya fantasi belaka. Dan celakanya bangsa ini mau dijadikan tawanan fantasi tersebut.

Dan sayangnya sebagian masyarakat juga mau dihasut agar “resah”. Soal tidak mencantumkan PKI di belakang G-30-S misalnya. Saya heran, di Indonesia soal yang begini sepele bisa jadi masalah begitu besar. Sebagai sejarawan saya diajar untuk tidak berpikir anakronistik. Istilah G-30-S/PKI (artinya lengkap dengan garis miring PKI) itu kan dibuat oleh rezim Soeharto. Para pemimpin dan peserta gerakan itu sendiri menggunakan nama Gerakan 30 September. Nah, sudah semestinya kita taat pada istilah yang digunakan oleh para pemimpin gerakan itu, agar taat pada fakta. Jangan interpretasi bahwa PKI adalah pelaku G-30-S kemudian dijadikan “fakta”, seolah para pemimpin itu memang menggunakan istilah G-30-S/PKI. Ini yang disebut pemutarbalikan fakta atau tepatnya, pemalsuan sejarah!

Nah, susahnya cukup banyak orang, terutama yang mengaku “pelaku sejarah” yang suka histeris tanpa banyak pikir malah bilang mereka yang mau menghilangkan kata PKI di belakang G-30-S itu yang sedang memutarbalikkan fakta dan membangkitkan komunisme. Kalau penulisan dan kesadaran sejarah harus mengalah pada histeria semacam ini kan repot ya.

(IP): Di jaman yang katanya makin demokratis ini, apa yang ditakutkan pemerintah dari menghilangnya kata G30S/PKI dari buku-buku sejarah?

(HF): Wah, itu mestinya dijawab oleh pemerintah. Bagi saya “ketakutan” itu hanya mencerminkan satu hal: bahwa negeri ini masih jauh dari demokratis. Tidak berani menghadapi perbedaan kan satu ciri pikiran anti-demokrasi.

(IP): Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam menulis, keputusan Kejakgung itu menunjukkan betapa tidak profesionalnya institusi tersebut. Keputusan itu juga jelas merupakan langkah mundur yang sangat jauh ke belakang. Sepertinya rejim Orba ada di hadapan mata. Mengapa hal ini bisa terjadi?

(HF): Nah, ini masalah serius. Bagi saya ini bukti kegagalan memperdalam demokrasi. Demokrasi hanya ada di permukaan. Kita cukup puas ketika Jaksa Agung lama tidak melarang buku-buku dan membiarkan buku-buku yang semula dilarang beredar dengan bebas, lalu lupa mempersoalkan rezim pelarangan itu sendiri. Lupa bahwa Jaksa Agung berdasarkan UU punya kewenangan membatasi dan melarang peredaran barang cetakan. Dengan kata lain ada agenda demokrasi yang tidak selesai. Soal rezim Orde Baru sepertinya bangkit lagi, pendapat saya: rezim itu tidak pernah benar-benar tumbang. Limbung mungkin istilah yang jauh lebih tepat. Indonesia tidak pernah mengalami political lustration, mayoritas pendukung Orde Baru masih duduk tegas di kursi mereka terlepas dari reorganisasi politik, munculnya aliansi-aliansi politik baru, dst.

(IP): Agak menyimpang, dalam konteks sejarah Indonesia, apa penting dan mendesaknya penulisan sejarah yang independen dari intervensi penguasa?

(HF): Sejarah ini kan menyangkut identitas, sejarah menjawab pertanyaan dasar: siapa kita sebenarnya. Nah, kalau untuk mengenali diri sendiri saja kita harus mengikuti kemauan penguasa, untuk apa merdeka? Di zaman kolonial persis itulah yang dilakukan penguasa: rakyat hanya cukup bisa baca-tulis-hitung, dan menyerahkan semua urusan lainnya pada penguasa kolonial. Republik ini dibentuk kan justru untuk menghancurkan penindasan semacam itu, lha sekarang kok malah mau balik ke sana? Penulisan sejarah yang bebas dari intervensi penguasa (dan siapa pun juga), menjamin bahwa pembentukan identitas ini menjadi proses yang dinamis. Ada dialog, ada pergulatan pemikiran, yang membuat identitas menjadi lebih solid.

(IP): Apa yang harus dilakukan sehubungan dengan pelarangan buku-buku sejarah itu?

(HF): Ya, jelas mesti dilawan. Beberapa teman sejarawan, guru sejarah, peneliti dan aktivis mengadakan pertemuan baru-baru ini yang menghasilkan sebuah petisi. Ini aksi kecil, dan kita tahu hampir tidak mungkin mengubah keputusan Jaksa Agung. Tapi dengan petisi ini kita menunjukkan kepada khalayak bahwa ada banyak orang yang tidak setuju pada keputusan itu.***

Hilmar Farid, 2007

sumber: indoprogress