Kisah Tiga Patung
Jakarta, 28 Desember 1949. Puluhan ribu orang berdesakan di depan istana gubernur jenderal di pusat kota Jakarta, menunggu kedatangan Bung Karno beserta keluarga tiba dari Yogyakarta. Sehari sebelumnya di tempat yang sama, pemerintah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat, mengakhiri perang yang sudah berlangsung selama empat tahun lebih. Bagi penduduk Jakarta, dan Indonesia, ini adalah saat yang ditunggu-tunggu. Mereka ingin mendengar Bung Karno, presiden republik, berbicara menyambut peristiwa penting itu.
Saat mobil yang membawa Bung Karno terlihat mendekat, orang serentak maju berkerumun, mengulurkan tangan untuk menyalami, atau sekadar melambaikan tangan sambil bersorak-sorai. Mobil terus bergerak menuju istana dan ribuan orang berlari kecil mengikuti. Ketika Bung Karno turun dan berpidato di tangga istana, ribuan massa bergerak maju berdesakan di tangga dan halaman istana. Sejak selesai dibangun pada 1879 tak pernah ada orang pribumi berdesakan di halaman istana, apalagi sampai naik ke tangga istana. Tapi hari itu barisan penjaga dan tembok pemisah tak lagi dihiraukan. Pemerintah kemudian mengganti nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka dan sebuah proses perubahan pun dimulai.
Membangun sebuah kota warisan kolonial menjadi pusat pemerintahan nasional bukan perkara mudah. Sejak abad ke-17 Batavia tumbuh sebagai pusat kekuasaan kolonial. Penataan kota dibuat sedemikian rupa untuk mengukuhkan pemisahan sosial antara penjajah dan yang dijajah. Kedatangan balatentara Jepang sedikit mengubah wajah kota. Patung Jan Pieterszoon Coen di Waterlooplein (sekarang Lapangan Banteng) diturunkan. Nama jalan dan tempat di seluruh kota diganti. Tapi semua itu belum cukup untuk memberi warna nasional pada kota yang penuh dengan warisan kolonial.
Bung Karno menaruh perhatian khusus pada pembangunan Jakarta sejak awal. Sebagai gerbang yang menghubungkan Indonesia dengan dunia luar maka Jakarta harus punya identitas yang kuat dan wajah yang jelas di atas peta dunia. Untuk itu sejak 1950-an, Bung Karno mulai memikirkan dan ikut merancang pembangunan berbagai monumen. Pada 17 Agustus 1954, Bung Karno membentuk Panitia Monumen Nasional di Lapangan Merdeka (dahulu disebut Koningsplein). Setelah terhenti beberapa waktu, pada 17 Agustus 1961, pembangunan Monumen Nasional dimulai. Pembangunan obelisk setinggi 117 meter rampung dalam waktu dua tahun, tapi keseluruhan monumen baru selesai pada 17 Juli 1975.
Pada 14 Januari 1960 Bung Karno mengeluarkan surat keputusan yang mengubah status Jakarta dari kotapraja menjadi daerah khusus ibukota. Pangkat pejabatnya pun dinaikkan dari walikota menjadi gubernur. Pada Juli 1975 kedudukan seorang Gubernur DKI setara dengan menteri. Gubernur pertama adalah Soemarno Sastroatmodjo (1911-1991), seorang dokter militer. Wakilnya Henk Ngantung (1921-1991), seorang pelukis terkemuka yang pada 1964 menggantikan Soemarno sebagai gubernur. Di masa kepemimpinan Soemarno dan Henk Ngantung inilah perubahan wajah Jakarta mulai dilakukan. Momentum yang digunakan Bung Karno adalah pelaksanaan Asian Games IV di Jakarta. Pada 1962 Bung Karno merencanakan pembangunan sebuah kompleks olahraga di kawasan Senayan dengan bantuan Uni Soviet.
Pembangunan berlangsung cepat dan sebuah stadion megah sudah tegak berdiri pada 21 Juli 1962, beberapa waktu sebelum pelaksanaan Asian Games. Beberapa kilometer di sebelah utara kompleks itu kemudian berdiri Hotel Indonesia di atas tanah seluas 25.000 meter persegi. Beberapa bangunan dan konstruksi lain penting yang dibangun di masa itu adalah Gedung Conefo (kemudian menjadi Gedung DPR), Jembatan Semanggi, dan pusat perbelanjaan Sarinah.
Pembangunan berbagai fasilitas dan bangunan itu kerap disebut sebagai ‘politik mercu suar’ dalam pengertian yang negatif, yakni memamerkan sesuatu yang gemerlap kepada dunia luar sementara keadaan di dalam negeri semakin bobrok. Tapi sesungguhnya Bung Karno tidak sekadar memamerkan sesuatu yang gemerlap, melainkan menunjukkan kepada dunia akan kemampuan orang Indonesia membangun negerinya dengan kekuatan sendiri. Berdiri di atas kaki sendiri. Berdikari. Dalam pidato kenegaraan 17 Agustus 1965, Bung Karno mengatakan:
“Jika rakyat kita dan para pemimpinnya bersungguh-sungguh mengembangkan daya kreasinya, pastilah kita tidak akan kekurangan barang keperluan, pastilah kita tidak perlu impor barang-barang keperluan sehari-hari, bahkan kita akan dapat mengekspor barang-barang keperluan itu, hingga terlaksanalah prinsip ‘berdiri diatas kaki sendiri’ dalam ekonomi.”
Dalam konteks internasional sikap itu adalah perwujudan dari politik negeri yang baru bebas dari penjajahan. Di Asia dan Afrika bermunculan pemerintahan dengan sikap serupa, menentang imperialisme dan membangun negerinya dengan cara mereka sendiri. Bung Karno menyebut negeri-negeri yang baru merdeka ini sebagai new emerging forces. Tentu tidak semua pemerintahan di Asia dan Afrika bersikap sama dan perbedaan politik ini kadang menimbulkan masalah.
Pada akhir Agustus 1962, Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games. Sejumlah 1.460 atlet dari 16 negara turut berlomba dalam tersebut. Karena politik solidaritas dengan dunia Arab dan juga untuk menjaga hubungan politiknya dengan Republik Rakyat Tiongkok, maka Indonesia menolak memberi visa kepada atlit dari Israel dan Taiwan, padahal keduanya adalah anggota Olympic Council of Asia dan Asian Games Federation. Pemerintah Indonesia sebelumnya juga sudah menyatakan komitmen untuk mengundang semua anggota federasi. Karena tindakan itu Indonesia kemudian diberhentikan oleh International Olympic Committee (IOC).
Bung Karno menangkap rangkaian peristiwa ini sebagai tekanan politik terhadap negeri-negeri yang baru merdeka oleh old established forces. Sebagai reaksi atas kejadian itu ia justru merencanakan sebuah perhelatan olahraga lain The Games of the New Emerging Forces atau Ganefo. Sikap ini dikecam sebagai upaya mengacaukan olahraga dengan politik, tapi Bung Karno balik mengatakan bahwa kekacauan itu justru bersumber dari old established forces yang terus memaksakan kehendak mereka dengan dalih ‘netralitas’. Karena itu Ganefo sejak awal ditetapkan berpihak pada perjuangan negeri-negeri yang baru merdeka. Pada 10-22 November 1963 Ganefo berlangsung di Jakarta, diikuti oleh 2.700 atlet dari 51 negara Asia, Afrika, Eropa dan Amerika Latin.
Dengan latar seperti ini Bung Karno membayangkan pembangunan Jakarta yang baru. Tentu ini bukan tugas mudah karena selama tiga abad Batavia dibangun mengikuti kepentingan penguasa kolonial. Karakter kolonial melekat dalam tata ruang, bangunan dan kehidupan sosial kota.
Apa yang mesti dilakukan untuk memberi ‘warna Indonesia’pada Jakarta? Dalam sebuah pidatonya pada 1963 Bung Karno mengibaratkan monumen dan patung di sebuah kota seperti celana untuk menutupi tubuh yang telanjang. Setiap kota memiliki penanda (landmark), berupa monumen atau bangunan yang membuatnya dikenal dunia. Di Indonesia semua penanda itu adalah warisan kolonial. Membangun monumen karena itu dianggap sebagai langkah penting untuk menegaskan identitas dan mengembalikan rasa percaya diri serta kebanggaan sebagai nasion.
Patung Selamat Datang
Suatu pagi, akhir 1959, pematung Edhi Sunarso menghadap Bung Karno di Istana Merdeka. Ia diterima di halaman belakang Istana, tempat Bung Karno biasa menerima para tamu dan stafnya untuk minum teh bersama di pagi hari. Ketika bertemu, Bung Karno langsung memintanya merancang sebuah monumen yang akan didirikan untuk menyambut para atlet dari mancanegara yang akan berlaga dalam Asian Games IV di Jakarta. “Saya minta patungnya setinggi sembilan meter. Nanti akan diletakkan di bundaran depan Hotel Indonesia.”
Tak lama kemudian Henk Ngantung dan Trubus, keduanya pelukis ternama, datang bergabung. Bung Karno menyambut mereka dan mengambil posisi memeragakan patungnya. “Begini lho!” katanya memberi contoh. Kaki kanannya diajukan dan tangannya melambai gembira. “Selamat datang! Selamat datang para olahragawan!” Edhi Sunarso, Henk Ngantung, dan Trubus, spontan membuat sketsa selagi Bung Karno berpose. Pada akhirnya sketsa yang dibuat Edhi Sunarso yang disetujui. Pembagian kerja pun dimulai. Edhi Sunarso bertanggung jawab membuat rancangan monumen dibantu oleh Trubus, sementara Henk Ngantung, yang juga menjabat sebagai wakil gubernur Jakarta waktu itu, bertugas mengawasi pembuatannya.
Awalnya Edhi Sunarso ragu menerima tugas itu karena belum pernah membuat patung perunggu sebelumnya. “Jangankan sembilan meter, sepuluh sentimeter pun belum pernah.” Tapi Bung Karno meyakinkan dirinya bahwa ia pasti sanggup menyelesaikan tugas itu. Pembicaraan berlangsung tidak sampai setengah jam dan segera setelah itu Bung Karno pergi melanjutkan tugas negara. Tinggal Edhi Sunarso, Henk Ngantung dan Trubus yang masih tercenung mendapat tugas berat. Tak seorang pun dari mereka pernah membuat patung perunggu, apalagi setinggi sembilan meter.
Edhi Sunarso kembali ke Yogyakarta dengan beban berat di pundaknya. Setiba di sana ia langsung menghubungi Ignatius Gardono, seorang seniman patung dan sahabatnya sejak lama. Gardono juga belum pernah membuat patung perunggu tapi setidaknya bersedia mencari jalan bersama. Keduanya lagu mendatangi bengkel kereta api di Pengok dengan harapan para montir dan pekerja di sana bisa membantu mencari jalan keluar. Mereka bertemu dengan Pak Mangun dan Pak Sastro, dua tenaga kawakan di bengkel yang juga belum pernah membuat patung perunggu tapi berpengalaman dengan peleburan besi. Walau belum berpengalaman tekad kerjasama menjadi landasan yang kuat untuk mengambil langkah selanjutnya.
Pembagian kerja dimulai. Gardono menyiapkan pengecoran perunggu bersama para montir dan pekerja kereta api. Mereka mendirikan bangunan yang cukup luas tapi sederhana sebagai tempat kerja. Tungku untuk mencairkan logam dibuat dari lokomotif bekas yang dimodifikasi. Edhi Sunarso sementara itu mulai mencari gips sebagai bahan dasar patungnya. Untuk keperluan itu ia menghubungi perusahaan gips yang dibentuk oleh mantan Tentara Pelajar di Girimulyo, Solo. Mendengar rencana membangun monumen besar di Jakarta mereka tergerak untuk meminjamkan alat berat seperti mesin diesel yang berkapasitas 7000 watt.
Ide dasar patung ‘Selamat Datang’ sendiri berasal dari Bung Karno. Ada ahli yang menilai bahwa dari segi bentuk patung itu mirip dengan patung terkenal dari Vera Mukhina (1889-1953), “The Worker and the Kolkhoz Woman.” Seperti terlihat dari judulnya patung itu terdiri atas dua figur, laki-laki dan perempuan, dengan gerak menyongsong. Tinggi patungnya sekitar 24.5 meter dari bahan baja. Tapi ada juga yang berpendapat lain bahwa patung itu memang ide orisinal Bung Karno yang kadang terjadi secara spontan saja. Hal yang pasti bagi Henk Ngantung, yang pernah menulis pendapatnya mengenai patung itu dalam sebuah penerbitan DKI Jakarta, monumen itu bukan hanya untuk menyambut para atlit Asian Games, tapi juga menjadi tanda bahwa orang Indonesia siap menyambut masa depannya sendiri.
Teknis Pembuatan
Sketsa patung dibuat oleh Henk Ngantung dan Edhi Sunarso berdasarkan peragaan bentuknya oleh Bung Karno. Setelah mendapat persetujuan dari Bung Karno sketsa itu dikembangkan menjadi model patung dari bahan gips. Model itu dibuat setinggi 90 sentimeter atau sepersepuluh dari rencana patung aslinya. Edhi Sunarso lalu membuat rangka dari perancah bambu yang memproyeksikan model patung 90 sentimeter itu sepuluh kali lipat menjadi sembilan meter. Di tahap ini Edhi Sunarso mementingkan proporsi dan bentuk kasar yang kemudian baru dibentuk dengan kapak. Fase ini memerlukan tenaga besar, kecermatan dan keahlian luar biasa.
Tenaga kerja yang terlibat dalam pembuatan patung itu cukup banyak. Tujuh orang membantu Edhi Sunarso membuat model patung. Mereka tergabung dalam Keluarga Artja yang sudah berpengalaman membuat beberapa monumen dari batu sebelumnya. Di samping tenaga ahli ini ada belasan orang yang membantu pekerjaan kasar di setiap bagian. Untuk pengecoran perunggu ada belasan orang pekerja lain, jadi total tenaga yang terlibat dalam pembangunan monumen ini sekitar 40 orang yang berperan besar sehingga Edhi Sunarso sering menyebut pembuatan monumen itu sebagai pekerjaan kolektif. Untuk fasilitas kerja tim kerja itu mendapat bantuan dari berbagai pihak, termasuk eks-Tentara Pelajar yang punya usaha pembuatan gips dan PJKA yang memiliki berbagai alat berat. Model awal dikerjakan dalam waktu relatif singkat. Bung Karno kemudian datang meninjau bersama beberapa tamu asing yang kebetulan berkunjung ke Indonesia untuk keperluan lain. Dalam pertemuan itu Bung Karno sempat menganjurkan Edhi Sunarso untuk menambah dinamika gerak pada patungnya. Sebaliknya Edhi Sunarso mengatakan bahwa patung sembilan meter itu terlalu besar untuk ditempatkan di bundaran Hotel Indonesia. Akhirnya disepakati pembuatan patung baru setinggi enam meter.
Langkah selanjutnya adalah pengecoran. Sementara pembuatan model berlangsung, tim pengecoran dipimpin Ignatius Gardono melalui berbagai eksperimen dengan patung yang lebih kecil. Mereka bekerja dalam bengkel sederhana yang cukup luas. Ketika model patung selesai, tim itu mengerjakan tiap bagian monumen secara terpisah yang kemudian direkatkan kembali dengan las.
Waktu pengerjaan monumen secara keseluruhan kurang dari satu tahun, dimulai Agustus 1961 dan dipasang pertengahan 1962.
Pembebasan Irian Barat
Pada 19 Desember 1961 Bung Karno berpidato di hadapan ribuan orang di Yogyakarta tentang pembebasan Irian Barat yang menandai dimulainya mobilisasi massa untuk keperluan itu. Jika semula hampir seluruh proses politik berlangsung melalui diplomasi, maka sejak pidato itu – yang mencetuskan konsep Trikora atau Tri Komando Rakjat – Bung Karno memilih untuk mengarahkan segenap kekuatan untuk mendukung perjuangan di tingkat diplomasi.
Untuk mengikat mobilisasi ini secara simbolik Bung Karno merencanakan pembangunan sebuah monumen baru. Untuk keperluan itu Edhi Sunarso kembali dipanggil ke Istana Merdeka. Bung Karno mengutarakan keinginannya membuat patung setinggi sembilan meter. “Buatlah figur manusia Indonesia yang sudah berhasil mematahkan rantai dari kedua tangan dan kakinya. Dan berteriak bebas penuh semangat. Seperti aku ini, lho!” Bung Karno lalu mengangkat kedua tangan dan berteriak keras, “bebas!” Seperti sebelumnya Edhi Sunarso dan Henk Ngantung langsung membuat skets sementara Bung Karno berpose.
Patung itu berupa figur orang yang mengangkat kedua belah tangannya ke belakang, dengan gerak menjebol rantai yang semula mengikatnya. Sisa rantainya masih bergelayut di tangan dan kakinya, menandakan bahwa pembebasan itu baru terjadi. Wajahnya terlihat berseru “bebas!” Patung itu menghadap ke barat. Menurut Edhi Sunarso ini karena Bung Karno ingin membuat pernyataan kepada dunia Barat yang masih terus ingin berkuasa di Indonesia.
Teknis pembuatan
Kembali ke Yogyakarta, Edhi Sunarso mulai bekerja. Model patung selesai dalam waktu seminggu dengan tanah liat. Ia mengirim fotonya kepada Bung Karno yang kemudian balik mengomentari bahwa patungnya masih kurang dinamis. Edhi kembali bekerja dan membuat model yang kedua, dan segera mendapat persetujuan Bung Karno. Di Jakarta Henk Ngantung mengurus lokasi penempatan monumen itu di Lapangan Banteng, yang dulu disebut Waterlooplein, sebuah lapangan luas di pusat kota.
Tinggi monumen disepakati 28 meter ditambah 4 meter untuk ruang plaza yang menyangganya, jadi total keseluruhan tingginya dari permukaan tanah adalah 32 meter. Arsitek dari monumen ini adalah Friedrich Silaban (1912-1984) yang sejak zaman Belanda sudah bekerja sebagai tenaga ahli di pemerintahan kotapraja. Pembangunan dan teknik sipil dikerjakan oleh Hutama Karya di bawah pimpinan Ir Sutami.
Pengerjaannya monumen sendiri, artinya proses pembuatan model, proyeksi dengan skala garis, dan pengecoran perunggu tidak menemukan kesulitan berarti karena para tenaga kerja sudah berpengalaman dengan Monumen Selamat Datang. Masalahnya hanya saat pemasangan patung. Sama seperti sebelumnya patung sebesar sembilan meter itu dibagi menjadi beberapa bagian, dan tiap bagian beratnya sekitar 100 kilogram. Paling berat adalah bagian kaki yang mencapai 150 kilogram. Karena keterbatasan alat maka tiap bagian itu kemudian diangkat ke atas dengan takel yang kemampuan angkatnya hanya enam meter. Tidak ada derek besar atau crane yang bisa membuat pekerjaan lebih mudah.
Tinggi keseluruhan patung sampai kepala 9 meter dan sampai ujung tangan mencapai 11 meter. Tinggi landasan patungnya 25 meter. Patung itu dikerjakan dalam waktu setahun dari pembuatan model sampai pemasangan. Setelah selesai dikerjakan di Yogyakarta, patung itu dibawa ke Jakarta untuk dipasang, dan diresmikan pada 17 Agustus 1963 oleh Bung Karno.
Dirgantara
Setelah selesai membuat Monumen Pembebasan Irian Barat, Edhi Sunarso dan sebagian timnya diminta untuk mengurus diorama Monumen Nasional di Jakarta. Ia diberi, tempat khusus bekerja dan tinggal selama mengerjakan proyek tersebut. Di tengah kesibukannya Bung Karno kembali memintanya datang. Kali ini hadir pula sejumlah menteri dan panglima angkatan. Bung Karno lalu mengutarakan keinginannya untuk membuat patung yang menghormati para pahlawan penerbang Indonesia. Sementara Amerika Serikat dan Uni Soviet bisa membanggakan industri pesawat mereka, Indonesia bisa mengangkat keberanian penerbangnya yang di masa perang dengan pesawat peninggalan Jepang bisa bertempur melawan Belanda.
Untuk mendapatkan figur yang tepat Bung Karno merujuk pada Gatotkaca yang sedang mental bentala, atau menjejak bumi, sebelum mengangkat tubuhnya terbang ke angkasa. Soal bentuk akhirnya diserahkan sepenuhnya kepada Edhi Sunarso. Dari pertemuan di Istana Bung Karno langsung mengajak Edhi Sunarso bersama Menteri Panglima Angkatan Udara Omar Dhani untuk meninjau lokasi di daerah Pancoran, tepatnya di depan Markas Besar Angkatan Udara. Monumen itu dirancang menghadap ke utara dan harus bisa dilihat dari keempat penjuru mata angin. Di sana Edhi Sunarso juga bertemu dengan Ir Sutami untuk membicarakan landasannya yang cukup unik.
Patung itu ingin menangkap figur manusia yang beranjak terbang. Ide-ide dengan cepat bergulir dalam pertemuan. Edhi Sunarso menyebut selendang yang melilit di tubuh figur sebagai representasi awan dan asap pesawat terbang. Dalam rancangan aslinya tangan kanan figur itu melepas sebuah pesawat M1G ke udara, tapi karena bentuknya dirasakan kurang tepat maka akhirnya ditanggalkan. Bung Karno hanya menegaskan bahwa di keempat penjuru patung tidak boleh ada bangunan yang menghalangi pandangan.
Teknis Pembuatan
Dengan pengalaman dua monumen sebelumnya, pekerjaan membuat model dari gips dan proses pengecoran tidak menemui hambatan berarti. Kesulitan terjadi saat tim kerja membuat konstruksi untuk model asli. Tinggi patung itu sekitar 11 meter, tapi berbeda dengan dua patung sebelumnya yang berdiri tegak, patung ini justru condong ke depan. Dengan voetstuk setinggi 27 meter maka total tinggi monumen adalah 38 meter. Titik berat patung itu ada pada bagian atas tubuh, kepala dan tangan, karena posisinya seperti melesat ke depan. Karena itu bagian belakang patung diberi konstruksi yang luas dan konstruksi besi yang sejajar dengan kepala. Tapi toh saat membentuk detail patung dengan kapak model yang besar itu bergerak-gerak ke depan mengikuti pukulan para tukang.
Saat patung itu mulai dikerjakan Bung Karno sudah dalam keadaan sakit sehingga tidak bisa langsung mengawasi pembuatannya. Karena itu Edhi Sunarso dan timnya secara berkala memberikan laporan dengan mengirim foto. Sebaliknya Bung Karno akan membubuhkan paraf dengan pesan singkat ‘acc’ (accord atau setuju). Hampir tiap minggu tim melaporkan perkembangan proyek. Pada 30 September 1965 Edhi Sunarso berangkat ke Jakarta untuk memberikan laporan yang lebih lengkap. Di Istana Merdeka ia diterima oleh Dr. Leimena ditemani beberapa orang menteri. Tapi petugas pengawal memberi tahu mereka bahwa Bung Karno tidak bisa hadir. Tak seorang pun dari mereka tahu bahwa pada saat itu sedang berlangsung Gerakan 30 September.
Peristiwa G-30-S yang terjadi pada 1 Oktober 1965 itu menghentikan proses pembuatan monumen secara tiba-tiba padahal pekerjaan sudah memasuki tahap akhir. Semua bagian patung sudah selesai dicor dan tinggal dibawa ke Jakarta untuk dirangkai. Karena tidak dapat menemui Bung Karno dan juga karena situasi keamanan tidak menentu, Edhi Sunarso menghentikan proyek itu. Baru pada Februari 1970 Edhi Sunarso dipanggil oleh Bung Karno ke paviliun Istana Bogor. Bung Karno sudah terbaring di tempat tidur dalam keadaan sakit. Keduanva bertemu ditemani mantan pejabat Angkatan Udara, Suryadharma dan Leo Wattimena, dan beberapa teman dekat bung Karno. Edhi melaporkan bahwa patung Dirgantara sudah selesai dan tinggal menunggu dipasang.
Bung Karno lalu mengeluh bahwa untuk memojokkan dirinya beberapa pejabat tinggi Orde Baru menyebut Patung Dirgantara sebagai monumen untuk pencungkilan mata, padahal pencungkilan mata itu sendiri tidak pernah terjadi. Sejak tidak lagi menjabat sebagai presiden, ruang gerak Bung Karno sangat dibatasi dan berbagai akses yang dulu dimilikinya untuk membiayai berbagai proyek yang langsung berada di bawah pengawasannya. Edhi Sunarso juga sudah kehabisan dana sehingga tidak mungkin meneruskan pekerjaan itu sendiri. Bung Karno kemudian minta ajudannya untuk menjual mobil miliknya dan menyerahkan hasilnya kepada Edhi Sunarso. “Aku tidak semata-mata membuat monumen itu untuk tujuan lain, kecuali menghargai perjuangan bangsaku, bangsamu, bangsa Indonesia,” ujarnya.
Sekembali ke Yogyakarta, bagian-bagian patung yang sempat agak lama terbengkalai dibersihkan lalu dikirim ke Jakarta dengan truk. Di Jakarta pekerjaan pertama adalah memasang stager. Bantuan datang dari Hutama Karya dan PN Pembangunan Perumahan. Tapi masalah utama, yakni mengangkat bagian-bagian patung ke atas, belum terpecahkan. Tim kerja menggunakan metode yang sama seperti sebelumnya, mengangkat setiap bagian dengan takel secara bertahap ke atas. Landasan dari patung ini juga tergolong unik. Untuk menahan patung yang condong ke depan maka diperlukan landasan besi yang sama panjangnya dengan panjang patung dari ujung kaki di belakang sampai ujung tangan di depan. Sedangkan untuk menjaga keseimbangan landasan yang tingginya 27 meter juga diperlukan konstruksi yang panjang ke depannya sejajar dengan ujung tangan patung di atas.
Ketika sedang bekerja di atas Edhi Sunarso melihat kerumunan orang di bawah. Ternyata Bung Karno datang untuk melihat perkembangan. Ratusan orang datang berkerumun. Mei 1970 Bung Karno kembali lewat untuk melihat pengerjaan, dan ada sejumlah besar orang yang ikut menemani. Tapi itu adalah kali terakhir Edhi Sunarso melihat Bung Karno. Pada 21 Juni 1970 pagi hari Bung Karno meninggal dunia. Keesokan paginya sekitar pukul 10.00 mobil jenazah Bung Karno bergerak diikuti ribuan pelayat dari Wisma Yaso ke Lapangan Terbang Halim Perdanakusumah. Ketika melintas di kaki monumen, Edhi Sunarso dan Ignatius Gardono bergegas turun. Dengan jip mereka langsung berangkat ke Blitar untuk menghadiri pemakaman.
Setelah Bung Karno wafat pengerjaan monumen tetap dilanjutkan. Pengelasan dan patinasi (pewarnaan dengan oksidasi) memakan waktu kurang lebih sebulan. Akhir Juli monumen itu rampung. Tapi tak seorang pejabat negara hadir untuk meresmikannya. Tim kerja membongkar stager yang mengelilingi monumen itu dan mengembalikannya ke Hutama Karya. Semua berlangsung dalam kesunyian. Tidak ada upacara, tidak ada pidato yang memberi makna pada hasil cipta yang luar biasa itu. Edhi Sunarso dan timnya pergi meninggalkan Jakarta, meninggalkan utang 1,3 juta rupiah yang belum sempat dibayar.
Pengecoran Perunggu
Perunggu adalah campuran tembaga dengan unsur logam lain, terutama kuningan dan timah. Di Indonesia teknologi itu sudah dikenal selama lebih dari seribu tahun, tapi dengan pudarnya peradaban Hindu-Buddha produksi patung pada umumnya menurun drastis. Pengecoran ‘Artistik Dekoratif’ pimpinan Ignatius Gardono di Yogyakarta adalah tempat pengecoran perunggu pertama. Saat ini pengecoran tersebut masih beroperasi dengan nama Gardono Foundry di bawah pimpinan Rita Dharani, putri keempat Ignatius Gardono. Proyek pertama dari pengecoran perunggu itu adalah patung Selamat Datang. Proses pembuatannya panjang dan rumit. Uraian berikut hanya meringkas bagian pokoknya saja.
Awalnya Edhi Sunarso membuat model patung setinggi 90 sentimeter. Model itu kemudian diproyeksikan sepuluh kali lipat menggunakan skala garis sehingga membentuk figur setinggi 9 meter. Tim kerja membuat rangka dari besi beton yang kemudian diisi dengan semen dan gips sehingga membentuk figur yang sangat kasar. Figur ini kemudian dibentuk dan dihaluskan sesuai dengan model awalnya. Jika mengambil analogi dari dunia fotografi model ini adalah cetakan positif yang pertama.
Model setinggi 9 meter ini kemudian dilapisi dengan lilin (wax) dan kemudian bagian luarnya diberi gips sehingga menghasilkan cetakan negatif pertama, atau biasa disebut mold. Setelah kering patung itu dibagi menjadi beberapa bagian lalu dibuka. Mold dari setiap bagian itu diberi lapisan lilin setebal 4-5 milimeter. Setelah kering bagian dalam dari lapisan itu ditambah gips, pasir dan semen yang tahan panas. Kalau bagian dalam sudah kering, mold di luar dilepaskan sehingga terbentuk replika model patung yang dinding luarnya terbuat dari lilin, yang bisa juga disebut sebagai cetakan positif kedua. Bagian permukaan yang kasar atau agak berubah dari model awalnya dihaluskan lagi. Setelah selesai, cetakan positif ini dipasangi pipa yang nantinya digunakan untuk menuangkan cairan perunggu dan juga untuk membuang udara.
Replika patung dari lilin yang sudah dipasangi pipa itu kemudian dibungkus lagi dengan campuran gips, pasir dan semen. Setelah kering dan solid, setiap bagian dipanggang dalam tungku dengan panas tinggi sehingga lapisan lilin di dalamnya luruh dan menguap. Proses ini akan makan waktu tiga sampai empat hari dan menghasilkan cetakan negatif yang kedua. Cetakan ini kemudian dipendam dalam bak pasir. Pipa tempat menuangkan cairan perunggu mencuat ke atas. Ketika cetakan negatif itu dibuat pada saat bersamaan tim yang lain sudah mencairkan campuran tembaga, kuningan dan timah dalam ketel yang besar dengan panas tinggi sekitar 2000 derajat celcius sampai cairan berwarna merah. Setelah matang cairan panas tersebut dituangkan ke dalam pipa menuju ke cetakan negatif itu.
Setelah dingin cetakan negatif itu dikeluarkan dari bak pasir, dipecahkan sehingga yang tersisa adalah sebuah patung perunggu. Tapi tidak berarti bahwa pekerjaan sudah usai. Setelah patung dikeluarkan dari cetakannya, seniman dan tukang masih harus memotong bagian yang kurang tepat dan menghaluskan yang lain menggunakan grinda (di masa pembuatan patung Selamat Datang, alat utama untuk pekerjaan yang sama adalah kikir tangan). Proses ini disebut metal chasing dan makan waktu cukup lama. Setelah rampung baru keseluruhan proses ditutup dengan patina atau pewarnaan yang menggunakan bermacam bahan kimia.
Edhi Sunarso
Lahir di Salatiga, 2 Juli 1932. Belajar melukis ketika ditahan Belanda karena keterlibatannya dalam perjuangan bersenjata melawan kolonialisme. Sekeluar dari penjara ia ke Yogyakarta. Ia ‘ditemukan’ oleh Hendra Gunawan yang kemudian mengajaknya belajar di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI). Lulus dari sana ia melanjutkan studi patung di India. Sejak 1957 menjadi dosen tetap di ASRI dan juga mengajar di IKIP Yogyakarta. Karirnya sebagai pematung dan pembuat monumen dimulai saat mengerjakan Tugu Muda di Semarang (1953). Sepanjang 60 tahun karirnya ia telah menghasilkan puluhan monumen, patung, dan ratusan karya individual dalam berbagai bentuk. Di antaranya yang menonjol adalah The Unknown Political Prisoner (1953). Edhi Sunarso menikah dengan Kustijah, juga seorang pelukis. Di hari tuanya ia tetap produktif sebagai pematung, pembuat diorama museum, dan penasehat dalam berbagai proyek monumen.
Ignatius Gardono
Lahir 12 Juni 1929. Menempuh pendidikan formal di HIS Bruderan Kidul Loji, Yogyakarta, dan kemudian meneruskan ke sekolah dagang di Bintaran. Seusai perang ayahnya meninggal dunia dan Gardono harus menggantikan kedudukannya sebagai kepala keluarga mengurus sembilan orang adiknya. Pada 1962 ia didekati oleh Edhi Sunarso yang mendapat tugas dari Bung Karno untuk membuat monumen dari perunggu di Jakarta. Ia menyanggupi tawaran itu lalu dengan bantuan sejumlah pekerja bengkel kereta api ia mendirikan pengecoran perunggu pertama, yang diberinya nama ‘Artistik Dekoratif’di Yogyakarta. Banyak pematung ternama seperti But Muchtar dan Rita Widagdo, yang mengecor patung perunggu mereka di foundry miliknya. Sampai saat ini pengecoran itu masih beroperasi di bawah pimpinan putrinya, Rita Dharani. Ignatius Gardono meninggal dunia pada 29 April 1996 pada usia 67 tahun.
Ir. Sutami
Lahir di Surakarta, 19 Oktober 1928. Bersekolah di Surakarta sebelum melanjutkan pendidikan ke Institut Teknologi Bandung. Sempat bekerja pada berbagai perusahaan dan proyek konstruksi di seluruh Indonesia. Pada 1961 ia diangkat menjadi direktur Hutama Karya, perusahaan negara yang membangun berbagai konstruksi penting di Indonesia seperti jembatan Ampera di Palembang dan jembatan Semanggi di Jakarta. Pada 1964 ia diangkat menjadi Menteri Pekerjaan Umum dalam Kabinet Dwikora dan tetap dipertahankan oleh Jenderal Soeharto sampai 1978. Dikenal sebagai sosok yang bersahaja sepanjang karirnya, Ir Surami meninggal dunia pada 13 November 1980.
Friedrich Silaban
Lahir di Bonandolok, Sumatera Utara, 16 Desember 1912. Menyelesaikan pendidikan formal di HIS Narumonda, lalu melanjutkan ke Koningen Wilhelmina School di Batavia. Pada 1950 ia kuliah arsitektur di Amsterdam. Ia meniti karir di lingkungan Departemen Pekerjaan Umum dan menghasilkan banyak karya arsitektur yang penting. Ia dekat dengan Bung Karno sebagai pribadi maupun sebagai sesama arsitek. Tidak jarang keduanya terlibat perdebatan mengenai rencana pembangunan, termasuk soal kompleks olahraga yang dibangun untuk Asian Games IV 1962. Karyanya yang monumental adalah Masjid Istiqlal di Jakarta. Proyek yang dimulai pada 1961 hampir bersamaan dengan pembangunan Gelora Senayan sempat terhenti karena gejolak politik dan baru selesai pada 1978. Friedrich Silaban meninggal dunia pada 14 Mei 1984 di Jakarta.
Hilmar Farid, 2012
Kita lama hidup di bawah sistem yang pada dasarnya mengatakan: urusan publik itu ditangani negara saja, entah itu politik, kebebasan, dll. Jadinya, masyarakat ikut sistem karena takut, bukan karena mengerti dan merasa penting. (HF, 2014)