Nasionalisme Indonesia Berhenti di Titik Kenyataan Politik
Saya mulai dengan pernyataan bahwa sejarah Indonesia itu penuh mitos, dan Sumpah Pemuda adalah salah satunya. Jangan salah paham dulu. Mitos itu tidak selalu berarti negatif sehingga harus ditinggalkan. Banyak mitos yang berguna seperti juga kepercayaan. Sumpah Pemuda menjadi mitos bukan kesalahan orang-orang yang membuat Sumpah Pemuda, tetapi tafsir-tafsir yang datang kemudian. Sedikit saja sebagai konteks, harus diingat bahwa 28 Oktober 1928, terjadi dua tahun setelah pemberontakan PKI 1926. Setelah itu lanskap politik di Hindia Belanda berubah total. Fase pertama dari nasionalisme Indonesia itu sangat radikal, mengutamakan kesetaraan.
Setelah Belanda menumpas pemberontakan kemudian membangun negara polisi—isinya intel dimana-mana. Nah, kultur yang selama Orde Baru hidup—perasaan terus-menerus diawasi, mengawasi satu sama lain—sebetulnya warisan kolonial. Sumpah Pemuda lahir di dalam kondisi seperti itu. Arti penting dari sumpah itu sendiri datang belakangan. Setahu saya—tolong dikoreksi jika salah, pertama kali Sumpah Pemuda diperingati, dirayakan secara besar-besaran—keinginan Soekarno—baru tahun 1948. Jadi, Sumpah Pemuda dianggap sebagai tonggak perjalanan suatu bangsa itu terjadi belakangan. Saya periksa koran-koran tahun 1928, tanggal 29, 30 sampai 1 November dan seterusnya, tidak ada orang yang membahas Sumpah Pemuda. Jadi, pada saatnya dia terjadi, tidak atau belum mendapat arti penting. Mitoslah yang kemudian melihat sumpah terlihat sebagai sesuatu yang begitu hebat pada jamannya. Tidak! Arti penting itu dibuat belakangan, meskipun memang dia penting.
Pentingnya begini: tadi disebut tahun 1850 Sbastian, kemudian Logan memberi nama atau menyebut kawasan yang kita kenal Indonesia sekarang itu sebagai Indonesia. Meminjam konsep-konsep Pramoedya Ananta Toer, 1850 itu Indonesia menjadi kenyataan geografis dengan munculnya studi-studi antrolologi dan geografi yang menyebut kawasan ini sebagai Indonesia. Tetapi, orang-orang Indonesia atau yang hidupnya di atas tanah Indonesia tidak merasa dirinya Indonesia. Belum. Mereka masih terbagi-bagi dalam komunitas kesukuan (etnik), dan etnik pun masih bisa dipecah-pecah. Orang Jawa atau orang Sunda semangat menjadi orang Jawa dan Sunda itu belakangan, bukan awalnnya. Dulu semua menganggap dirinya sebagai pusat bumi. Makanya raja Jawa walaupun bertetangga semuanya menganggap diri mereka sebagai pusat dunia. Pakualam dan Hamengkubuwono dua-duanya mengaku sebagai pusat bumi, padahal hanya beberapa ratus kilometer saja jaraknya.
Nah, apa yang dilakukan oleh Sumpah Pemuda dan juga gerakan sebelumnya, maka Sumpah Pemuda bisa dikatakan sebagai kulminasi. Apa yang dilakukan oleh pergerakan padamasa awal tersebut membuat Indonesia sebagai kenyataan geografis menjadi kenyataan politik, dengan memberi nama pada gerakan untuk mewujudkan kemerdekaan itu “Indonesia”. Perhimpunan Indonesia yang pertama kali menggunakan, PKI, kemudian PNI dan seterusnya, semua mulai menggunakan nama Indonesia. Sumpah Pemuda menjadi penting, karena dia menandai bukan hanya kenyataan politik yang mewujudkan organisasi yang memiliki nama (bernama), tetapi juga menjadikan Indonesia sebagai sebuah kenyataan kultural. Namun, sampai sekarang hal itu masih menjadi cita-cita—yang sebetulnya semakin tipis. Semakin sedikit orang yang mencoba mencurahkan waktunya untuk mewujudkan Indonesia sebagai sebuah kenyataan kultural.
Apa yang saya kemukakan itu merujuk pada Pramoedya Ananta Toer. Saya meminjam konsep-konsep dia, bukan pikiran orisinal saya. Jadi, ada kenyataan geografis tahun 1850; kenyataan politik pada awal abad XX, dan kemudian mencoba menjadi kenyataan kultural yang sampai sekarang masih diupayakan, karena belum “menjadi”. Dibanding tahun 1950-an 1960-an, saya kira sekarang malah agak melangkah mundur. Perhatian kita terhadap bahasa misalnya, sangat menurun. Dulu ada komisi istilah dan benar-benar dipakai, sekarang ada komisi istilah tidak ada yang perduli.
Menjunjung bahasa persatuan bahasa Indonesia, sederhananya bahasa itu dipakai menjadi alat untuk masuk di dalam dunia yang kompleks ini. Kita memberi nama-nama, memberi istilah-istilah, dan menemukan istilah-istilah untuk menamai kenyataan tertentu. Gunanya adalah agar kita bisa ikut dan terlibat dalam pengelolaan kehidupan dunia. Sekarang kita tidak perduli dan cenderung potong kompas. Kita mengambil saja istilah-istilah dari bahasa lain, sehingga cenderung semakin tidak berkembang. Kenyataan kultural yang dicanangkan oleh Sumpah Pemuda bukan hanya tidak mengalami kemajuan, tetapi sebetulnya agak merosot.
Kalau melihat dari tiga kenyataan tadi, pertanyaannya kemudian adalah: apa itu nasionalisme? Itu mitos yang lain lagi. Nasionalisme biasanya dianggap sebagai semangat kebangsaan. Tapi kalau kita melihat belakangan ini—terutama di era Orde Baru—wacana nasionalisme menonjol dibanding era Soekarno. Namun, semangat kebangsaan dalam konteks itu diwujudkan hampir selalu dengan simbol, dan biasanya benda. Jadi, seperti pemuja berhala sebenarnya: bendera, lagu-lagu, pakaian. Seolah-olah itulah ekspresi kebangsaan. Kalau bajunya putih, slayer-nya merah, itu dianggap jauh lebih nasionalis. Kalau ada yang memperjuangkan buruh—dan karena itu berhadapan dengan kekuasaan—dianggap tidak nasionalis dan dianggap menjual bangsa sendiri. Dengan kita mengirim berita—misalnya pada jaman Soeharto—ke luar negeri tentang kejadian di Indonesia dipersoalkan karena dianggap menjual. Mereka yang menampari buruh dianggap nasionalis tulen. Itu sudah terbalik-balik.
Nah, nasionalisme sering kali pengertiannya sebatas seberapa jauh kita setia, cinta pada simbol-simbol itu. Sementara jika melihat sejarahnya, nasionalisme Indonesia tidak berdasarkan kepada kesatuan etnik. Jelas tidak. Tidak ada yang bisa mengklaim sayalah asal-usul dari Indonesia. Bukan karena bahasa, bukan karena warna kulit. Jadi apa yang menyatukan tidak lain adalah cita-cita politik. Indonesia adalah sebuah cita-cita politik, yakni kenyataan geografis yang kemudian diumumkan sebagai kenyataan politik dengan membentuk republik. Proklamasi itu adalah pengumuman bahwa Indonesia sekarang sudah menjadi kenyataan politk dan kenyataan hukum sekaligus. Nah, itu yang disebut Indonesia. Kalau sekarang tidak. Sekarang ini mau coba-coba dicari akar-akar etniknya apa, coba-coba dicari akar linguistiknya apa, sementara akar politiknya nyaris dilupakan. Politknya jelas: politik kesetaraan.
Sejak awal jika melihat wacana nasionalisme Indonesia, jauh sebelum Sumpah Pemuda sudah ada: egaliter, prinsip kesetaraan. Itu yang menjadi alasan mengapa orang mau bergabung. Seperti jaman dulu, kalau orang mau bergabung dengan keyakinan tertentu karena dibebaskan dari statusnya sebagai budak. Nasionalisme yaitu keyakinan akan cita-cita tersebut. Belakangan jika kita melihat upacara-upacara, simbol-simbol, merah-putih, segala macam—ya, simbol penting, mitos penting, tidak untuk ditinggalkan—tapi pahami betul mengapa kita harus memiliki kecintaan pada simbol-simbol itu: terutama adalah karena komitmen politiknya tertanam dalam simbol-simbol. Kalau sekarang bisa dikatakan simbol-simbol itu hilang komitmen politiknya. Sudah kosong. Sudah hampa.
Kalau sekarang kita tanya pada orang di jalan apa itu Indonesia, jawabannya akan kabur. Kita satu komunitas—KTP Indonesia, kalau dia punya paspor, maka paspornya Republik Indonesia, mengaku warga negara Indonesia—apakah tahu Indonesia? Jadi, kita bagian dari komunitas yang kita sendiri tidak terlalu paham. Itu adalah persoalan defisit nasionalisme. Bukan kecintaan kepada bendera dan lagu. Itu belakangan, tidak diutamakan. Tapi, komitmen politik pada simbol itulah yang perlu kita persoalkan. Karena bagi saya jelas, cita-cita politik, prinsip kesetaraan dan lain-lain, itulah inti dari nasionalisme.
Dulu saya terlibat dalam membela orang-orang Timor Leste, dan usaha memperjuangkan kemerdekaan mereka dianggap tidak nasionalis. Nanti dulu. Urusan mau merdeka atau tidak adalah urusan orang Timor Leste, tapi saya akan bela hak mereka untuk merdeka. Jadi, intinya yang ingin saya sampaikan, tidak ada hubungannya kalau kita mengatakan apa yang dilakukan oleh bangsa atau negara sebagai sebuah kesalahan dianggap sebagai komitmen pada nasionalisme. Misalnya, right or wrong it’s my country. Bagi saya sederhana: Indonesia sebagai cita-cita tetap dibela. Tetapi kalau salah ya harus dibilang salah. Melindungi kesalahan dan kemudian terjerumus pada keadaan seperti sekarang lebih tidak nasionalis daripada kita berbicara apa kesalahan-kesalahan yang ada, dan coba membuat koreksi. Itu adalah ilustrasi dari yang saya pikirkan tentang nasionalisme.
Soal yang terakhir tentang konstitusi—dan kalau bicara gerakan untuk mengubah Indonesia lebih baik—belakangan saya mulai berpikir bahwa apa yang saya lihat hubungan antara aktivis, intelektual dengan orang pada umumnya, dengan khalayak, itu semakin lama semakin jauh. Di arus atas, aktivis semakin “tebal imannya”, semakin banyak baca buku, pendalaman materi dan seterusnya, sehingga lebih mudah mendebat lawannya daripada berbicara pada orangnya sendiri. Hal seperti itu banyak terjadi di dalam pergerakan nasional di jaman dulu: lebih mudah berdebat dengan musuh Belandanya daripada berbicara pada rakyatnya sendiri. Itu sekarang tampaknya berulang. Konstitusi itu menurut saya menjadi semacam jembatan, karena dokumen itu kunci. Itu merupakan dokumen kunci di Indonesia, yang celakanya banyak dari kita tidak hapal. Pembukaan UUD 1945 menurut saya—daripada panjang lebar neoliberalisme segala macam—itu sudah menjadi dokumen politik dan menjadi dasar politik serta menjadi dokumen yang paling bagus untuk menjadi dasar kampanya anti-neoliebral, karena Republik Indonesia itu memang dibuat anti-kapitalis. Pembukaan konstitusi Indonesia itu sangat kiri. Tentu perlu ada perbaikan di sana-sini, tapi maksud saya, ini adalah landasan bagi kampanye politik yang ramai-ramai dibicarakan sekarang ini. Cara yang sangat efektif, buat saja kumpulan diskusi warga membahas konstitusi. Kalau proses itu dilakukan selama setahun saya kira akan ada proses politisasi sebagaimana yang diharapkan selama ini.
Membuat kelompok diskusi tentang konstitusi itu merupakan salah satu jalan, dan bukan jalan yang mudah bagi perubahan. Inspirasinya saya peroleh pertama dari tulisan Samsir, dan yang kedua, kalau mengikuti perkembangan Hugo Chavez, yang dilakukan oleh dia itu adalah: gerakan yang mempertahankan konstitusi Bolivarian di Venezuela. Dia dianggap sebagai alternatif terhadap kapitalis dan globalisasi. Buat lingkaran-lingkaran di mana orang membicarakan konstitusi. Dari situ orang kemudian bangkit. Ya, tentu tidak dengan sendirinya akan menghasilkan apa yang diimpikan, tetapi sebagai titik tolak itu pantas untuk dipegang. Menurut saya, krisis yang belakangan ini terjadi bukan hanya dalam bidang ekonomi, politik dan sosial, tetapi yang dipertaruhkan adalah eksistensi republik. Kalau mau belajar sejarah bukan hanya apa yang terjadi di masa lalu, tapi mengapa kita bisa sampai ke dalam situasi seperti sekarang, dan menganggap itu wajar. Itu pertanyaan besar. Kalaupun sejarah itu masih berguna untuk dipikirkan, dia harus menjawab pertanyaan itu.
Hilmar Farid, 2007
Catatan: Tulisan ini merupakan transkrip presentasi yang disampaikan Hilmar Farid dalam diskusi “Sumpah Pemuda dan Nasionalisme Indonesia” pada 05 November 2007 di Bandung.
Kita lama hidup di bawah sistem yang pada dasarnya mengatakan: urusan publik itu ditangani negara saja, entah itu politik, kebebasan, dll. Jadinya, masyarakat ikut sistem karena takut, bukan karena mengerti dan merasa penting. (HF, 2014)