Pandangan konvensional tentang sejarah kolonial mengabaikan peranan negara dalam perkembangan kebudayaan. Berbeda dengan pandangan tersebut, melalui telaah terhadap Balai Poestaka, tulisan ini berusaha memperlihatkan pengaruh dan keterlibatan negara Hindia Belanda dalam pembentukan budaya dan perkembangan intelektual di Hindia Belanda. Keterlibatan itu tentu tidak terlepas dari kepentingan kapitalisme kolonial, yang tengah berubah sejak masa Politik Etis hingga lepas Perang Dunia I.

SELAMA ini Balai Poestaka dikenal sebagai perintis dalam kesusastraan Indonesia modern. Pengertian yang terkandung di balik pernyataan ini, bahwa melalui lembaga tersebut, karya-karya sastra penulis pribumi dapat dibaca luas oleh masyarakat.[1] Pandangan seperti ini agaknya mengabaikan pendirian dan perkembangan Balai Poestaka sebagai lembaga kolonial yang berhadapan dengan masyarakat Hindia Belanda. Kecenderungan lain dalam pembahasan tentang Balai Poestaka: pengamatan yang hanya diarahkan pada hubungan lembaga tersebut dengan perkembangan kesusastraan. Pengamatan seperti ini dapat menimbulkan pemahaman yang sama sekali keliru, karena Balai Poestaka jelas memiliki jangkauan yang lebih luas, karena pengaruhnya dalam dunia susastra memang besar.

Studi mengenai aparatus negara kolonial yang berkaitan dengan perkembangan intelektual dan budaya sampai saat ini masih terbatas jumlahnya. Secara umum kaitan antara kolonialisme dan budaya belum mendapat perhatian yang memadai. Tulisan ini coba menguraikan hubungan kolonialisme dan perkembangan budaya di mana negara atau penguasa kolonial memegang peranan penting. Usaha penguasa kolonial untuk mempertahankan kekuasaannya di negeri jajahan juga dilakukan melalui pembentukan lembaga-lembaga, yang kerap disebut ’’lembaga budaya”.

Dalam pandangan yang dominan saat ini, budaya ditempatkan secara terpisah dari perkembangan ekonomi politik, sehingga Balai Poestaka dapat dikenang terbatas pada “jasa-jasanya” menerbitkan buku bacaan secara luas di Hindia Belanda. Kealpaan mendasar ini justru berakibat timbulnya pemahaman yang dangkal terhadap Balai Poestaka sebagai lembaga kolonial.

Gagasan dasar tulisan ini tentu tidak melihat lembaga yang dibentuk negara kolonial pada posisi netral seperti yang sering dibayangkan sejumlah penulis.[2] Karena berhubungan langsung dengan kolonialisme maka Balai Poestaka (selanjutnya disingkat BP) harus diletakkan dalam konteks hubungan penguasa kolonial dengan tanah jajahannya. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga (di samping negara) sarat dengan kepentingan kolonial dalam mempertahankan kekuasaannya. Kepentingan ini bersama dengan perkembangan lainnya dalam masyarakat pada gilirannya juga berpengaruh pada berbagai teks (naskah) yang diterbitkan atau diproduksi lembaga itu.

Sebagai produk yang khas, teks bukan sekedar hasil dari kreativitas seorang pengarang. Keadaan atau kondisi “di luar” teks, seperti penulisan, pengetikan, penyuntingan, penyebaran dan seterusnya sangat berpengaruh dalam pembentukan teks. Semua kondisi “di luar” teks ini, harus dipahami sebagai sesuatu yang terbentuk secara historis.[3] Untuk dapat memahaminya secara mendalam, teks harus ditempatkan dalam konteks, di mana semua elemen yang turut membentuknya, mulai dari kondisi umum masyarakat sampai ke corak produksinya yang sangat khusus, turut diperhitungkan.

Masyarakat Hindia Belanda dan Politik Kolonial

Dengan dibukanya Hindia Belanda bagi penanaman modal, kapitalisme mendobrak tatanan masyarakat yang ada, dan membawa perubahan besar dalam berbagai bidang kehidupan. Awal abad XX, masyarakat Hindia Belanda telah menyaksikan munculnya jaringan kereta api yang dapat menghubungkan daerah yang satu dengan daerah lainnya dalam waktu relatif singkat; kota-kota besar —terutama di Pulau Jawa— tumbuh sebagai pusat kehidupan; bidang pekerjaan baru seperti buruh upah, pegawai kantor, tenaga mekanis di pabrik, mendadak mengganti posisi sebagian rakyat Hindia dalam tatanan masyarakat kolonial.

Pada 1901 Ratu Wilhelmina mengucapkan pidato yang kemudian menjadi titik awal dicanangkan Politik Etis. Tapi gagasan kebijakan ini sebenarnya sudah muncul lebih dulu di parlemen Belanda dan rupanya mendapat sambutan luas dari para pengambil keputusan. Tiga proyek utama Politik Etis adalah irigasi, edukasi dan emigrasi, yang secara umum bertujuan memperbaiki kondisi material penduduk Hindia Belanda.

Untuk menjalankan kebijakan ini, masalah utama yang dihadapi adalah pembiayaan, seperti yang diserukan oleh C. Th. van Deventer — salah satu pencetus Politik Etis.[4] Tuntutan tersebut dipenuhi pemerintah pusat yang kemudian menyisihkan 40 juta gulden kepada pemerintah Hindia Belanda, yang juga merupakan satu-satunya sumbangan langsung kepada Hindia Belanda.[5] Pelaksanaan politik ini sering mendapat kecaman maupun pujian dari berbagai aliran politik yang ada. Sekalipun memiliki pandangan yang berbeda-beda, tujuan utama mereka tetap, yakni untuk melanggengkan kolonialisme antara Negeri Belanda dan tanah jajahannya.

Politik Etis dalam konteks ini sejalan dengan gagasan asosiasi, yang memandang rakyat Hindia lebih sebagai obyek yang dapat diatur sesuai dengan kepentingannya. Dengan begitu, rakyat Hindia —dalam gagasan Politik Etis— harus dibimbing memasuki dunia modern, dan diperkenalkan kepada peradaban ’’Barat yang lebih maju” agar mencapai ’’persesuaian antara Barat dan Timur”. Cara pikir ini didukung oleh para ilmuwan kolonial yang banyak mempelajari masyarakat dan kebudayaan di Hindia Belanda. Hal itu mungkin dilakukan karena banyak ilmuwan —tidak kurang dari nama-nama besar seperti Snouck Hurgronje, R.A. Kern, B.J.O. Schrieke, J. Th. Petrus Blumberger— sekaligus bekerja sebagai pegawai negara Hindia Belanda.[6] Edward Said dalam Orientalism telah menunjukkan bagaimana cara pikir ’’Barat” terhadap ’’Timur”. disusun secara sistematis dan kemudian berkembang secara luas melalui lembaga-lembaga pendidikan di Eropa.[7] Jelas bahwa pemahaman ini mempengaruhi cara pikir para pegawai negara Hindia Belanda, yang juga merangkap sebagai ilmuwan kolonial.

Negara kolonial sementara itu telah berhasil menancapkan kekuasaannya di seluruh wilayah Hindia Belanda yang seketika memerlukan jaringan birokrasi yang lebih luas. Mereka kemudian merekrut lebih banyak orang pribumi sebagai pegawai — yang sebenarya sudah dilakukan sejak masa Tanam Paksa.[8] Untuk mendapatkan tenaga-tenaga birokrasi yang bermutu, pemerintah Hindia Belanda memerlukan orang- orang pribumi yang terdidik (secara Belanda), agar dapat bekerja sama dengan negara. Seiring dengan perkembangan Politik Etis, negara kolonial kini mulai menangani hidup sehari-hari rakyat Hindia, seperti kesehatan, sanitasi, perbaikan kondisi pemukiman dan sebagainya.

Di bawah panji Politik Etis, pendidikan mendapat perhatian besar dari pemerintah kolonial. Tapi bukan berarti penanganan pendidikan baru dimulai ketika ditetapkannya politik itu. Sejak paruh kedua abad XIX, negara kolonial telah menangani pendidikan bagi pribumi. Pada tahun 1867 dibentuk Departemen Pendidikan di dalam birokrasi negara kolonial. Pada tahun 1848, pemerintah kolonial mengalokasikan dana sebesar 25.000 gulden untuk membangun sekolah bagi orang pribumi di Jawa. Jumlah tersebut pada tahun 1882 membengkak menjadi seperempat juta gulden.[9] Tujuan paling dasar dari penyelenggaraan pendidikan yakni mencetak kaum pribumi berpendidikan yang diperlukan untuk mengisi berbagai bidang kerja yang ada. Lebih jauh, kaum ’’etisi” pada masa itu melihat pendidikan sebagai jalan penting bagi pribumi untuk mengenal peradaban Barat demi kepentingan ’’persesuaian” tersebut.

Sejak awal, pemerintah Hindia Belanda secara langsung menangani pelaksanaan pendidikan ini. Resiko besar —bagi penguasa kolonial— jika membiarkan proses memasuki dunia modern dibiarkan berjalan tanpa bimbingan dan pengawasan.[10] Seperti yang disaksikan dalam sejarah kolonialisme di berbagai tempat, pendidikan memiliki hubungan erat dengan perkembangan gagasan politik di dalam masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda juga belajar dari pengalaman Inggris di mana pendidikan dan kebebasan pers membawa banyak perubahan yang tidak menguntungkan bagi penguasa kolonial. Materi yang diberikan di sekolah-sekolah sangat beragam, dan bergantung pada masing-masing tempat. Ciri utama yang membedakan pendidikan ini dengan lembaga seperti pesantren adalah sifatnya yang sekuler, di mana agama tidak lagi mendapat tempat istimewa dalam pengajaran.

Bahasa yang dikembangkan di sekolah-sekolah pribumi adalah bahasa Melayu dan Jawa. Bahasa Belanda hanya diajarkan kepada murid-murid Hollandsch Indische School yang terdiri atas orang-orang terpilih. Bahasa Melayu yang dikembangkan lebih dikenal dengan istilah ’’Melayu Tinggi” atau bahasa Melayu yang berkembang di Riau. Setelah Van Ophuijzen melakukan penelitian di wilayah tersebut, pada tahun 1901 ditetapkanlah pengaturan bahasa (ejaan) yang kemudian mengambil namanya itu. Bahasa Melayu ini oleh para pendidik dihadapkan dengan bahasa Melayu yang berkembang melalui hasil terbitan orang-orang pribumi dan Cina peranakan yang menggunakan bahasa ’’Melayu Rendah”.

Penyeragaman bahasa ’’Melayu Tinggi” dilakukan terhadap semua sekolah tanpa pertimbangan terhadap situasi lokal. Inilah hasil usaha standarisasi yang dijalankan pada masa politik Etis. Usaha penyeragaman bahasa tersebut tidak dapat dilihat sebagai urusan ’’pemakaian bahasa yang baik dan benar” belaka sebab ia juga memiliki dimensi ideologi dan politik tertentu.[11] Seperti diuraikan di atas, penyelenggaraan pendidikan harus berada di tangan negara, agar dapat secara langsung mengontrol perkembangan masyarakat. Apa yang terbaik bagi rakyat Hindia ditentukan oleh negara kolonial sebagai ’’pemimpin kemajuan” rakyat Hindia.

Dimulai sejak abad XIX, melalui pelaksanaan Politik Etis, pendidikan lalu berkembang pesat pada awal abad XX. Hasil langsung usaha ini ialah munculnya sejumlah orang pribumi yang dapat membaca dan menulis sesuai dengan standar yang ditetapkan negara kolonial. Dalam Volkstelling 1930 tercatat bahwa hanya 3,9% dari seluruh penduduk Hindia pada tahun 1920 telah bebas buta huruf. Sepuluh tahun kemudian angka ini meningkat menjadi 6,4%. Dari seluruh orang yang dapat membaca, jumlah terbanyak ditemukan di Manado (21,9%) yang disusul Maluku (14,5%) dan Sumatra (10,7%). Sementara itu di Jawa dan Madura hanya 5,5% yang dapat membaca. Di daerah perkotaan angka-angka terbesar ditemukan di Medan dan Padang untuk Sumatera dan Bandung untuk Jawa.[12]

Arti penting lain dari pendidikan gaya Barat adalah perbedaannya yang sangat mendasar dengan pendidikan tradisional seperti pesantren dan sebagainya. Lulusan sekolah gaya Barat ini jauh berbeda dari ’’generasi” sebelumnya yang tidak sempat menikmatinya, baik dari segi bahasa maupun budaya. Terlebih bagi mereka yang bersekolah Belanda, memiliki wawasan dan orientasi yang sama sekali lain dengan mereka yang hidup sekitar 30 atau 50 tahun sebelumnya.[13] Mereka inilah yang kemudian mengisi berbagai bidang kerja modern di daerah perkotaan serta berbagai organisasi modern yang muncul pada awal abad XX. Melalui suratkabar dan penerbitan lainnya mereka menggerakkan gagasan mengenai berbagai hal, termasuk gagasan politik di dalamnya.

Percetakan dan Penerbitan

Dunia percetakan di Hindia Belanda berkembang pesat seiring dengan perkembangan kapitalisme dan teknologi cetaknya. Di bawah pemerintah Gubernur Jendral Daendels, dibentuk Landsdrukkerij pada tanggai 22 November 1809, yang berasal dari penggabungan percetakan swasta dan negara. Dengan berbagai perubahan dalam pengelolaannya, percetakan ini menjadi salah satu yang termaju di kawasan Asia Tenggara. Menjelang akhir kekuasaan kolonial di Hindia Belanda, percetakan ini juga menggunakan orang-orang tahanan sebagai buruh. Dengan begitu mereka sanggup menekan ongkos produksi yang tentunya jauh lebih murah jika dibandingkan dengan percetakan swasta. Lembaga yang menjadi cikal bakal Percetakan Negara ini bertempat di Weltevreden, yang kelak menjadi kantor BP.[14]

Di samping percetakan ini ada berbagai percetakan swasta, yang dikuasai orang-orang Cina dan kaum misionaris. Sebelumnya telah muncul berbagai percetakan swasta milik orang Belanda seperti Albrecht, Bruining, van Dorp, Carsseboom, Grivel dan sebagainya.[15] Percetakan swasta ini relatif tidak dapat berkembang bebas karena adanya pembatasan yang dibuat oleh pemerintah kolonial pada tanggai 10 November 1856. Peraturan yang preventif ini sangat mengekang perkembangan percetakan dan penerbitan. Di dalamnya dinyatakan bahwa setiap orang yang hendak mendirikan percetakan harus minta izin pada pemerintah sebulan sebelumnya serta menyerahkan uang jaminan sebesar 200 sampai 5.000 gulden. Di samping itu setiap penerbit harus mengirimkan tiga eksemplar hasil cetakan mereka (dalam bentuk apapun) kepada Plaatselijk Bestuur, Officier van Justitie dan Algemeene Secretarie sebelum tanggal terbitnya. Jika ketentuan ini tidak dipenuhi maka hukumannya dapat berupa penyitaan barang cetakan sampai pada penyegelan percetakan atau tempat penyimpanan barang cetakan. Dengan demikian pemerintah kolonial dapat leluasa mendominasi perkembangan dunia cetak serta melakukan pengawasan ketat. Penerbitan yang mengeluarkan barang cetakan apapun yang dianggap bahaya menurut ukuran pemerintah, dapat dikenakan sanksi seperti hukuman kurungan dan bahkan pelarangan usaha.

Mengenai penyensoran, pemerintah kolonial tidak memberikan kaidah- kaidah yang jelas dan pasti. Dalam situasi ketidakpastian para penerbit harus lebih berhati-hati agar tidak menerbitkan sesuatu yang sifatnya melawan hukum. Segala kritik pada masa itu seketika dapat dianggap menentang kekuasaan kolonial.[16] Walaupun demikian, dominasi negara kolonial dalam percetakan dan penerbitan tidak terbatas pada penguasaan alat-alat percetakan yang jauh lebih baik saja. Larangan-larangan dan tindakan represif lainnya juga mendukung dominasi ini. Pada tahun 1906 negara kolonial mengeluarkan Koninklijk Besluit nomor 270 yang agak mengurangi regulasi negara dalam mengawasi dunia percetakan dan penerbitan. Tetapi penyerahan barang cetakan kini harus dilakukan dalam waktu 24 jam setelah diedarkan. Uang tanggungan yang semula harus dibayar, kini dihapuskan. Keputusan ini juga menetapkan bahwa setiap penulis bertanggungjawab langsung atas tulisan-tulisannya. Jika nama penulis tidak diketahui, maka tanggungjawab tersebut beralih ke pihak penerbit, penjual atau pengedarnya.[17] Dengan begitu peraturan yang preventif sejak abad XIX telah diganti oleh peraturan yang lebih represif. Ini tentu berpengaruh kemudian pada perkembangan dunia cetak di Hindia Belanda. Dengan peraturan tersebut memang para redaktur lebih leluasa menjalankan penerbitannya. Sekalipun dengan resiko harus mendekam di penjara, tetapi hasil terbitan mereka setidaknya lebih dulu diedarkan sehingga gagasan yang mereka tampilkan tidak hilang begitu saja. Pada masa sensor preventif, ’’peluang” itu sukar dijalankan karena pemerintah kolonial memiliki hak melarang sesuatu yang dianggap berbahaya untuk beredar. Namun, pada tahun 1931 kembali dikeluarkan peraturan baru yang dikenal dengan nama Persbreidel Ordonnantie yang memberikan hak kepada Gubernur Jendral untuk melarang penerbitan yang dianggap mengganggu ketentraman. Dengan peraturan ini pemerintah dapat melarang operasi percetakan selama delapan hari, yang bisa diteruskan jika penerbitnya masih dianggap menentang aturan.

 

Produksi Naskah dan Pembentukan Wacana

Percetakan dan penerbitan milik orang Cina peranakan dan Indo Eropa banyak menghasilkan karya sastra pada paruh kedua abad XIX. Banyak sekali novel atau bentuk karya sastra lainnya yang diproduksi oleh mereka, baik berupa karya asli maupun terjemahan. Menurut keterangan yang ada, orang Cina pertama yang memiliki dan mengelola percetakan, adalah Yap Goan Ho. Usahanya dimulai pada tahun 1883 dan menerbitkan sejumlah karya terjemahan dari bahasa Cina. Dua tahun kemudian menyusul Lie Kim Hok, yang memperoleh alat cetaknya dari seorang misionaris. Kemudian menyusul sejumlah percetakan lain seperti Kho Tjeng Bie & Co dan Tjoei Toei Yang yang juga muncul pada akhir abad XIX. Pada awal abad XX percetakan milik orang Cina mulai bermunculan di kota- kota besar. Pada tahun 1900, dua bersaudara Lauw Tjeng mendirikan Soekaboemische Snelpersdrukkerij. Di samping itu masih ada Firma Sie Dhian Ho yang muncul di Surakarta pada tahun 1902.[18]

Percetakan dan penerbitan pertama milik pribumi muncul dengan nama N. V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij in Schrijftbehoeften “Medan Prijaji” yang didirikan oleh R.M. Tirtoadhisoerjo dan Haji Samanhoedi. Perusahaan cetak ini memiliki cabang di tiga tempat, yaitu Batavia, Bandung dan Buitenzorg (Bogor). Suratkabar yang diterbitkan memakai nama Medan Prijaji.[19] Pada perkembangan selanjutnya juga ada berbagai organisasi yang memiliki percetakan atau penerbitan sendiri, seperti N.V. Sinar Djawa, yang dikendalikan oleh tokoh-tokoh Sarekat Islam di Semarang; percetakan milik organisasi buruh kereta api, V.S.T.P. Banyak penerbit dari organisasi pribumi yang menyerahkan proses pencetakannya ke tangan percetakan milik orang Cina peranakan.

Kondisi percetakan dan penerbitan swasta berbeda jauh dari apa yang digunakan pemerintah kolonial. Daya cetak perusahaan-perusahaan swasta ini sangat berbeda, yang memiliki dampak besar pada jangkauan peredarannya. Jumlah barang cetakan dari pihak swasta, hanya sekitar 1.500 eksemplar setiap terbit. Ditambah lagi kenyataan bahwa usaha penerbitan swasta ini belum tentu memiliki toko-toko buku tempat mereka dapat menjual barang-barang cetakannya. Menarik diperhatikan bahwa jarang ada koran pribumi yang dapat bertahan dalam waktu yang relatif sama dengan terbitan berkala pemerintah kolonial.[20]

Melalui percetakan inilah kesusastraan di Nusantara mengalami perubahan besar. Semula naskah-naskah hanya ditulis tangan, yang jelas memiliki jangkauan peredaran terbatas. Berbeda dengan karya-karya yang terbit dalam masa perkembangan kapitalisme cetak, yang dapat diterbitkan secara massal dan menjangkau jumlah pembaca yang lebih besar, sastra (teks dalam bentuk tercetak) kini memasuki dunia komoditi yang dapat diperjualbelikan dan tentunya memiliki makna yang berbeda dari karya-karya yang ditulis tangan.[21] Dalam perkembangan sejarah, terlihat bagaimana produksi naskah tulisan tangan digeser oleh barang cetakan. Dampak perubahan ini tidak terbatas pada pemahaman atau apresiasi masyarakat terhadap sastra, tapi juga pada cara pikir dalam konteks yang lebih luas. Dengan berkembangnya kondisi material kapitalisme, akses masyarakat kepada pengetahuan menjadi lebih luas terbuka ketimbang masa-masa sebelumnya, di mana karya sastra diproduksi dalam lingkungan yang sangat terbatas, seperti misalnya di istana kerajaan dan sebagainya.

Teks yang muncul pada saat itu tidak terbatas pada karya sastra saja, tapi juga hal-hal lain seperti kesehatan, pertanian dan sebagainya. Dengan diterbitkannya naskah-naskah ini dalam bentuk cetakan, masyarakat luas memiliki akses untuk menciptakan discourse di berbagai bidang. Percetakan pada masa itu memberikan informasi yang berlimpah mengenai berbagai masalah, yang semula digenggam oleh sekelompok orang saja dalam masyarakat. Masalah pembentukan discourse tentu tidak dapat dilihat atau diamati hanya berdasarkan masukan (teks cetakan) yang diperoleh para pemakainya, tapi juga acuan yang digunakan setiap pembaca dalam memahami teks yang tersedia. Hal yang menjadi persoalan kemudian, seberapa jauh keterlibatan penguasa kolonial dalam pembentukan discourse tersebut?

Pengendalian “Bacaan Rakyat”

Sebelum pemerintah kolonial mengeluarkan kebijakan mengenai ’’bacaan rakyat’’,[22] telah muncul sejumlah penerbitan dari tangan orang Cina peranakan, Eropa peranakan dan pribumi Hindia, seperti karya sastra, suratkabar dan sebagainya. Sejak akhir abad XIX telah muncul karya sastra orang Cina peranakan. Bahasa yang digunakan adalah apa yang disebut Melayu Tionghoa atau Melayu Betawi.[23] Karya sastra yang diterbitkan amat beragam, mulai dari penerjemahan berbagai karya dalam bahasa Cina dan asing ke dalam bahasa Melayu sampai pada karya asli dalam bentuk prosa, syair, naskah sandiwara, teater, dan sebagainya. Tema yang diangkat pun sangat luas, seperti cerita detektif, karya yang bersifat pendidikan dan politik, sejarah, filsafat keagamaan dan seterusnya. Hasil terbitannya adalah majalah-majalah yang secara khusus menerbitkan karya sastra.[24]

Dari kaum pribumi muncul tokoh-tokoh seperti R.M. Tirtoadhisoerjo yang menjadi redaktur Medan Prijaji sekaligus pemimpin perusahaan cetak Mas Marco Kartodikromo seorang jurnalis yang banyak menghasilkan karya sastra seperti Mata Gelap, Student Hidjo dan sebagainya. Semaun, seorang tokoh pergerakan lainnya juga berkarya sastra dengan judul Hikajat Kadiroen yang ditulis ketika mendekam dalam tahanan akibat kegiatan politiknya. Nama-nama lain seperti Abdul Muis dan Roestam Effendi juga cukup terkemuka sebagai pengarang pribumi. Banyak diantara tokoh ini yang aktif dalam penerbitan suratkabar dan kegiatan politik. Hal ini mengakibatkan banyak pengamat dengan mudahnya menghakimi karya-karya mereka sebagai “alat propaganda politik” belaka.[25]

Sejak abad XIX, orang Eropa peranakan juga terlibat dalam produksi karya sastra. Memasuki abad selanjutnya, golongan ini memiliki tiga tokoh penting, yaitu F.H. Wiggers, H. Kommer, dan F. Pangemanann. Dua orang pertama adalah keturunan Belanda, sedang yang disebut terakhir adalah orang Minahasa.[26] Ketiga tokoh ini juga merangkap bekerja sebagai jurnalis dan editor pada suratkabar berbahasa Melayu. Dalam menulis, mereka menggunakan bahasa Melayu yang diterima golongan Eropa maupun Cina peranakan. F. Wiggers menulis berbagai karya seperti Njai Isah sebuah naskah pertunjukan dengan judul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. Pangemanann menulis Tjerita Si Tjonat dan Sjair Rosina yang diterbitkan oleh BP pada tahun 1933, setelah disunting oleh Tulis Sutan Sati.[27] Setelah pertumbuhan pers yang makin pesat setelah 1906, karya- karya sastra juga bertambah banyak.

Suratkabar dan terbitan berkala lainnya juga merupakan salah satu hasil perkembangan dunia cetak di Hindia Belanda. Dalam waktu relatif singkat muncul berbagai suratkabar dalam jumlah sangat banyak. Di beberapa kota besar di Pulau Jawa pada tahun 1890 telah ada 11 suratkabar. Angka ini membengkak menjadi 36 suratkabar pada tahun 1912. Arti penting suratkabar sebagai sarana diskursus modern diperlihatkan ketika berbagai golongan dalam masyarakat dapat menggerakkan gagasan mereka melalui penerbitan ini, melalui sarana yang juga digunakan penguasa kolonial.

Tanggapan Pemerintah Kolonial

Reaksi pemerintah kolonial terhadap perkembangan hasil terbitan ini cukup keras, dan bahkan dianggap sebagai bacaan yang tidak baik atau layak bagi rakyat Hindia. Banyak jalan bagi pemerintah kolonial untuk menghambat peredaran buku-buku yang dianggap tidak sesuai dengan politik mereka. Dominasi negara kolonial terhadap dunia penerbitan diperoleh bukan hanya karena kemampuan cetak dan pengelolaan yang lebih baik, tapi juga karena dukungan peraturan serta tindak pelarangan yang mengancam perkembangan para penerbit swasta. Sebagai contoh, ketika pada tahun 1920 sejumlah buruh percetakan van Dorp melakukan pemogokan —yang disusul oleh buruh-buruh percetakan De Locomotief, Mist, Benjamin, Bischop dan Warna Warta, yang mendapat dukungan dari Sarekat Islam Semarang— pemerintah Hindia Belanda mengambil tindak balasan dengan menyita buku-buku karangan Mas Marco dan menutup toko-toko buku milik organisasi ini.[28]

Keputusan pemerintah kolonial untuk mulai menangani bacaan bagi rakyat Hindia didasarkan pada pengamatan bahwa sementara itu telah muncul sekelompok lulusan sekolah kaum pribumi. Kemampuan membaca rakyat pribumi —dalam pandangan penguasa kolonial— harus didukung oleh ’’bahan bacaan yang layak”. Dengan penyediaan bahan bacaan seperti itu maka rakyat dapat dihindari dari para penerbit yang ’’bermaksud buruk” dan kaum ’’agitator” yang menyediakan bahan bacaan yang berbahaya.[29] Lebih lanjut tentang kebijakan ini :

“… dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa tindakan penyediaan bacaan ini memiliki       tendensi (streakking) etis-kolonial dan sekaligus politik. Tentang hal pertama harus diambil titik         pandang yang sangat netral atau obyektif. Sedangkan hal yang kedua berkaitan dengan prinsip-prinsip pengaturan negara, dan diarahkan pada penegakan kekuasaan dan ketentraman,    persatuan dan keadilan, harus dipegang teguh.”[30]

Dua hal yang ditekankan dalam pernyataan di atas seketika memperlihatkan bahwa maksud penanganan ’’bacaan rakyat’’ tidak sekadar memenuhi keinginan membaca yang besar dari rak-yat Hindia. Kepentingan rust en orde (ketertiban dan keamanan) memainkan peranan yang cukup penting seperti secara gamblang diungkapkan dalam kutipan di atas. Dalam konteks kolonialisme, rust en orde ini berhubungan erat dengan pelestarian kekuasaan kolonial terhadap tanah jajahannya.

Gagasan lain yang ditampilkan dalam pembentukan BP harus diurut kembali pada pendidikan yang diperoleh para pegawai dan ilmuwan di Hindia Belanda. Berbagai universitas di Negeri Belanda saat itu telah memasukkan Indologie sebagai bagian penting dari proses pendidikan. Di Utrecht malah dibentuk sebuah fakultas Indologie yang khusus mengajarkan persoalan-persoalan di tanah jajahan, seperti ekonomi, politik dan sebagainya. Sementara di Leiden, Indologie juga dikembangkan dan menjadi salah satu jurusan tersendiri di universitas ini. Dibandingkan Utrecht, universitas di Leiden lebih mengarahkan pendidikannya pada bidang humaniora. Beberapa tokoh terkenal dalam birokrasi kolonial adalah lulusan universitas ini, termasuk Dr. D.A. Rinkes.

Di Hindia Belanda sendiri ada sebuah lembaga yang memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan pengetahuan ’’Barat” mengenai ’’Timur”. Didirikan pada masa VOC, tahun 1718, lembaga yang bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen sekalipun tidak dapat mencampuri urusan VOC, tapi turut mendukung kegiatan dagang melalui hasil penelitian yang dilakukannya. Pada masa Raffles (1811- 1916) lembaga ini mendapat perhatian besar dan berkembang pesat pada masa selanjutnya. Untuk mencetak terbitannya lembaga ini dibantu oleh Landsdrukkerij tanpa bayaran. Isi terbitannya tidak berbeda jauh dengan naskah yang dihasilkan rekan-rekan mereka di Eropa.

Sikap reaksioner yang ditunjukkan penguasa kolonial terhadap perkembangan penerbitan bersambungan dengan gagasan mereka tentang ’’asosiasi” atau ’’persesuaian” antara Timur dan Barat di mana mereka tampil sebagai pemimpin proses modernisasi. Para pegawai kolonial Hindia Belanda tentu tidak terhindar atau terlepas dari pembentukan gagasan yang dominan mengenai tanah jajahan. Berbagai jabatan dalam birokrasi kolonial yang kemudian dibentuk pada akhir abad XIX dan awal abad XX banyak dipengaruhi oleh cara pikir para ilmuwan ini.

Advizeur voor Inlandsche Zaken (Penasihat Urusan Pribumi) adalah jabatan yang sangat berpengaruh dalam menangani urusan penduduk pribumi di Hindia Belanda. Tokoh pertama yang menduduki jabatan ini adalah Snouck Hurgronje yang seperti kita lihat di atas, juga pembela gagasan ’’asosiasi”. Pada masa terbentuknya Komisi Bacaan Rakyat, jabatan itu dipegang oleh G.A.J. Hazeu, seorang doktor dalam bidang bahasa dan sastra Nusantara dari Universitas Leiden. Setelah diganti sebentar oleh D.A. Rinkes, jabatan itu kembali dipegang olehnya sampai tahun 1920. Hal yang unik dari para pemegang jabatan ini adalah sikap mereka yang relatif ’’lunak” terhadap rakyat Hindia. Pada masa Hazeu ini pula Sarekat Islam didirikan dan dengan cepat berkembang.[31] Ketika jabatan diduduki Rinkes sikap ’’lunak” tersebut juga tetap dipertahankan. Umumnya tokoh yang menduduki jabatan ini memiliki pendidikan tinggi dalam bidang sastra atau kebudayaan ’’Timur”, yang saat itu dikenal dengan sebutan ’’Orientalis”.

Melalui Keputusan Pemerintah tanggal 14 September 1908 No. 12, pemerintah kolonial mendirikan Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Komisi Bacaan Rakyat) dengan G.A.J. Hazeu sebagai ketua. Komisi ini memiliki enam orang anggota, dalam hal memilih bahan-bahan bacaan yang sesuai untuk rakyat Hindia, khusus bertugas memberi pertimbangan kepada Direktur Pendidikan.

Untuk memahami cara pikir yang melandasi kegiatan tersebut, pengertian ’’sesuai” di sini perlu dijelaskan lebih lanjut. Dalam satu karangannya, D.A. Rinkes yang menjabat sekretaris komisi mencatat beberapa hal yang berkenaan dengan geschikte boeken, die konden strekken ala lectuur uoor de Inlandsche bevolking.[32] Dalam catatan itu Rinkes menyebut beberapa tema buku yang bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari, seperti pelajaran ketrampilan, pertanian, tanaman dan ilmu alam. Tema-tema yang berkenaan dengan sikap dan perilaku, seperti mendidik anak dan nasehat tentang tingkah laku yang baik, mendapat penekanan agar tidak dilandaskan pada ajaran agama tertentu.[33] Dalam catatan itu memang tidak tertera tema-tema yang berkait dengan perkembangan politik di Hindia Belanda maupun internasional. Tetapi dipisahkannya tema-tema seperti itu dari daftar ’’bacaan yang layak” bukan tanpa alas an.[34]

Berkaitan dengan hubungan kekuasaan antara negara kolonial dan masyarakatnya, yang penting diperhatikan ialah pernyataan Rinkes bahwa ’’kemajuan” memasuki dunia cetak (modern) harus dipimpin oleh penguasa kolonial tanpa merusak apa yang telah dikembangkan sebelumnya. Pernyataan ini memiliki dua arti. Pertama, dengan demikian penguasa kolonial melihat pentingnya rakyat Hindia Belanda memasuki ’’dunia modern” yang tentunya tidak dapat dilepaskan begitu saja ke tangan rakyat. Pentingnya pimpinan berada di tangan negara berdasarkan anggapan bahwa masyarakat Hindia masih relatif primitif,[35] dan karena itu perlu dipimpin oleh penguasa. Kedua, sementara itu penguasa kolonial telah menyadari munculnya sekelompok orang yang sangat aktif dalam kegiatan politik. Karena kepentingan rust en orde dengan alasan di atas, rakyat juga tampil ke depan sebagai alasan yang menentukan.

Selama dua tahun pertama, lembaga ini belum menjalankan kegiatan penerbitan, dan baru terbatas pada pengumpulan naskah yang dianggap berguna sesuai dengan ketetapan mereka. Pada tahun 1910, ketika Idenburg telah menempati posisi Gubernur Jendral, komisi itu baru dapat menjalankan kegiatannya secara teratur di bawah pimpinan D.A. Rinkes. Bekerja sebagai pembantu Penasehat Urusan Pribumi G.A.J. Hazeu, Rinkes menduduki jabatan sekretaris komisi. Di dalam komisi itu ia bekerjasama dengan Ph.S. van Ronkel, yang pernah menjadi gurunya ketika masih mengikuti pendidikan, serta beberapa orang lainnya di Belanda seperti van Bemmel, Inspektur Pendidikan; R. Soeria Nata Pamekas, Patih Sukabumi dan R.M. Aria Dipa Koesoema, Patih Batavia. Para ahli bahasa yang bekerja pada Kantoor voor Inlandsche Zaken, seperti Hoesein Djajadiningrat —seorang bangsawan yang dipromosikan oleh Snouck Hurgronje— banyak membantu pekerjaan komisi tersebut. Komisi itu juga mempekerjakan beberapa ahli lain dalam bahasa Jawa dan Sunda yang membantu penerjemahan berbagai karya asing ke dalam bahasa mereka masing-masing. Rinkes berperan sangat menentukan bagi perkembangan komisi ini, sehingga dalam sebuah brosur yang dikeluarkan tahun 1930 oleh lembaga itu ia dinobatkan sebagai ’’bapak Balai Poestaka”.[36] Kedudukannya di Hindia Belanda sangat penting karena turut andil dalam beberapa perkembangan politik di berbagai bidang terutama BP.[37]

Catatan yang diajukan Rinkes juga menuntut didirikannya perpustakaan supaya memperlancar penyebaran hasil terbitan komisi ini. Usulan itu disetujui dan melalui Keputusan Pemerintah tanggai 13 Oktober 1910 No. 5, sejumlah perpustakaan dibentuk, dengan nama Taman Poestaka. Tempat peminjaman ini disertakan pada sekolah-sekolah pribumi dan dikelola kepala sekolah yang bersangkutan. Sekalipun ditempatkan di sekolah, perpustakaan tetap terbuka untuk umum dan sekaligus diawasi Inlandsche Schoolcommissie. Kontrol terhadap penyelenggaraan perpustakaan tetap dilanjutkan pada masa berikutnya. Setiap peminjaman dikenakan biaya sebesar 1 sen untuk setiap buku ukuran kecil dan 2 setengah sen untuk buku ukuran besar dengan masa pinjam sebulan. Aturan ini kemudian diubah menjadi 1 sen untuk masa pinjam seminggu dan 2 sen untuk masa pinjam dua minggu.[38] Penyebaran bacaan melalui perpustakaan ini harus diperhatikan dalam posisinya berhadapan dengan penyebaran bacaan dari penerbit swasta. Perpustakaan dalam perkembangan kapitalisme cetak memainkan peranan sentral sebagai alat penyebaran barang cetakan yang sangat efektif karena dapat mengatasi persoalan pasar yang harus dihadapi para penerbit swasta yang tidak memiliki atau mengelola perpustakaan. Tetapi tidak hanya itu, melalui perpustakaan, negara Hindia Belanda juga bisa menyebar sekaligus menentukan ”apa yang boleh” dan ”apa yang tidak boleh” dibaca masyarakat.

Di samping perpustakaan, penyebaran buku juga dilakukan melalui penjualan yang dikelola Depot van Leermiddelen. Pada masa awalnya banyak buku yang diborong oleh pedagang Tionghoa yang kemudian menjualnya kembali dengan harga berlipat. Di bawah lembaga ini, hasil penjualan sama sekali tidak mendatangkan keuntungan. Komisi tersebut kemudian mengangkat agen-agen penjual yang mendapat provisi sebesar 25% dari harga penjualan. Untuk menjaga agar harga buku tidak dinaikkan oleh agen-agen, maka harga buku dicetak disebutkan pada bagian sampulnya.[39] Jika dibandingkan dengan perpustakaan, kontrol negara melalui penyaluran serta penjualan buku cenderung tidak efektif. Daya beli masyarakat Hindia Belanda sangat terbatas, sementara kebutuhan akan bahan bacaan belum meluas dan relatif terbatas pada mereka yang dapat membaca saja.[40]

Hingga tahun 1916, komisi tersebut berhasil menerbitkan 153 judul buku dan menyebarkan 43 judul yang dibeli dari penerbit lain. Bagian terbesar terbitan ditulis dalam bahasa Jawa (95 judul) dan Sunda (54 judul). Tema yang paling sering muncul ialah karya-karya seperti panji, hikayat dan cerita rakyat lainnya. Pemilihan tema ini dilandasi suatu pemahaman tertentu terhadap masyarakat Hindia, seperti dikatakan K.A.H. Hidding, salah satu tokoh lembaga ini:

“Merangsang perkembangan budaya penduduk pribumi dan juga memajukan pendidikannya tidak hanya melibatkan temuan-temuan baru, tapi juga dengan memelihara semua yang memiliki makna bagi kebudayaan mereka, dan jika perlu diberi napas baru di dalamnya. Kebudayaan bukan sesuatu yang terisolasi; dalam setiap kasus kebudayaan selalu terkait dengan masa lalu dan masa depan. Dalam konteks ini lembaga (BP) bekerja mengumpulkan dan mencetak ulang hasil kesusastraan kuno, yang merupakan warisan budaya dan tetap menjadi sesuatu yang nyata bagi lingkungan tertentu. Hanya melalui jalan tetap menjaga hubungan dengan masa lalu, kita dapat mengharapkan sesuatu di masa depan”.[41]

Pernyataan ini menjadi penting karena sanggup memperlihatkan sikap dan politik BP belakangan terhadap bidang kesusastraan. Karya-karya dari ’’masa lalu” yang dikumpulkan hanya terbatas pada cerita-cerita rakyat yang ’’tidak berbahaya” menurut ukuran mereka. Bandingkan sikap ini dengan perlakuan mereka terhadap karya-karya sastra dari kaum Cina peranakan dan pribumi yang terbit sebelum didirikannya BP. Secara tegas dibuat pemisahan terhadap apa yang dapat dianggap ’’masa lalu” dan apa yang bukan dalam kesusastraan. Pemisahan ini berdasarkan kriteria estetis tertentu, seperti bentuk, bahasa yang digunakan, dan sebagainya, yang mereka pelajari di universitas.[42] Keterangan ini lebih lanjut memperlihatkan bahwa kriteria estetis pada masa kolonial tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang ’’obyektif” atau ’’netral”. Hal yang masih relevan sampai sekarang.

 

BP di Hindia Belanda

Tujuh tahun setelah berada di bawah pimpinan Rinkes, pekerjaan bagi komisi tersebut makin bertumpuk. Para pegawainya harus menangani semua pembagian kerja, mulai dari pengumpulan dan penyuntingan naskah, sampai pada percetakan dan penjualan. Untuk bidang pencetakan mereka harus menghubungi percetakan swasta terlebih dulu. Setelah itu barang cetakan diperiksa lagi sebelum dilempar ke pasaran. Proses panjang ini agak menghambat kegiatan produksi komisi tersebut, sekalipun produksi mereka tetap lebih unggul dibandingkan kemampuan penerbit swasta.

Dengan bertambahnya pekerjaan bagi komisi tersebut, pada tahun 1917 —ketika Hindia Belanda berada di bawah pimpinan Gubernur Jendral van Limburg Stirum— berdasarkan keputusan Pemerintah tanggal 22 September 1917 No. 63 didirikanlah Kantoor voor de Volkslectuur yang berdiri sendiri dan dikepalai oleh seorang Hoofdambtenaar. Lembaga ini sekaligus mendapat nama baru yang tetap bertahan sampai saat ini, yaitu Balai Poestaka (BP).[43] Dengan berdirinya kantor tersebut, maka pekerjaan Komisi Bacaan Rakyat telah diambil alih. Sekalipun tidak dibubarkan secara formal, tetapi semua pekerjaannya telah dilakukan BP. Ketua pertamanya adalah D.A. Rinkes yang selama tujuh tahun sebelumnya secara intensif telah berhasil mengatur pola kerja Komisi Bacaan Rakyat.

Di bawah BP dibentuk empat bagian yang masing-masing bekerja menurut rencana yang teratur dan pasti, yaitu redaksi, administrasi, perpustakaan dan pers. Pada awalnya lembaga ini mengandalkan percetakan swasta untuk mencetak naskah-naskah yang telah disiapkan. Beberapa tahun kemudian terbentuk federasi yang beranggotakan sejumlah percetakan swasta yang besar dan penting. Dengan kesepakatan bersama, ongkos pencetakan melambung tinggi, sehingga BP mulai mengalami kesulitan dalam menyediakan ’’bacaan rakyat” dengan harga murah. Sementara itu Landsdrukkerij tidak selalu dapat memenuhi permintaan BP untuk mencetak penerbitannya, sehingga lembaga itu terpaksa mulai mengerjakan percetakannya sendiri. Pada tahun 1921 akhirnya BP memiliki percetakan sendiri.[44]

Dukungan pemerintah terhadap pendirian lembaga ini cukup besar. Hal itu dengan mudah dapat dilihat dari formasi penguasa kolonial saat itu. Pada saat didirikannya Komisi Bacaan Rakyat, A.W.F. Idenburg baru saja turun dari jabatan Menteri Tanah Jajahan untuk kemudian menjadi Gubernur Jendral di Hindia Belanda. Tokoh ini terkenal dekat dengan pergerakan rakyat Hindia, seperti Sarekat Islam, sampai-sampai ada yang mengganti arti singkatan organisasi ini dengan ’’Salah Idenburg”. Ketika BP mulai berkembang, jabatan Gubernur Jendral diisi oleh van Limburg Stirum, yang tidak berbeda jauh pandangan politiknya dari Idenburg, dan sering dikecam kalangan konservatif di Negeri Belanda karena tindakannya yang terlalu ’’lunak”. Sementara itu Idenburg telah kembali ke Negeri Belanda untuk mengisi jabatan Menteri Tanah Jajahan sampai tahun 1922. Formasi seperti ini sangat menguntungkan mereka yang menjalankan BP, dalam hal ini D.A. Rinkes. Ketika Dirk Fock mengambil alih jabatan Gubernur Jendral pada tahun 1921, memang terjadi perubahan, tapi BP sementara itu telah memiliki pola kerja yang lebih mantap.

Bagian redaksi merupakan bagian terpenting BP, karena di tempat inilah terjadi seleksi bacaan yang akan dilemparkan kepada rakyat. Segala bentuk penyuntingan mulai dari penggunaan bahasa sampai pada pengubahan isi cerita dilakukan bagian ini. Standarisasi bahasa yang berlaku di sekolah-sekolah bagi pribumi (ejaan van Ophuijzen) juga diterapkan BP, yang memiliki ahli-ahli bahasa seperti van Ronkel dalam melaksanakan tugasnya. Karya-karya yang menggunakan bahasa yang ’’kurang baik” sama sekali tidak mendapat tempat dalam penerbitan. Penolakan terhadap naskah yang telah diajukan bukan sesuatu yang aneh, sekalipun hanya karena alasan bahasa.[45] Orang Belanda yang duduk di bagian redaksi harus menguasai ejaan yang berlaku dan bahasa Belanda dengan baik. Para pegawai pribumi banyak yang tidak bisa berbahasa Belanda. Ini dapat dimaklumi karena fungsi mereka terbatas sebagai korektor dan ’’penjaga gawang” kemurnian bahasa secara umum. Pencampuran kata-kata dari bahasa daerah ke dalam bahasa Melayu Tinggi sama sekali tidak diperkenankan. Seperti yang diuraikan oleh Nur St. Iskandar :

“Djangan kata mengubah djalan bahasa itu, agak mirip kepada bahasa Djawa dan Sunda umpamanja, hal itu lebih sulit lagi. Kepada direktur jang sengadja agak menjeleweng boleh dikenakan tjap: ongeschik! [sic!] Tidak tjakap! Ja, akan memakai kata bisa sadja, yang berarti dapat dan kata bikin jang bermakna perbuat, bukanlah perkara jang mudah. Apalagi kata-kata jang dipandang Belanda berbau politik, seperti kata Indonesia, adalah tabu (pantangan) bagi mereka.[46]

Proses penyuntingan berjalan begitu ketat sehingga dari segi bahasa, karya terbitan BP, memiliki bentuk dan gaya yang seragam. Beberapa penulis melihat penyeragaman bahasa ini sebagai sesuatu yang sangat menguntungkan perkembangan bahasa Indonesia. Sebaliknya harus diingat bahwa penyeragaman tersebut sekaligus mengenyahkan perkembangan bahasa lainnya seperti Melayu Tionghoa dan Melayu Pasar. Dalam pandangan penulis, upaya penyeragaman bahasa ini —yang merupakan bagian dari politik kolonial— harus dikaji lebih mendalam dengan mempertimbangkan dimensi ideologi dan politik yang jelas terkait. Di samping menerbitkan naskah karangan asli, juga dilakukan penerjemahan berbagai karya ke dalam bahasa Melayu oleh bagian penerjemahan yang berada langsung di bawah bagian redaksi.

Bagian administrasi khusus menangani urusan penjualan, percetakan dan penerbitan karya-karya BP. Dengan adanya bagian ini segala urusan yang tidak berkait dengan teks secara langsung dapat dikerjakan dalam bagian yang terpisah, termasuk urusan periklanan dan propaganda. Pengelolaan yang baik ini juga merupakan salah satu jawaban mengapa BP dapat memproduksi demikian banyak naskah pada masa sebelum perang. Dari segi ini, penerbit pribumi jauh ketinggalan, karena para pengelolanya aktif dalam berbagai bidang. Misalnya dalam pengelolaan suratkabar, para pemimpin dan anggota redaksi sering sekaligus menangani urusan administrasi, di samping harus menulis artikel dan mencari berita. Tidak jarang pula para redaktur dan anggotanya memegang beberapa penerbitan sekaligus dan juga aktif dalam kegiatan politik. Segi keuangan tentu juga menjadi masalah penting, sebab tidak banyak pemilik modal yang mau membiayai penerbitan suratkabar yang justru isinya menentang kehadiran mereka.

Bagian pers bertugas membuat laporan-laporan mingguan dari berbagai suratkabar yang terbit di Hindia Belanda. Untuk kepentingan itu, BP sejak tahun 1918 berlangganan sekitar 40 judul suratkabar, yang meningkat menjadi 200 suratkabar pada tahun 1925.[47] Penerbitan ini kemudian membuat masyarakat dapat membaca laporan-laporan singkat mengenai berita dalam suratkabar. Namun, tidak dapat dilupakan bahwa penyajian laporan itu juga telah melalui ’’saringan” tertentu dan tentunya berpengaruh kepada penyajian. Hingga saat ini belum ada sejarawan yang melakukan kritisisme berdasarkan pengamatan yang mendalam terhadap teks-teks tersebut. Hal yang sangat mengesankan ialah pemilahan politik terhadap berbagai surat kabar dengan kategori liberal, komunis, Islam dan sebagainya. Setiap surat kabar yang dimuat mendapat ’cap’ tertentu dan tidak jarang justru memperlihatkan analisis yang keliru.

Buku-buku yang diterbitkan oleh BP sangat beragam cerita-cerita rakyat sampai pada brosur atau buklet tentang ketrampilan dan kesehatan. Melalui BP, Dr. Soetomo pernah menerbitkan satu karyanya tentang kesehatan. Perlu dicatat, karya- karya yang diterbitkan tentang kesehatan umumnya berbicara mengenai penyakit sehari-hari, seperti influenza, rabies, pertolongan pertama, kudis dan seterusnya. Khusus mengenai candu, BP menerbitkan sejumlah karya yang isinya memperlihatkan akibat-akibat buruk yang ditimbulkan pada para pemakainya. Penerbitan ini tentu berkaitan dengan kenyataan banyaknya pemakai candu di Hindia Belanda. Dalam bidang-bidang yang spesifik seperti itu, BP biasanya bekerjasama dengan instansi atau departemen yang bertugas menangani urusan tersebut.

Penerbitan dengan tema-tema tersebut di atas setidaknya memiliki dua arti penting. Pertama, perhatian negara yang demikian besar terhadap urusan kesehatan dan ketrampilan, jelas berkait dengan tuntutan perkembangan kapitalisme di Hindia Belanda, yang memerlukan pra-kondisi material seperti kesehatan serta keterampilan masyarakat jajahannya. Dengan basis ini negara kolonial dapat menciptakan tenaga dan lingkungan kerja yang lebih baik di kalangan pribumi, sekaligus menciptakan pasar yang memadai bagi kepentingan dagangnya. Arti penting kedua, yang sangat mendasar, ialah dominasi negara kolonial terhadap pembentukan discourse dalam bidang kesehatan, misalnya. Di kalangan rakyat pribumi, kesehatan biasanya dikaitkan dengan kegiatan perdukunan atau hal-hal yang berhubungan dengan dunia gaib. Pengetahuan yang membentuk discourse ini terbentuk melalui jalur lisan.[48] Dengan berkembangnya kapitalisme cetak, yang memproduksi naskah-naskah ’moderen’ tentang kesehatan masyarakat atau pendefinisian tentang ”yang sehat” dan ’’yang tidak sehat”, keterbatasan ini dapat diatasi, sehingga rakyat biasa (yang dapat membaca) kini memiliki akses dalam pembentukan discourse tentang kesehatan. Dominasi BP dan departemen yang bersangkutan dalam penyebaran buku-buku ’’kesehatan” tentunya berpengaruh terhadap proses pembentukan discourse tersebut.[49]

Setahu penulis, karya-karya terbitan BP dengan tema-tema tersebut di atas sama sekali belum mendapat perhatian dan menjadi lahan yang terbengkalai. Studi yang mendalam terhadap naskah- naskah dalam kaitannya dengan perkembangan masyarakat secara umum akan sangat membantu pemahaman mengenai dominasi negara terhadap masyarakat jajahan. Kepentingan negara kolonial bagaimanapun, dapat “dibaca” melalui teks-teks ini. Sudah saatnya perhatian dialihkan dari penulisan sejarah “politik” —yang mengandalkan pembahasan mengenai pertumbuhan organisasi, partai-partai, dan seterusnya, untuk menjelaskan dinamika kehidupan sosial politik di Hindia Belanda— kepada bidang-bidang yang selama ini sering dianggap ”a-politis”.

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rinkes pada tahun-tahun awal berdirinya Commissie voor de Volkslectuur, hampir tidak ada karya terbitan BP yang berkaitan dengan politik baik di Hindia Belanda maupun tingkat internasional. Buku mengenai sejarah Indonesia secara khusus juga tidak dapat ditemukan dalam koleksi BP sebelum perang, yang jumlahnya mencapai lebih dari 2.000 jilid.[50] Gagasan untuk menghindari rakyat Hindia dari pengetahuan politik dalam BP dijalankan secara ketat dan sesuai dengan kepentingan politik kolonial.

Karya sastra —sesuai pandangan dominan di Indonesia saat ini— merupakan hasil terbitan yang cukup penting. Di sini tidak akan diuraikan secara rinci tema-tema yang muncul dalam karya sastra terbitan BP, karena banyak penulis yang telah melakukannya secara mendalam.[51] Namun penting untuk membuat tinjauan yang sangat umum untuk mengetahui kecenderungan atau orientasi politik BP.

Kawin paksa merupakan salah satu tema yang sering dibicarakan. Secara tegas dibuat penolakan terhadap soal kawin paksa ini seperti yang dinyatakan dalam Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Tetapi tema ini juga sering dibicarakan dalam novel-novel non-BP seperti Belenggu karya Armijn Pane. Rupanya tema tersebut dapat diterima penguasa kolonial, karena dipandang tidak memiliki dampak yang berbahaya. Dalam membicarakan perkawinan atau hubungan antara pria dan wanita karya-karya terbitan BP cenderung konservatif, sekalipun dalam ukuran masa itu. Urusan seks, misalnya, yang digambarkan secara rinci dalam Mata Gelap karangan Mas Marco tiba-tiba menghilang dari khazanah kesusastraan BP. Berbagai terbitan BP sama sekali tidak memberikan tempat pada adegan seksual yang digambarkan secara rinci.[52] Marah Rusli dalam Siti Nurbaja menekankan peranan istri sebagai pengurus kehidupan rumah tangga. Posisi perempuan dalam karya ini justru dipertahankan sebagai istri yang sekadar bertugas mengurus rumah tangga. Dalam karya ini penting dicatat bahwa ’’tokoh jahat” adalah Datuk Meringgih yang notabene sedang bergerak menentang pemerintah kolonial, dan sebaliknya ’’tokoh baik” adalah Letnan Samsul Bahri yang menumpas gerakan pribumi di Sumatra. Gambaran bahwa Datuk Meringgih secara nyata menyerang pelaksanaan politik pajak di Sumatra seketika amblas menjadi tidak berarti karena peranannya sebagai ’’tokoh jahat”. Penelitian lebih lanjut mengenai karya-karya yang terbit sebelum berdirinya BP, ataupun yang terbit sezaman tapi tidak melalui lembaga ini sangat diperlukan untuk melihat tema-tema apa yang muncul dan menghilang. Untuk mendapat pemahaman yang mendalam, penting dilihat bagaimana alur perkembangan kesusastraan pada masa itu. Hubungan antar-teks diperlukan bukan hanya untuk memahami sebuah teks secara mendalam, tapi juga mengenai garis atau pola perkembangan yang lebih umum.

Di samping membuat terjemahan langsung, BP juga mengadaptasi karya-karya asing, lalu menempatkannya ke dalam konteks masyarakat di Hindia Belanda. Pengertian konteks di sini harus dipahami dalam kerangka berpikir kolonial, yang samasekali tidak dapat dilihat sebagai sesuatu yang ada begitu saja (given). “Konteks” ini terbentuk melalui sejarah dan tradisi berpikir yang panjang, seiring dengan usaha ’’Barat” memahami ’’Timur”. Dengan kata lain, dalam proses penerjemahan ini teks-teks asli diproduksi dalam bentuk yang sama sekali baru setelah melalui ’’saringan” yang sarat muatan politik maupun ideologis.[53] Usaha penerjemahan ini membuat karya-karya seperti Alexander Dumas, Baroness Orczy, Robert L. Stevenson, Mark Twain, Charles Dickens dan sebagainya mulai luas dibaca rakyat Hindia.

Di samping buku-buku, BP juga menerbitkan sejumlah majalah berkala. Secara teratur setiap tahun diterbitkan Volksalmanak dalam bahasa Melayu, Jawa dan Sunda. Pada tahun 1918 dikeluarkan Sri Poestaka yang disusul lima tahun kemudian oleh Pandji Poestaka dan Kejawen. Pada tahun 1926 Pandji Poestaka diterbitkan dua kali seminggu. Hal yang sama diberlakukan pada Kedjawen sejak tahun 1928. Pada bulan Januari 1929, BP mulai menerbitkan majalah Parahiangan yang berbahasa Sunda. Khusus untuk anak-anak, BP menerbitkan Taman Kanak-Kanak dalam bahasa Melayu, Taman Botjah dalam bahasa Jawa dan Taman Murangkalih dalam bahasa Sunda. Banyaknya penerbitan ini memperlihatkan usaha BP untuk mencakup semua golongan, mulai dari anak-anak sampai orang de- wasa. Dalam perjalanan BP, tiras Pandji Poestaka berkembang pesat. Pada tahun 1923 majalah ini diterbitkan sebanyak 1.500 eksemplar dan pada tahun 1941 mencapai jumlah 7.000 eksemplar. Majalah Kedjawen pada tahun 1926 mencapai jumlah 2.300 eksemplar dan pada tahun 1941 mencapai angka 5.000 eksemplar. Sementara itu majalah Parahiangan pada tahun 1929 terbit sebanyak 1.250 eksemplar dan pada tahun 1941 mencapai angka 2.500 eksemplar.[54] Khusus mengenai kesusastraan, Pandji Poestaka memiliki rubrik “Menoedjoe Kesoesastraan Baroe” yang banyak memuat karangan mengenai perkembangan kesusastraan di Hindia Belanda. Dari segi penerbitan berkala, sekali lagi, BP unggul jika dibandingkan terbitan berkala dari kalangan pribumi. Ketika terbit, majalah-majalah tersebut seketika menjadi alternatif bagi kaum pribumi.

Distribusi dan Konsumsi

Setelah berdiri sebagai kantor yang mapan, dalam upaya penyebaran, BP tidak banyak berubah. Sejak tahun 1917, BP telah memiliki bagian perpustakaan yang tidak hanya mengelola Taman Poestaka, tapi juga menyediakan buku-buku di berbagai perpustakaan lainnya. Perpustakaan yang langsung dikelola BP dibagi menjadi dua bagian, yaitu yang berbahasa Belanda dan tidak. Buku-buku yang diedarkan melalui tempat peminjaman ini dibagi menjadi tiga, yaitu seri A untuk anak- anak, seri B untuk orang dewasa dan seri C buku-buku dalam bahasa Melayu yang sama dengan seri B tapi untuk mereka yang sudah lebih lanjut pengetahuannya. Sampai pada penyaluran ternyata BP masih juga melakukan kontrol yang ketat. Sering pada perpustakaan itu disertakan beberapa pengawas yang dapat diajak berkonsultasi untuk memilih buku-buku mana saja yang sebaiknya dipinjam. Dengan perpustakaan ini, BP jelas melampaui kemampuan penerbit swasta dalam menyebarkan terbitannya. Sekalipun ada beberapa organisasi yang juga mengelola perpustakaan, tapi jumlahnya tidak sebanyak perpustakaan yang secara langsung maupun tidak langsung dikelola BP.

Di samping peminjaman, BP tetap menjalankan penjualan buku. Jika dilihat harganya, maka tidak nampak perbedaan besar dari terbitan lainnya. Harga buku terbitan BP sangat beragam dan bergantung pada tebal halamannya. Sementara “bacaan liar” memiliki harga yang relatif sama bahkan lebih murah.[55] Jaringan agen-agen penjual yang bekerja untuk BP jauh lebih luas jika dibandingkan penerbit swasta. Dalam penjualan, BP juga menggunakan 250 kantor pos yang terletak di pelosok- pelosok terpencil di Hindia Belanda, daerah yang tidak terjangkau oleh toko- toko buku umum. Di kantor-kantor pos itu tersedia katalog lengkap dan lemari kaca berisi contoh-contoh terbitan BP. Para peminat dapat memesan buku yang mereka kehendaki kepada pegawai kantor pos. Pesanan itu kemudian akan disampaikan ke Batavia tanpa dikenakan biaya pengiriman.

Sebagai iklan, BP mencetak sekitar 100.000 buklet setebal 32 halaman setidaknya tiga kali setahun. Buklet itu merupakan semacam buku panduan bagi para pembaca untuk memilih buku-buku yang diterbitkan BP. Isinya tidak terbatas pada judul-judul buku saja, tapi juga mencakup pembahasan singkat mengenai isinya. Majalah-majalah yang diterbitkan BP juga memuat iklan serupa.[56] Tidak dapat dipungkiri, iklan ini berpengaruh terhadap konsumsi masyarakat Hindia terhadap barang cetakan.

Konsumsi merupakan stasiun terakhir perjalanan kontrol BP terhadap bacaan rakyat. Pengusahaan yang dapat dilakukan terbatas pada penjualan dengan harga murah, serta pengawasan perpustakaan. Dominasi BP dalam dunia penerbitan akan menyeret persoalan lain yang sangat penting, yakni hegemoni.[57] Untuk memahami hegemoni budaya ini, kiranya terlalu riskan jika mengandalkan angka-angka konsumsi dan isi teks-teks BP yang diuraikan di atas. Persoalan dengan begitu harus diperluas, dengan membicarakan bagaimana berlangsungnya konsumsi barang-barang cetakan dalam masyarakat; pendapat umum yang kemudian terbentuk tentang berbagai persoalan dalam masyarakat; dan yang sangat penting adalah kelanjutan discourse yang terbentuk pada masa selanjutnya.

Cara menikmati hasil terbitan pada awai abad XX sebenarnya cukup unik dan menarik untuk digambarkan. Di samping dibaca secara langsung oleh mereka yang dapat membaca, untuk kepentingan sendiri, ada juga sebagian orang yang membacakan hasil-hasil terbitan itu kepada beberapa orang lainnya. Tidak jarang pula beberapa orang yang tidak mampu membaca sendiri lantas membayar atau menyewa orang lain untuk membacakannya.[58] Sementara itu, ada sebagian orang yang telah mampu membaca, relatif tidak terlibat dalam konsumsi bahan-bahan terbitan secara intensif, karena waktu senggang yang merupakan persyaratan penting, tidak dimilikinya. Kaum buruh industri —seperti industri gula— harus bekerja keras sepanjang hari, sehingga hampir tidak ada waktu yang terluang bagi mereka. Di daerah perkotaan, khususnya kampung-kampung di pinggir kota, masih sedikit rumah yang telah menggunakan penerangan yang baik. Kondisi material ini pada gilirannya sangat menentukan perkembangan budaya dan intelektual seperti kesusastraan, dan karena itu juga patut dipertimbangkan.

Kembali ke persoalan hegemoni. Konsumsi terhadap barang cetakan bukan merupakan proses di mana pembaca menempati posisi yang pasif. Para pembaca secara aktif memberikan makna kepada teks yang dihadapi. Makna yang diberikan ini tentu bergantung pada perkembangan masyarakat secara umum, termasuk di dalamnya perkembangan politik. Bukan sesuatu yang mengherankan bahwa teks-teks yang diterbitkan BP lebih mendapat tempat ketika pemerintah kolonial berhasil menumpas gerakan radikal yang berkembang sejak awal abad ini pada tahun 1927. Asumsi ini tentunya masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Pada masa sebelum tahun 1927, kegiatan politik rakyat Hindia Belanda berkembang pesat dengan didirikannya sejumlah organisasi, baik dalam bentuk serikat buruh, partai dan lainnya. Organisasi-organisasi ini umumnya memiliki penerbitan sendiri di mana para anggotanya atau tokoh-tokoh pergerakan dapat menggerakkan gagasan-gagasan mereka, yang bagi penulis lebih menarik perhatian ketimbang terbitan-terbitan BP yang ”a-politis” sifatnya. Pernyataan ini sekadar catatan bahwa dominasi BP terhadap masyarakat juga didukung oleh kondisi sosial-politik sezaman.

Dalam kondisi yang bergantung pada kondisi historis ini sekaligus muncul produksi terhadap kebutuhan. Dalam konteks BP, produksi kebutuhan masyarakat kolonial terhadap bacaan sangat ditentukan oleh apa yang menjadi bahan konsumsinya. Artinya buku-buku terbitan BP sekaligus menjadi referensi dalam produksi kebutuhan membaca. Tapi, sebaliknya juga keliru jika dikatakan bahwa dominasi BP dalam bidang penerbitan diterima begitu saja tanpa adanya semacam perlawanan dari rakyat pribumi. Sejumlah tokoh radikal pada masa itu menunjukkan sikap mereka terhadap pembentukan dan perkembangan BP, dengan menyebut lembaga ini sebagai ’’benteng kekuasaan”. Menanggapi hal ini Rinkes sebagai arsitek BP justru menyatakan:

 

“Memang tepat: Ia (BP) bangga akan sebutan itu, ia tentu saja akan menjadi benteng kekuasaan dan ketentraman, di mana perkembangan sosial dalam pengertian yang paling luas, dapat berjalan tanpa gangguan…”[59]

Pernyataan Rinkes ini jelas memperlihatkan posisi BP sebagai lembaga yang mempertahankan kekuasaan kolonial. Tapi hal yang lebih penting bagi penulis adalah tanggapan kaum pergerakan terhadap pendirian BP. Kecaman sekalipun dalam bahasa yang sangat keras, tidak seketika berarti lepasnya hegemoni terhadap mereka yang melakukan kecaman itu. Sebaliknya juga tidak dapat dipastikan bahwa mereka yang melakukan kecaman telah berada di bawah hegemoni itu. Jawaban terhadap masalah ini memang menjadi rumit, dan untuk itu perlu masuk ke dalam persoalan kedua, yaitu soal pendapat umum yang membentuk discourse dalam bidang dan masa tertentu.

Untuk memahami pendapat umum ini muncul persoalan mendasar. Dalam konteks produksi barang cetakan atau teks, maka pendapat umum dapat dipahami melalui “pembacaan” terhadap teks-teks yang sezaman. Hubungan antar-teks menjadi masalah sentral untuk mencari jawaban terhadap persoalan ini. Pengkajian antar-teks ini tentu tidak dapat dilepaskan dari hubungan kekuasaan yang berlangsung dalam kehidupan sosial. Pendapat umum ini terbentuk secara historis dan pada gilirannya dapat pula mempengaruhi perkembangan masyarakat. Hubungan saling pengaruh ini tidak bersifat niscaya, tapi cenderung berubah seiring perkembangan zaman. Untuk memahami hegemoni budaya, peranan teks-teks BP yang dominan harus ditempatkan dalam hubungan kekuasaan negara dan masyarakat kolonial.

Persoalan terakhir ialah kelangsungan gagasan, pendapat umum, atau ideologi tertentu pada masa selanjutnya. Dengan pengamatan yang kritis terhadap teks- teks yang muncul kemudian, dapat dilihat gagasan-gagasan apa yang selanjutnya tetap bertahan (atau dipertahankan?). Dalam bidang kritik sastra atau penulisan sejarah kesusastraan, Paul Tickell memperlihatkan bagaimana dominasi BP tidak terbatas pada kontrol terhadap produksi hasil-hasil terbitan di Hindia Belanda, tapi juga kontrol terhadap citarasa masyarakat mengenai kesusastraan.[60] Kajian terhadap bidang bidang lainnya (non-fiksi) seperti diuraikan di atas mendesak untuk dilakukan. Menarik misalnya untuk diperhatikan bahwa pada saat diterbitkan buku-buku tentang kesehatan, keterampilan, pertanian, dan sebagainya, oleh BP juga muncul sejumlah tulisan mengenai gerakan buruh di Hindia dari Semaun dan Sjahrir. Artinya masyarakat dapat mengembangkan tema-tema yang secara mendasar ditolak oleh BP. Namun dalam pembentukan discourse kesehatan misalnya, sumbangan rakyat Hindia yang tidak masuk dalam kerangka hegemoni BP, masih harus dipertanyakan.

Hubungan antara karya-karya BP dan non-BP amat penting, karena dapat memberikan gambaran mengenai hegemoni budaya. Misalnya, pernyataan bahwa “roman picisan” merupakan kelanjutan dari ’’bacaan liar” yang berkembang sebelumnya harus dipertanyakan kembali, karena bentuk dan gagasan yang ditampilkan sangat berbeda.[61] “Bacaan liar” diterbitkan dalam kondisi yang secara politik relatif terbuka. Berbeda jauh dengan roman pitjisan atau karya-karya Poedjangga Baroe yang terbit sesudah terjadinya Pemberontakan 1926-1927 di Jawa dan Sumatra. Selain memiliki konteks yang berbeda, tokoh-tokoh yang terlibat dalam dunia penerbitan di Hindia Belanda juga berbeda dari mereka yang tampil pada masa-masa sebelumnya. Aktivitas politik yang sempat berkembang luas setelah itu mulai dikendalikan perkembangannya, dengan jalan membuang sejumlah tokoh yang terkemuka, antara lain ke Boven Digul. Setelah pemberontakan itu, negara secara tegas menindas kegiatan-kegiatan politik termasuk penerbitannya. Di bawah pimpinan de Graeff (1926-1931) dan de Jonge (1931-1936), pemerintah kolonial melancarkan apa yang dikenal dengan sebutan “teror putih”.[62] Masa ini kemudian dikenal sebagai zaman keemasan BP karena sanggup melebarkan sayapnya, hampir-hampir tanpa saingan berarti, khususnya dalam bidang penerbitan. “Bacaan yang baik dan layak” dengan begitu dapat mendominasi peredaran barang cetakan di Hindia Belanda.

Penutup

Melalui proses yang begitu panjang —mulai dari pemilihan dan penyuntingan naskah sampai pada penjualan— Balai Poestaka melakukan kontrol yang ketat terhadap barang cetakan yang beredar. Dalam bidang kesusastraan lembaga penerbitan ini berhasil mencampakkan karya-karya tertentu keluar dari sejarah kesusastraan Indonesia modern yang bahkan tidak dikenal pada masa-masa selanjutnya. Banyak pengamat —yang kemudian mengikuti pandangan dan sikap ini (terlepas dari kesengajaan atau bukan)— menghargai karya-karya terbitan Balai Poestaka melalui ukuran estetika tertentu. Hasilnya, penyingkiran karya-karya tertentu dari penulisan sejarah kesusastraan Indonesia modem.

Bertolak belakang dengan pandangan ini, untuk mendapat gambaran yang utuh tentang karya-karya terbitan Balai Poestaka maupun non-Balai Poestaka, perlu dilakukan pengkajian mendalam terhadap karya-karya yang disingkirkan. Hubungan antarteks harus diperhatikan secara serius, terlebih lagi jika berbicara tentang sejarah kesusastraan dan perkembangan budaya di Indonesia.

Dalam perkembangan penerbitan di Hindia Belanda, terlihat bagaimana Balai Poestaka sama sekali tidak menempati posisi yang netral (apalagi positif). Dengan melihat kembali semua ukuran maupun nilai-nilai yang digunakan oleh Balai Poestaka, maka lembaga ini sebaliknya justru mewakili sikap politik reaksioner pemerintah kolonial terhadap perkembangan sosial-politik masyarakat Hindia Belanda. Lebih jauh, lembaga ini menjalankan fungsinya di “tingkat” ideologi untuk mereproduksi hubungan-hubungan sosial yang terbentuk dalam masyarakat kolonial. Hegemoni negara terbentuk antara lain melalui lembaga ini, yang dapat melakukan kontrol terhadap rakyat pribumi melalui bacaan-bacaannya.

Pada dasawarsa 1970-an masyarakat kembali menyaksikan munculnya berbagai karya sastra (dikenal dengan sebutan novel populer) dalam jumlah besar-besaran. Sekarang ini perkembangan kapitalisme cetak sudah demikian pesat dan negara tidak mungkin secara menyeluruh menghalangi begitu saja perkembangan barang cetakan seperti pada masa kolonial. Reaksi dari kalangan pengamat (walaupun tidak terpusat seperti dalam lembaga Balai Poestaka, tapi dominan) terhadap penerbitan itu cukup keras, terutama menyangkut isinya yang dianggap “gampangan”, dan bahasa yang “sembarangan”, sehingga perlu dipertimbangkan lebih dulu sebelum “dinobatkan” sebagai warga kesusastraan Indonesia. Analogi dapat dibuat dengan melihat bagaimana “novel populer” itu dicampakkan oleh pandangan yang dominan dalam pengkajian kesusastraan Indonesia. Hal yang sama, melalui kontrol sangat ketat, dilakukan Balai Poestaka di masa kolonial. Dalam kebudayaan, dominasi dan hegemoni negara masih tetap relevan sampai saat ini.

Hilmar Farid, 1991

Catatan: Tulisan ini pernah dimuat oleh Jurnal Prisma edisi Oktober 1991.

[1] A. Teeuw bahkan menganggap pembentukan Balai Poestaka merupakan kesempatan bagi para penulis pribumi untuk menulis dan dibaca masyarakat Hindia. Lihat A. Teeuw, Voltooid Voorspel: Indoncsische Literatuur Tussen de Twee Wereldoorlogen, Jajasan Pembangunan, Jakarta, 1950, hal. 7 7. Pandangan ini tidak jauh berubah dalam karyanya Modern Indonesian Literature dan artikelnya yang khusus membahas pengaruh Balai Poestaka terhadap kesusastraan Indonesia. Lihat A. Teeuw, ’’The Impact of Balai Pustaka on Modern Indonesian Literature,” BSOAS, Vol. XXXV, 1972. Sejumlah penulis Indonesia sepakat dengan pandangan ini dan umumnya juga menekankan peranan BP dalam pengaturan bahasa.

[2] Pemakaian istilah ’’netral”, ’’obyektif” justru sering digunakan oleh para pegawai kolonial untuk membenarkan tindakan-tindakan mereka dalam menangani masyarakat Hindia Belanda. Lihat beberapa kutipan dari Rinkes di bawah.

[3] Terry Eagleton, Criticism and Ideology, London, 1976.

[4] C. Th. van Deventer, ”A Welfare Policy for the Indies”, dalam Indonesian Economics: The Concept of Dualism in Theory and Practice, The Hague, 1961.

[5] Amry Vandenbosch, The Dutch East Indies, Michigan, 1933, hal. 53.

[6] Nama-nama di atas banyak menerbitkan karya yang terkadang tidak berhubungan sama sekali dengan bidang pekerjaan mereka dalam pemerintahan. Gejala seperti ini tidak hanya terjadi di Hindia Belanda, karena John Stuart Mill, ekonom yang terkemuka itu juga menghabiskan sebagian besar waktunya di India. Untuk keterangan yang lengkap tentang kaitan antara pendidikan dengan jabatan tokoh-tokoh ini, Hat Regeeringsalmanak van Nederlandsch-Indie yang diterbitkan sejak abad XIX.

[7] Usaha pemahaman ini sama sekali bukan hanya karena minat atau keingintahuan (curiosity) ’’Barat” terhadap dunia ’’Timur”, tapi berkaitan erat dengan penguasaan mereka di wilayah jajahannya. Orientalisme berkembang pesat terutama di Perancis dan Inggeris, serta beberapa negara Eropa Atlantik lainnya.

[8] Heater Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1983. Buku ini memberikan gambaran yang memadai tentang perubahan dalam birokrasi kolonial pada pergantian abad ini.

[9] Amry Vandenbosch, op. cit., 1933.

[10] Dalam gagasan ’’asosiasi”, Belanda berperan sebagai ”wali” yang membimbing rakyat Hindia memasuki zaman modern. Tokoh penting pembela gagasan ini adalah Snouck Hurgronje. Untuk tinjauan kritis terhadap Politik Etis, lihat Elsbeth Loscher-

Scholten, Ethiek en Fragmenten, Utrecht, 1981.

[11] Dalam konteks sejarah yang lebih luas, kolonialisme sering berjalan seiring dengan penyeragaman bahasa. Pada beberapa kasus bahkan setelah merdeka ada yang menjadikan bahasa penjajah sebagai bahasa nasional. Perubahan pemakaian bahasa bukan sekadar pergeseran linguistik, tapi penuh dengan pertentangan di dalam hubungan kekuasaan yang ada. Lihat Ben Anderson, Imagined Communities, London, 1983. Untuk perkembangan di Indonesia, lihat John Hoffman, ”A Colonial Investment”, Indonesia, No. 27, 1979.

[12] Lihat Volkstelling 1930, deel V dan VII.

[13] Kesemua itu membuat orang-orang yang terdidik secara ’’Belanda” ini dapat membedakan diri dengan orang-orang lain, sebagai ’’generasi” tersendiri. Lihat Takashi Shiraishi, An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926, Ithaca, 1990. Perkembangan lain yang penting ialah perubahan cara pandang pada awal abad ini. Misalnya pada kasus orang Jawa, seiring dengan tumbuhnya kapitalisme dan pendidikan, dipaksa keluar (sadar atau tidak) dari dunianya. Dengan mengenal dua bahasa (Jawa dan Belanda), orang-orang Jawa menghadapi kenyataan bahwa, ’’bahasa” Jawa hanyalah bagian dari sekian banyak ’’bahasa” lain yang ada. Mengenai dimensi politis dari perkembangan ini, lihat Ben Anderson, ’’Language, Fantasy, Revolution: Java, 1900-1945”, Prisma, No. 50, (edisi Inggris), 1990.

[14] Lihat Zubaidah Isa, ’’Printing and Publishing in Indonesia, 1902-1970”, tesis Ph. D, Indiana University, 1972, hal. 39; ’’Cetak Mencetak”, dalam Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jilid IV, Jakarta, 1989, hal. 88-89.

[15] Sebelum memiliki percetakan sendiri, pasar orang-orang Cina peranakan dikuasai oleh percetakan Belanda. Lihat Claudine Salmon, Sastra Cina Per¬anakan dan Bahasa Melayu, Jakarta, 1985. Menarik untuk dilihat bahwa buku ini diterbitkan oleh PN Balai Pustaka. Tidak dapat dibayangkan bahwa studi semacam ini mungkin diterbitkan oleh lembaga yang sama pada zaman kolonial. Lihat juga bagian pengantar yang menarik dari Dede Oetomo.

[16] Zubaidah Isa, op. cit

[17] Ph. Kleintjes, Het Staatsrecht van Neder- landsch Indie, Amsterdam, 1912, II, hal. 189. Jika nama tidak dicantumkan, hukumannya tidak lagi berupa penyitaan tapi denda antara 10 sampai 100 florin.

[18] Claudine Salmon, op. cit., juga memberikan peta penyebaran percetakan Cina sejak abad XIX sampai abad XX; Lihat juga Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe, Jakarta, 1982, hal. 8.

[19] Untuk biografi R.M. Tirtoadhisoerjo dan kegiatannya dalara penerbitan, lihat Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta, 1984.

[20] Medan Prijaji misalnya memiliki umur yang sangat singkat jika dibandingkan Regeeringsalmanak van Nederlandsch Indie, yang terbit sejak abad XIX sampai pada masa akhir pemerintah kolonial. Jelas bahwa hasil terbitan pemerintah kolonial di sini memiliki kemampuan yang jauh lebih baik dari segi teknis penerbitan.

[21] Benedict RO’G. Anderson, ’’Sembah Sum-pah: The Politics of Language and Javanese Culture”, dalam Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, Ithaca, 1990, hal. 210-211.

[22] Istilah ’’bacaan rakyat’’ (volkslectuur) dari penguasa kolonial penting mendapat penjelasan, karena mengacu kepada gagasan mereka mengenai orang-orang pribumi. K.A.H. Hidding, salah satu pemimpin BP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan rakyat adalah penduduk pribumi yang dap membaca (huruf Latin) dan memiliki kebutuhan terhadap bahan bacaan. Dengan pernyataan ini jelas dibuat pemisahan bahwa orang Belanda tidak termasuk ke dalam kategori ’’rakyat”. Lihat K.AJ Hidding, ’’The Bureau for Popular Literature”. Bulletin of Colonial Institute of Amsterdam, VoL 1937-1938.

[23] Untuk ulasan mengenai bahasa ini, lihat Claudine Salmon, ’’Apakah dari Sudut Linguistik Istilah Bahasa Melayu-Tionghoa Dapat Diterima?” dalam Citra Masyarakat Indonesia, Jakarta, 193 hal. 101-113.

[24] Claudine Salmon, op. cit, 1985.

[25] A. Teeuw, Modem Indonesian Literature, The Hague, 1967 yang sering digunakan dalam pe¬nulisan sejarah kesusastraan Indonesia, dengan tegas mendukung argumen ini.

[26] Penting untuk diingat bahwa sebagian orang Menado, seperti halnya Ambon, pada masa itu memiliki posisi dan orientasi yang berbeda dari mereka yang berasal dari Jawa atau Sumatera. Karena banyak di antara penduduknya yang beragama Kristen, secara hukum kedua sukubangsa ini memiliki berbagai keistimewaan.

[27] Lebih lanjut mengenai karya-karya Eropa Peranakan ini, lihat C.W. Watson, ’’Some Preliminary Remarks on the Antecedents of Modern Indonesia Literature”, BKI, deel 127, 1971; N.V. Sykorsky, ’’Some Additional Remakrs on the Antecedents of Modern Indonesian Literature”, BKI, deel 136, 1980, Pramoedya Ananta Toer, op. cit, 1982.

[28] Lihat Soe Hok Gie, ”Di Bawah Lentera Merah: Sarekat Islam Semarang 1917-1920”, skripsi Sarjana Muda Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1964.

[29] D.A. Rinkes, ’’Volkslectuur”, dalam Gedenkboek van Nederlandsch Indie, Batavia, 1923. Lihat dua tulisan dengan pengarang dan judul yang sama dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, Jilid IV, ’s-Gravenhage, 1921; Mededeelingen dar Regeering Omtrent Enkele Onderwerpen van Algemeene Belang, 1926. Kedua tulisan yang disebut belakangan memuat pernyataan serupa, tapi khusus dalam Mededeelingen telah digunakan istilah ’’goede lectuur” (bacaan yang baik).

[30] Rinkes, op. cit, 1923, hal. 188. Tambahan keterangan dalam kurung dari penulis (HFS).

[31] Tentang perkembangan SI dan peranan Hazeu, lihat Takashi Shiraishi, op. cit., 1990.

[32] “Buku-buku baik yang dapat menjadi bacaan bagi penduduk pribumi”. Lihat D.A. Rinkes, Nota over de Volkslectuur, Batavia, 1911.

[33] Pernyataan ini harus dikaitkan dengan pengalaman negara kolonial dalam menghadapi rangkaian perlawanan di daerah yang menampilkan agama sebagai alasan memberontak. Perang Aceh yang baru berhasil diselesaikan dalam pandangan saya turut mempengaruhi sikap negara terhadap ajaran- ajaran agama tertentu. Lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta, 1986. Juga untuk keterangan rinci mengenai Kantoor voor Inlandsche Zaken.

[34] Mengikuti definisi ’’baik — tidak baik”, dapat dibilang bahwa pemerintah kolonial melihat persoalan politik sebagai hal yang ’’tidak baik” bagi pengetahuan rakyat.

[35] Lihat Hidding, loc. c it, hal. 186. Gagasan yang sangat mendasar dari kaum Orientalis, bahwa dunia ’’Timur” yang terbelakang tidak sanggup mengurus keperluannya sendiri.

[36] Bureau voor de Volkslectuur, The Bureau of Popular Literature of Netherlands Indie, Batavia, 1930.

[37] Rinkes sebenarnya terdidik sebagai ahli pertanian tropis dan bekerja’ pertama kali di Kebun Raya Bogor. Di bawah bimbingan Ronkel dan Hazeu, ia meneruskan sekolahnya dalam bidang bahasa dan kesusastraan. Pada tahun 1927 ia kembali ke Negeri Belanda, setelah beristirahat di sana selama dua tahun (1920-1922) karena jatuh sakit. Untuk biografi Rinkes, lihat G.W.J. Drewes, ”D.A. Rinkes: A Note on His Life and Work”, BKI, deel 117, 1961, hal. 417-435; Tokoh ini juga berpengaruh terhadap gerakan rakyat di Jawa saat itu, misalnya Sarekat Dagang Islam. Lihat Takashi Shiraishi, op. cit, dan Pramoedya Ananta Toer, op. cit., 1982. Salah satu publikasinya secara khusus berbicara mengenai organisasi itu.

[38] Balai Poestaka Sewadjarnja, 1908-1942, Yogyakarta, 1948, hal. 7-8. Kebijakan penyewaan ini dilandasi teori dari pemerintah kolonial: jika penduduk pribumi mau mengeluarkan sebagian uangnya untuk menyewa buku, maka buku-buku itu dengan sendirinya menjadi sesuatu yang berharga bagi mereka dan akan menciptakan kebutuhan membaca. Lihat juga Zubaidah Isa, op. cit., hal. 44.

[39] Ibid. Di perpustakaan BP saat ini masih dapat ditemui karya-karya yang dicetak pada zaman itu. Pada beberapa buku yang masih memakai sampul asli, cetakan harga itu tetap terlihat. Selama menjalankan kegiatannya, BP tidak pernah mendapat keuntungan. Pada tahun 1921 anggaran belanja BP sebesar 553.080 gulden, sementara pemasukan hanya 97.500 gulden; tahun 1930 anggaran belanjanya 693.242 gulden, sementara pemasukan hanya 261.545 gulden; tahun 1941 ada sedikit kenaikan (dari persentase), dengan anggaran belanja sebesar 341.000 gulden dan pemasukan 280.000 gulden.

[40] Bandingkan harga buku saat itu yang jumlahnya sekitar 1 sampai 2 gulden, dengan upah seorang kuli yang hanya mencapai 124 gulden setahun; buruh tani sebesar 118 gulden setahun; pedagang di pasar sebesar 248 gulden setahun. Dengan upah seperti itu (tercatat pada tahun 1926), buku merupakan sesuatu yang cukup mahal. Penyewaan buku dengan begitu menjadi pilihan yang sangat baik bagi mereka yang mampu dan ingin membaca. Untuk angka-angka lengkap tentang upah dan gaji pada masa itu, lihat J.W. Meijer Ranneft dan W. Huender, Onderzoek naar de Belastingdruk op de Inlandsche Bevolking, 1926.

[41] Hidding, loc. cit., hal. 187. Cetak miring dan singkatan BP dari penulis (HFS).

[42] Pembentukan pengertian estetika, beserta kriteria yang digunakan untuk ’’menghakimi” karya-kaya tidak dilepaskan dari perkembangan dan kepentingan borjuasi di Eropa pada abad XIX. Gagasan tentang estetika di sini sama sekali tidak bersifat netral dan universal, tapi sebaliknya sangat bergantung pada konteks perkembangan masyarakat. Lihat Terry Eagleton, The Ideology of the Aesthetic, London, 1990.

[43] Nama ini, menurut seorang penulis, diusulkan oleh Haji Agus Salim yang bekerja sebagai redaktur lembaga itu, 1917-1919. Lihat Ajip Rosidi, ’’Penerbitan Buku Bacaan dan Buku Sastra di Indonesia,” Prisma, No. 4, Thn. VII, 1979, hal. 15.

[44] Balai Pustaka Sewadjarnja, 1908-1942., hal. 13-14; Mededeelingen, 1926, hal. 44-45. Lokasi yang berjauhan antara percetakan dan redaksi juga menentukan kemampuan produksi lembaga ini pada awalnya, tapi pada tahun 1924 lembaga tersebut pindah ke bekas gedung Landsdrukkerij lengkap dengan percetakannya.

[45] Karya Suwarsih Djojopuspito adalah salah satu karya yang ditolak oleh bagian redaksi karena alasan bahasa. Karya yang awainya ditulis dalam bahasa Sunda ini, kemudian dialihkan ke dalam bahasa Belanda, dan kemudian diterbitkan atas bantuan E. du Perron di Negeri Belanda dengan judul Buiten het Gareel. Penolakan terhadap karya ini dilakukan karena penggunaan bahasa Sunda yang tidak sesuai standar yang berlaku. Setelah kemerdekaan, buku itu diterbitkan di Indonesia dengan judul Manusia Bebas. Lihat Keith Foulcher, ’Literature, Politics and Revolution”, makalah yang tidak diterbitkan.

[46] Nur St. Iskandar, ’’Peranan Balai Poestaka dalam Perkembangan Bahasa Indonesia”, Poestaka dan Budaja, No. 8, Thn. II, Desember 1960. Pengarang artikel ini pernah menjadi anggota bagian redaksi BP. Tinjauan kritis terhadap persoalan politik bahasa BP diajukan Bakri Siregar, Sedjarah Sastra Modem Indonesia, Jakarta, 1964.

[47] Penerbitan itu dikenal dengan judul Over- zicht van de Inlandsche en Maleisch-Chineesche Pers (IPO).

[48] Memang ada beberapa teks dari masa sebelumnya yang juga memuat keterangan mengenai urusan kesehatan. Tapi teks-teks tersebut —yang umumnya disalin dengan tangan— memiliki peredaran sangat terbatas.

[49] Apa dan bagaimana pengaruhnya, perlu dilakukan penelitian khusus.

[50] Ada beberapa pengecualian, seperti buku Hindia Zelfbestuur karangan Spykman mengulas beberapa perkembangan politik di Hindia Belanda, tapi sangat bias dari sudut pandang kolonial. Tentang sejarah, misalnya ada buku karangan Ny. Fruin- Mees, dengan judul Sedjarah Tanah Djawa, yang juga diterbitkan dalam bahasa Belanda.

[51] Sekadar menyebut beberapa studi umum, lihat Umar Junus, Perkembangan Novel-novel Indonesia, Kuala Lumpur, 1974; Ajip Rosidi, Ikhtisar Sedjarah Kesusastraan Indonesia, Bandung, 1969; A. Teeuw, Modem Indonesian Literature, The Hague, 1967; W.A. Braasem, Modern Indonesische Literatuur, Amsterdam, 1954; Bakri Siregar, op. cit, Jakarta, 1964. Studi Paul Tickell membandingkan karya terbitan BP dengan ’’bacaan liar” dan ’’roman picisan”. Lihat Paul Tickell, ’’Good Books, Bad Books, Banned Books; Politics and Literature in Pre-War Indonesian Novel”, tesis M.A., 1982.

[52] Menghilangnya adegan seksual tidak terjadi begitu saja. Para redaktur BP sengaja menyisihkan adegan seksual dari terbitan mereka, sekaligus menyingkirkannya dari pembicaraan sehari-hari di masyarakat. Bandingkan misalnya dengan Serat Cehthini yang jelas menggambarkan adegan seksual, bahkan sampai pada hubungan homoseksual. Padahal dalam konteks masyarakat pada masa itu adegan seksual bukan dipandang sebagai sesuatu yang ’’tidak bermoral” atau kurang layak. Hilangnya adegan seksual ini dapat dipahami jika ditempatkan dalam hubungan kekuasaan antara negara dan masyarakat kolonial. Untuk uraian lebih lanjut, lihat Onghokham, ’’Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial”, Prisma, No. 7, 1991.

[53] Dengan memberikan konteks yang disusun berdasarkan pengetahuan orang-orang Belanda (atau terdidik secara Belanda), maka imajinasi para pembacanya tentang Hindia Belanda dibatasi oleh kerangka berpikir tersebut. Setelah Proklamasi, naskah-naskah terjemahan ini banyak yang direvisi oleh para redakturnya sebelum dicetak ulang. Beberapa karya bahkan ditolak untuk dicetak-ulang. Lihat ’’Beberapa Hal Tentang Balai Pustaka,” Bintang Timur, No. 232, 2 Desember 1962.

[54] Balai Poestaka Sewadjarnja, hal. 15.

[55] Sekadar ilustrasi, harga buku Mata Gelap karya Mas Marco Kartodikromo adalah setengah florin untuk satu jilidnya. Buku ini terdiri atas tiga jilid yang tidak terlalu tebal. Sementara itu Salah Asuhan karangan Abdul Muis harganya 0,30 florin, Patjar Merah (terbitan BP), harganya 0,60 florin. Perlu diingat bahwa Mata Gelap terbit pada tahun 1914, jauh sebelum diterbitkannya Salah Asuhan. Saya tidak tahu apakah dalam masa antara itu telah terjadi perubahan harga barang cetakan. Untuk keterangan lengkap harga-harga buku pada saat itu, lihat Ockelon, Catalogus dari Boekoe-boekoe dan Madjalah-madjalah yang Diterbitkan di Hindia Belanda, 1870-193 7, Batavia-Amsterdam, 1940.

[56] Hidding, loc. cit., hal. 192-193.

[57] Pengertian ’’hegemoni” di sini agak longgar, yang artinya imperialisme non-ekonomi (budaya, politik, atau ideologi).

[58] R.M. Tirtoadhisoerjo membenarkan keterangan ini, lihat Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe, Jakarta, PT Hasta Mitra, 1982.

[59] D.A. Rinkes, op. cit., 1923, hal. 188. Cetak miring oleh penulis (HFS).

[60] Paul Tickell, op. cit., 1982, hal. 187, Pernyataan itu tentu saja tidak dapat dibuktikan secara empiris. Untuk keperluan itu, Tickell membahas sejumlah karya mengenai sejarah kesusastraan Indonesia, yang memperlihatkan betapa besar pengaruh BP terhadap perkembangan kesusastraan di masa pasca-kolonial. Lihat Tickell, “Writing Indonesian Literary History”, RIMA, 1987; Lihat juga Liang Liji, ’’Beberapa Masalah Periodisasi Kesusastraan Indonesia”, RIMA, 1987.

[61] Tickell dalam hal itu memberikan judul yang tepat, dengan menamakan “roman picisan” sebagai ’’bad books” dan ’’bacaaan liar” sebagai ’’banned books”. Pembedaan seperti ini sangat penting karena keduanya memiliki perbedaan yang sangat mendasar dalam hubungannya dengan konteks sosial politik.

[62] Setelah pemberontakan itu, Rinkes kembali ke Negeri Belanda pada usia 49 tahun dengan alasan pensiun. Saya belum tahu apakah dua kejadian itu memiliki hubungan satu sama lain. Tentang perkembangan kesusastraan pada masa ini, lihat antara lain Bakri Siregar, op. cit, dan Boejoeng Saleh, ’’Perkembangan Kesusastraan Indonesia”, dalam Almanak Seni 1957, Jakarta, 1956.