Menulis sejarah bukan perkara mudah. Impian agar sejarawan bisa menghadirkan masa lalu wie es eigentlich gewesen ist (sebagaimana sesungguhnya terjadi) dewasa ini semakin jelas tidak mungkin terwujud. Seandainya ada mesin waktu yang bisa melontarkan kita ke masa lalu pun, sejarah tetap akan dilihat dari perspektif tertentu, dan tidak dapat dihadirkan kembali sepenuhnya. Sejarah, seperti kita tahu adalah representasi dari masa lalu dan bukan masa lalu itu sendiri. Sejarah selalu diceritakan, disusun kembali, berdasarkan informasi yang bisa diperoleh mengenai masa lalu, dan karena itu akan selalu kurang, tidak lengkap dan memerlukan perbaikan. Karena itu sejarawan umumnya mengatakan bahwa sejarah itu terbuka bagi interpretasi yang berbeda, dan selalu bisa ditulis ulang.

Tapi ini tidak berarti bahwa kita bebas menafsirkan dan menulis sejarah. Ada prinsip dasar yang membatasi kebebasan tafsir: pijakan pada fakta atau kenyataan yang diketahui berdasarkan sumber informasi yang tersedia dan dapat diuji. Kita tidak dapat menyandarkan penulisan sejarah pada desas-desus dan dugaan.

Kekacauan dalam debat mengenai Gerakan 30 September atau G-30-S bersumber dari pencampuradukan fakta, fiksi dan fantasi antara apa yang sesungguhnya terjadi dengan apa yang diceritakan atau dibayangkan/diharapkan orang telah terjadi. Di pusat kekacauan ini adalah penguasa Orde Baru yang menjadikan tafsirnya yang penuh dengan fiksi dan fantasi sebagai sejarah resmi yang tidak boleh dibantah. Orde Baru bersikeras mempertahankan tafsirnya mengenai peristiwa G-30-S karena semua tindakannya untuk menghabisi PKI – mulai dari menangkapi dan menghukum sebagian pemimpin dan membunuh ratusan ribu orang – bersandar pada sejarah resmi itu. Penulisan sejarah di sini terkait dengan legitimasi politik dan tanggung jawab hukum.

Sejarah resmi ini, seperti nasib sejarah resmi di mana pun, mendapat kritik dari banyak pihak yang kemudian menyusun versi alternatif. Walau memikat, ada masalah besar dengan versi alternatif ini. Para penulis versi alternatif ini biasanya lebih tertarik pada persoalan politik sejarah dan ingin mengimbangi atau menentang sejarah resmi, dan dengan berbuat begitu, mereka secara sadar maupun tidak menerima medan pertempuran yang dibuka oleh sejarah resmi: siapa dalang G-30-S? Keterpakuan dan keterpukauan pada dalang ini membuat seluruh diskusi G-30-S berjalan di tempat. Keinginan untuk menunjuk siapa yang bersalah sering membuat orang lupa menjelaskan apa kesalahan yang dilakukan.

Meninggalkan Teori Dalang
Terlepas dari kesimpulan akhir yang berbeda-beda, semua karya yang mementingkan pengungkapan dalang G-30-S berasumsi bahwa gerakan itu adalah persekongkolan politik yang direncanakan dengan baik, memiliki rencana yang jelas, dan berada di bawah garis komando. Sejarah resmi mengatakan bahwa G-30-S adalah kudeta komunis, dan di hulu garis komando itu adalah PKI yang didukung oleh negara-negara sosialis, terutama Tiongkok. Belakangan daftar terdakwa ini diperpanjang dan memasukkan Soekarno. Para pendukung Soekarno pada akhir 1960-an menjadi sasaran represi.

Mereka yang kritis terhadap versi ORBA mengatakan bahwa Soeharto adalah dalangnya. Ada beberapa kejadian yang menurut para pembela teori ini mendukung kesimpulan itu: pertemuan Latief dan Soeharto di rumah sakit 30 September 1965 malam hari di rumah sakit, tidak masuknya Soeharto dalam daftar jenderal yang akan diculik oleh G-30-S, padahal dalam praktek ia adalah orang kedua di Angkatan Darat setelah Menpangad Ahmad Yani, dan juga persahabatannya dengan Latief maupun Untung yang merupakan tokoh kunci G-30-S. Di masa perlawanan terhadap Soeharto, versi ini begitu memikat dan cocok dengan slogan ‘Soeharto Dalang Segala Bencana.’ Tentu ada banyak pertanyaan kritis dapat dilontarkan terhadap ‘teori’ ini: apa benar Soeharto sepandai itu dapat membuat plot (tanpa menjadi sutradara) yang meruntuhkan dua pilar kekuatan politik terpenting di Indonesia saat itu (PKI dan Soekarno)?

Versi lain mengatakan bahwa G-30-S adalah plot yang dibuat oleh Amerika Serikat, khususnya dinas rahasianya, CIA. Teori ini sangat populer, terutama di masa AS makin kuat menancapkan hegemoninya di Dunia Ketiga, termasuk Indonesia. Ada banyak keterangan yang mendukung argumentasi ini, yang paling penting di antaranya: kepentingan AS menyingkirkan Soekarno dan PKI. Memang benar, AS mungkin pihak yang paling diuntungkan oleh pembunuhan massal yang dilakukan terhadap anggota, pendukung dan simpatisan PKI – atau mereka yang diduga demikian – serta penyingkiran Soekarno setelah Maret 1966. Belakangan ada bukti bahwa kedutaan AS di Jakarta aktif memberikan informasi kepada Angkatan Darat mengenai pimpinan dan kader gerakan kiri yang perlu disingkirkan.

Buku John Roosa ini berbeda secara mendasar dari berbagai versi ini, bukan karena punya teori lain mengenai dalang, atau menemukan dalang baru, tapi karena mempertanyakan seluruh teori dalang ini.

Mengatakan bahwa G-30-S didalangi oleh pihak tertentu, tentu mengasumsikan bahwa plot – apa pun itu dan siapa pun yang membuatnya – berjalan sesuai dengan rencana. Sementara Roosa dengan penelitian yang cermat memperlihatkan bahwa gerakan itu sebenarnya tidak tepat menyebut diri gerakan. Saat menjalankan gerakan pun para aktor utama tidak tahu apa yang semestinya mereka lakukan. Salah satu titik terpenting adalah pembunuhan para perwira yang sedianya dihadapkan kepada Soekarno. Roosa mengatakan “siapa tepatnya yang membunuh para perwira itu masih belum diketahui.” (hlm. 60). Ada ahli yang menduga bahwa perintah pembunuhan itu diberikan oleh Lettu Doel Arief, yang kemudian menghilang secara misterius. Apa pun penjelasannya, yang pasti para pemimpin G-30-S tidak menyiapkan diri terhadap pukulan balik (hlm. 66-67), sama sekali tidak menyiapkan rencana alternatif ketika Soekarno menolak untuk menemui mereka, dst.

Dua Peristiwa Berbeda tapi Terkait

Judul buku ini, Dalih Pembunuhan Massal, memperlihatkan hubungan antara peristiwa G-30-S dengan pembunuhan massal terhadap anggota, simpatisan dan pendukung PKI dan organisasi gerakan kiri. Pembunuhan sebagai akibat dari G-30-S, atau lebih tepatnya tafsir terhadap G-30-S. Penguasa ORBA selama ini menjelaskan pembunuhan massal sebagai “ekses” karena masyarakat marah melihat pengkhianatan PKI. Seolah-olah reaksi terhadap PKI adalah sesuatu yang wajar/alamiah karena perilaku PKI sendiri. Roosa menunjukkan bahwa kita perlu memisahkan antara apa yang terjadi dan juga teori, tafsir atau juga fantasi kita mengenai peristiwa itu. Bukunya merupakan usaha ilmiah untuk memahami apa yang sesungguhnya terjadi, berdasarkan bukti-bukti yang ada. Pembunuhan massal sementara itu terjadi bukan sebagai konsekuensi logis, tapi sebagai akibat tafsir penguasa ORBA, khususnya Soeharto, mengenai peristiwa G-30-S.

Ben Anderson (1987) menulis artikel di jurnal Indonesia dengan judul “Bagaimana Para Jenderal itu Tewas?” berdasarkan visum et repertum yang dibuat oleh tim dokter yang ditunjuk oleh Soeharto. Visum itu bertolak belakang dengan berita-berita yang dimuat dalam harian Angkatan Bersendjata dan Berita Y udha – yang dikelola oleh Angkatan Darat – bahwa para jenderal yang diculik mengalami penyiksaan, matanya dicungkil, kemaluannya dipotong dan seterusnya. Visum itu jelas memperlihatkan bahwa tidak ada mata yang dicungkil dan semua kemaluan utuh pada tempatnya. Pertanyaannya, mengapa Angkatan Darat tidak mengumumkan kebenaran itu melalui media yang dikontrolnya, dan justru membiarkan cerita-cerita yang tidak benar memenuhi halaman-halamannya?

Kita tahu bahwa “kemarahan” massa yang seolah tidak bisa dikontrol sebenarnya adalah reaksi terhadap berita tidak benar mengenai kematian pada jenderal itu. Di mana-mana pejabat militer berpidato mengingatkan orang akan “kekejaman” G-30-S. Tapi penyulut yang paling penting adalah pernyataan bahwa jika PKI menang dan G-30-S berhasil maka banyak orang non-komunis, apalagi anti-komunis, akan mengalami perlakuan yang sama (yang sebenarnya tidak pernah terjadi). Di banyak tempat beredar daftar orang yang akan dihabisi oleh PKI seandainya G-30-S menang – pemimpin agama, tokoh politik, pemuda, mahasiswa. Tidak seorang pun bisa mengkonfirmasi bagaimana dokumen itu beredar. Dalam banyak wawancara terungkap bahwa daftar itu diumumkan oleh pemimpin militer yang menggerebek kantor PKI dan organisasi massa kiri. Tidak hanya itu, dalam penggerebekan itu juga ditemukan lubang-lubang yang konon sudah disiapkan oleh anggota PKI di rumah mereka, di kantor mereka atau di kebun mereka, yang akan dipakai untuk menanam jenazah para tokoh yang akan dibunuh. Temuan paling hebat adalah alat pencungkil mata (saya tahu kasus di Garut) dalam jumlah ratusan, yang konon akan dipakai untuk mencungkil mata para tokoh anti-komunis dan non-komunis. Bagi mereka yang hidup di daerah pedesaan besar kemungkinan mengenali “alat pencungkil mata” itu sebagai alat untuk menyadap karet, yang dalam sejarah alat itu belum pernah digunakan untuk mencungkil mata orang (walau saya mendengar cerita bahwa ada orang komunis yang kemudian matanya dicungkil).

Pembunuhan dilakukan bukan sebagai reaksi alamiah terhadap G-30-S, tapi sebuah reaksi terhadap representasi G-30-S atau kisah mengenai G-30-S yang dihadirkan kepada khalayak.

Dengan kesimpulan ini saya tidak hendak menggambarkan PKI sebagai domba dan militer, AS dan siapa pun yang terlibat dalam kampanye fitnah dan pembunuhan massal sebagai serigala. Saya juga tidak ingin mengatakan bahwa pembunuhan terhadap para perwira di Lubang Buaya dapat dibenarkan. PKI memang berniat menguasai negara, seperti layaknya sebuah partai politik. Di daerah-daerah banyak kadernya yang aktif dan menurut cerita yang saya dengar, juga sangar. Demonstrasi PKI dan ormas kiri biasanya sangat ramai dan juga menakutkan bagi mereka yang menjadi sasarannya. Aksi-aksi sepihak untuk menegakkan UUPA 1960 yang dilancarkan BTI (dan sebenarnya organisasi petani lain juga) memang kadang disertai bentrokan, mirip dengan apa yang kita saksikan setiap hari di televisi sekarang ini.

Dengan kata lain, konflik antara PKI dan kekuatan politik lainnya menguat menjelang peristiwa 1965, namun tetap pembunuhan massal tidak dapat dilihat sebagai reaksi yang wajar. Pertanyaannya, mengapa pembunuhan baru terjadi 1965? Dan paling penting, pembunuhan massal bukanlah konflik antara dua kekuatan. Di satu pihak ada militer yang didukung (atau lebih tepatnya, menghimpun) kekuatan sipil anti-komunis, seperti pemuda, mahasiswa, dan bahkan pelajar, dengan rencana yang jelas untuk menumpas PKI, dan di pihak lain ratusan ribu anggota PKI, organisasi massa kiri, yang mayoritas tidak tahu apa yang terjadi, dan lebih penting, apa yang harus dilakukan. Tidak ada pertempuran di antara dua pihak seperti layaknya dalam sebuah konflik. Di beberapa tempat orang dengan sukarela pergi ke tempat-tempat penahanan untuk “mengklarifikasi” posisi mereka terhadap G-30-S, tapi tetap ditahan.

Dalih Pembunuhan Massal menjelaskan dua hal: (a) bahwa G-30-S adalah aksi yang gagal dan melibatkan banyak pihak. Banyak hal mengenai gerakan itu yang belum terungkap dan mungkin juga tidak akan terungkap karena tidak ada lagi bukti, (b) bahwa G-30-S digunakan – disalahtafsirkan dan disalahrepresentasikan – sebagai dalih untuk melancarkan operasi pembasmian yang menjadi salah satu tragedi kemanusiaan dalam sejarah modern.

Hilmar Farid, 2008

Paper ini dipresentasikan dalam Bedah Buku “Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto” pada 31 Maret 2008, di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.